Fauna Bahasa

Hasif Amini
majalah.tempointeraktif.com

Bahasa Indonesia punya koleksi cukup banyak binatang yang menjadi kata umpatan atau makian: anjing, babi, badak, bangsat, buaya, kampret, monyet, sapi…. Kata binatang sendiri, setidaknya dalam beberapa pemakaiannya, memang sudah berkonotasi negatif. Istilah binatang ekonomi atau binatang politik menunjukkan pandangan betapa tak ada yang luhur pada makhluk yang disebut binatang, dan betapa mengerikan bila perangainya diamalkan di lapangan hidup manusia. (Kata hewan, yang terasa lebih ilmiah dan “netral”, pun tak jarang menunjuk kepada kualitas negatif ketika menjadi adjektiva hewani, misalnya dalam frase sifat-sifat hewani.)

Kata membebek dan membeo, sementara itu, hendak memperlihatkan bahwa unggas bernama bebek dan beo sungguh tak berbakat melakukan tindakan orisinal. Seseorang yang cekatan meniru ucapan dan perbuatan orang lain dengan sendirinya telah mengikuti suri tauladan sang beo dan bebek dalam hidup sehari-hari. Dan mungkin ia pun telah lama disebut sebagai warga yang baik dan manis di lingkungannya.

Sedangkan bunglon mengajarkan sebuah taktik politik yang ampuh kepada manusia: menyaru demi bertahan hidup dan bermain di segala medan. Dan itu berarti menyetel tindak-tanduk, sikap, pendapat, agar tampak “sewarna” dengan sekitar. Setiap kali medan berubah, si bunglon pun berganti warna lagi menyesuaikan diri agar bisa tetap bebas bermain tanpa banyak gangguan.

Namun, ternyatalah dunia margasatwa-sebagaimana yang terekam dalam suatu bahasa-sama sekali tak sederhana, apalagi “sewarna” (misalnya, buruk semata). Sama-sama hitam, tapi jika yang satu adalah kambing dan yang lain kuda, alangkah berlainan nasibnya. Si kuda, yang muncul sebagai pemenang tanpa disangka-sangka, tak perlu bertanya-tanya seperti si kambing berkulit gelap: “Kenapa kok saya?”

Dunia margasatwa pun menyediakan wakil-wakilnya untuk dipilih sebagai lambang. Merpati menjadi lambang perdamaian. Kuda lambang keperkasaan. Elang: keberanian. Semut:keuletan. Kancil: kecerdikan. Keledai:kebebalan. Merak: keanggunan sekaligus keangkuhan. Dan seterusnya.Adapun masing-masing hewan itu sendiri tentu tak pernah ambil pusing apakah dijadikan lambang ini atau itu, positif atau negatif. Mereka sudah terlalu sibuk dengan urusan yang lebih mendesak: kelangsungan hidup.

Soalnya (bagi kita) kemudian: konotasi positif atau negatif itu bisa berbeda-beda antara satu lingkungan budaya dan yang lain. Sapi di India tentu berbeda makna, guna, dan statusnya dibanding sapi di Belanda atau di Madura. Kata dog tak menjadi kata umpatan yang lazim dalam bahasa Inggris, karena dalam lingkungan budaya itu anjing pada umumnya merupakan binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayangi. Working like a dog adalah ungkapan untuk menyatakan kerja keras tak kenal lelah. Sementara kata pig dalam khazanah itu rupanya cenderung berkonotasi negatif: binatang yang rakus, jorok, malas, dan degil (karenanya ada istilah pig-headed, keras kepala). Sebaliknya, dalam perlambangan horoskop Cina, babi punya sejumlah konotasi positif sebagai karakter yang cerdas, lugu, toleran, dan terpercaya.

Alangkah kaya, memang, perbendaharaan makna sumbangan para binatang. Dalam bahasa Indonesia, ada banyak ungkapan yang menggunakan nama binatang (sebagai ilham sekaligus unsur pokoknya): jinak-jinak merpati, malu-malu kucing, akal bulus, otak udang, kelinci percobaan, kutu buku, macan kertas, singa mimbar, jago kandang, kupu-kupu malam, ayam kampus, adu domba, serigala berbulu domba, bajingan kelas teri/kakap, dan kawan-kawan.

Nah, betapa mustahil menjadi hewan yang “netral”: manusia tampaknya selalu menerakan karakteristik tertentu kepada hewan-hewan yang ia kenal. Tetapi ada ironi dan ambivalensi di sini. Ada kalanya manusia menggunakan (karakter) hewan untuk membayangkan perangainya sendiri, sementara di kala lain hewan-hewan itu dijadikan si lain yang dengannya manusia membedakan dan meninggikan diri. Sebab, bukankah proses “menjadi manusia” adalah proses menghilangkan “sifat-sifat hewani” dari dalam diri kita?

“Aku ini binatang jalang…,” tulis Chairil Anwar di tahun 1943, pada usia 20. Mungkin ia, dengan meradang dan ironis, hendak juga mengingatkan kita akan kemenduaan dan kejumawaan hewan cerdas (yang piawai berkata-kata) bernama manusia itu.
Hmm-anjing menggonggong; kucing mengeong; manusia mendehem.

12 Februari 2007.