Filsafat sebagai Perkakas Kehidupan

Menukik Lebih Dalam: Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero
Penyunting: Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung
Penerbit: Ledalero, Maumere: 2009, xx + 474 halaman
Peresensi: Martin Lukito Sinaga *
http://majalah.tempointeraktif.com/
Buku ini mencoba menceritakan sambil merayakan 40 tahun kehidupan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik di Flores. Caranya: melalui pusparagam pikiran dalam tulisan para muridnya yang tersebar di berbagai profesi. Alih-alih sebuah kisah sukses yang muncul (yang umum dipakai untuk promosi diri), percobaan itu malah menguak luasnya persoalan yang harus dihadapi dan disebabkan oleh filsafat itu sendiri.

Hal di atas mungkin ada sebabnya: diam-diam sekolah ini ingin meng ikuti Mohammad Hatta, yang pernah belajar/mengajar filsafat di Boven Digoel (dalam pembuangan politik pada 1940-an), dan melihat fungsi filsafat untuk meluaskan pandangan serta menukik ke dalam kehidupan.

Lantas, apakah yang akan terkuak kalau filsafat dipakai sebagai perkakas (hlm. ix) untuk menyelami kehidupan?

Pasca-Metafisika

Sebelum buru-buru meloncat menyelam, ternyata muncul soal mendasar di sini, yaitu tentang status ataupun kapasitas filsafat itu sendiri. Dalam tulisan Ignas Kleden (salah seorang alumnus sekolah ini), dijelaskan dengan elegan filsafat tidak mungkin lagi mencapai kebenaran yang dasariah dan menetap-yang demi itu konon filsafat memulai dan mendaku alasan hidupnya. Nalar manusia ternyata tidak bisa menegaskan apa pun tentang totali tas kenyataan hidup (baca: tentang metafisika). Yang ada, katakanlah, kebenaran menurut ilmu-ilmu alam ataupun ilmu budaya serta hermeneutika (baca: pasca-metafisika). Di sini pengetahuan dibenarkan dan dihargai lebih karena prosedur ilmiahnya ataupun daya gunanya, da ripada karena klaimnya akan adanya kebenaran hakiki yang akan ditemukan. Maka, menurut Ignas, mengutip Habermas, kini memang filsafat tidak biasa lagi mempersoalkan apa itu kebenaran, tapi yang mungkin ialah menyiapkan syarat-syarat minimum yang perlu agar wacana dapat berlangsung dan boleh menjamin lahirnya sebentuk kebenaran (hlm. 22).

Lalu bagaimana nasib teologi, yang juga dipelajari di sekolah ini? Bukankah teologi mendaku hendak menemukan kebenaran dasariah, yaitu Tuhan itu sendiri? Sudah lama kita dengar (katakanlah melalui filsuf Katolik Jacques Maritain dan Etienne Gilson) institusi filsafat dan teologi Katolik dipelihara demi “…a common investigation of philosophical truth” (seperti dikatakan Gilson dalam bukunya, Elements of Christian Philosophy). Kalau tak ada lagi kebenaran dasariah, lantas teologi mau ngapain?

Buku ini rupanya tak mau langsung menjawab soal itu. Tapi diam-diam ia memperkenalkan sebentuk proses berteologi yang daif, tapi menjanjikan. Ada catatan mengenai basis filosofis Paus Yohanes Paulus II (hlm. 243-277), sebentuk filsafat fenomenologi, yang sesungguhnya lebih mengarahkannya pada pendekatan “pasca-metafisika” tersebut. Ia lebih bergulat pada makna tindakan manusia. Dalam setiap tindakan seolah terbuka jendela pada kedalaman diri manusia, dan hal itu memungkinkan action: inisiatif, sesuatu yang sama sekali baru, semacam natalitas (meminjam istilah Hannah Arendt). Pada ihwal yang sungguh baru itu diharapkan bahwa yang ultima menampakkan diri-Nya.

Terkait dengan modus ini juga tulisan me ngenai filsuf Maurice Blondel (hlm. 219-241), yang membangun analisis akan mendalamnya pada manusia ke rinduan dan keterarah an kepada yang transenden itu. Makanya ditekan kan pentingnya “perbuatan iman,” ya itu aksi orang percaya yang kiranya bisa menyingkap sang Ilahi itu.

Jadi dalam hal teologi tak ada semacam sikap dogmatis yang maunya hanya mencari turunannya dalam sikap-sikap fundamentalis dan militan, tapi sikap rendah hati dan daif. Teologi memang terasa lebih instrumental di sini, tapi ia dibayangkan menjadi perkakas yang juga hendak menukik lebih dalam lagi kepada kehidupan. Di situ diharapkan seluruh tukikan tadi memang akan pula membawa manusia ke arah sang Ilahi, dan bukan hanya incurvatus in se (istilah Martin Luther, tentang manusia yang cenderung hanya mengitari diri sendiri).

Dalam Dunia yang Kompleks

Dengan itu kita bisa lebih paham mengapa banyak alumnus sekolah filsafat Katolik ini sibuk menukik ke soal-soal sekuler, bahkan sampai mengkritik diri sendiri. Filsafat pasca-metafisika berarti juga sebentuk ilmu sosial kritis dan karya praktis di ruang kehidupan nyata.

Tulisan Daniel Dhakidae, misalnya, menguak struktur kekuasaan dalam politik Katolik di Indonesia (ba yangkan beraninya!). Jadi ada semacam uraian teologi politik di sini-bukan dalam arti bagaimana iman membangun sayap-sayap pengaruh nya dalam masyarakat, melainkan lebih pada upaya menguak tendensi bahwa untuk soal-soal kekuasaan orang selalu mencari pendasaran di luar dirinya, dan untuk itu memanfaatkan bahasa yang sakral (yaitu Tuhan atau wacana agama). Dan ternyata teologi “rakyat adalah domba” dipraktekkan untuk menguasai rakyat Katolik, sehingga disimpulkan bahwa Partai Katolik adalah situs tempat memeriksa ke kuasaan (dan penguasaan) yang bekerja di Indonesia sepanjang sejarahnya (hlm. 131).

Mirip dengan pendekatan kritis ini, ada soal “Ketuhanan” dalam Panca sila (hlm. 75-100): apakah artinya me libatkan Tuhan dalam kehidupan politik? Tentu kita tahu politik tidak pernah sekuler sama sekali, tapi akibat memanggil (invocatio) Tuhan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara di Indonesia, tidak bisa diharapkan netralitas negara khususnya dalam menuntaskan soal kebebasan ber agama atau bahkan hak berbeda pendapat. Tersirat juga di sini-untuk menghadapi soal pelik agama dan ideologi Pancasila tadi-usul perlunya proses belajar dalam setiap komunitas di Indonesia akan ihwal public sphere, karena dengan itu dimensi universal yang termaktub di setiap tradisi agama yang partikular dapat dibagi-bagikan bersama-sama (hlm. 71), bukannya klaim absolutnya.

Juga misalnya soal moral ataupun etika (kadang orang suka mutlak-mutlakan dalam hal baik dan buruk). Tangkapan saya akan tulisan Mikhael Dua tentang etika ialah ia mau berkata menggugat: jangan kira soal etika hanya soal “aku ingin semua benar agar hidupku baik, lantas masuk surga” (Gessinnungsethik, kata Weber), tapi lebih pada bagaimana saya bertanggung jawab juga dalam akibat-akibat keputusan ataupun perbuatan manusia, baik dalam skala kecil dan pribadi maupun luas. Soal krisis ekologi tak bisa lagi dihadapi dengan sekadar “yang penting aku benar dan baik!”

Mempraktekkan Keyakinan

Maka tentulah filsafat sebagai perkakas kritis (yang daif ini) selanjutnya perlu menukik ke ranah praktis, khususnya di wilayah timur Indonesia. Filsafat perlu masuk ke ilmu antropologi, maka antropologi itu pun menjadi kritis dalam melihat soal kesewenang-wenangan pembangunan (yang sering tampak tanpa menyerta kan kebuda yaan setempat sebagai elemennya). Juga disinggung soal pendidikan yang sedemikian memprihatin kan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, soal “kaum muda” yang mencari opti mis me, advokasi public opinion (melalui pers daerah); kepedihan akibat konflik politik di Timor Leste; tukikan filosofis telah membantu munculnya tin dakan yang jitu di tengah soal-soal tadi.

Dan yang tak kalah menarik: kenyataan yang ditukik secara filosofis itu memang sering menelanjangi hidup yang lebih menampakkan potret buramnya. Di situ doa dan puisi dicoba dianalisis (hlm. 293-301 dan 435-466) dan tentu nya dipanjatkan serta dilafalkan. Kalau nalar dan tindakan tak tuntas, doa dan puisi kiranya membuka ruang pengembaraan dan tukikan baru.

_________________17 Agustus 2009
*) Martin Lukito Sinaga, pendeta di Gereja Kristen Protestan Simalungun, kini bekerja di Department for Theology and Studies dari Federasi Lutheran Sedunia (LWF)