Diana AV Sasa
Jawa Pos, 4 Sep 2011
“…Di sisi penyebaran sifat, wanita-pria bahkan sampai merengsek dan menelusup setiap tempat, tak terkecuali tempat-tempat penting penentu kebijakan berbangsa dan bernegara. Kebijakan pemimpin negara rata-rata menjadi kebijakan banci, tidak tegas dalam keberpihakan. Sikap mereka mirip para waria, tidak laki-laki tidak perempuan!”
Sikap dan sifat banci itu lah yang coba diangkat Yonathan Rahardjo dalam novel terbarunya Taman Api (2011). Dituturkan dengan gaya filmis, Yonathan meramu antara fenomena dunia seksualitas para banci (dalam hal ini adalah waria-transgender) dengan banci sebagai sebuah gejala sosial, sikap dan sifat dalam masyarakat. Dengan cara ini, Yonathan seakan ingin menunjukkan bagaimana sekelompok manusia di sebuah negeri bisa dijadikan korban dengan tuduhan-tuduhan, yang ironisnya, penuduh adalah juga pelaku apa yang dituduhkan, meski dalam dimensi atau takaran yang berbeda.
Menggunakan alur cerita yang liniear, kisah klandestin banci di negeri (yang) banci itu dikemas dalam sebuah konspirasi yang mencengangkan. Di negeri bernama Tanah Air, sekelompok dokter berkumpul di Gedung Persaudaraan. Mereka berhimpun dalam sebuah secret society bersebut Gerakan Persaudaraan. Perkumpulan rahasia ini dipimpin Dokter Shahrul, seorang dokter ahli bedah kelamin.
Perkumpulan rahasia para dokter ini memiliki visi: pemberantasan sikap banci di segala bidang. Sikap banci dianggap sebagai sebuah gejala sosial yang mewabah. Tertular melalui media elektronik dan gaya hidup. Di televisi-televisi, sebuah acara akan naik ratting bila ada presenter bergaya banci. Komunitas banci yang semula tertutup pun mulai membuka diri dan berani mengambil posisi penting di berbagai bidang.
Gerakan Persaudaraan melihat mewabahnya pria yang kewanita-wanitaan ini membawa efek sosial yang tidak remeh. Dikatakan bahwa sikap banci sudah mendatangkan persoalan di bidang ekonomi, pendidikan, agama, budaya, pangan, dan kestabilan alam. Sayang tuduhan ini hanya muncul dalam simbol-simbol peristiwa dan penokohan yang mesti ditelaah mendalam oleh pembaca. Yonathan gagal mendeskripsikan dengan apik sejauh mana bidang-bidang itu terkontaminasi. Ia hanya menceritakan (tell) bukan menunjukkan (show) sehingga pembaca sangat terbatas untuk memberikan penilaian tentang pernyataan itu.
Dalam novel setebal 216 halaman ini Yonathan yang seorang dokter hewan mampu menghadirkan deskripsi dunia kedokteran dengan baik. Ia menggambarkan dengan detil bagaimana rutinitas kerja dokter, Medical Representatif (penjaja obat), hingga tahapan-tahapan operasi kelamin. Lengkap pula dengan segala intrik, manipulasi, dan konspirasi busuknya.
Untuk menjalankan misi, Gerakan Persaudaraan menciptakan chip multifungsi yang ditanam dalam tubuh para banci melalui operasi tubuh-kelamin. Chip ini mampu membantu transformasi roh pria ke wanita, memonitor pergerakan tubuh, dan merekam pembicaraan. Semua dipantau melalui satelit dengan sistem komputerisasi. Dari chip, mereka akan mendapatkan data perkembangan penyebaran virus HIV. Dengan data ini mereka punya alasan kuat mengapa banci layak diberantas laiknya penyakit. Banci adalah sumber HIV gelombang ke II
Ide Chip ini bukan sesuatu yang fiksi futuristik. Dr. John Manangsang, anggota komisi E dari PNBK di Papua, sekira tahun 2008 membuat geger dengan gagasan Perda pananaman chip pada penderita HIV untuk memantau persebaran virusnya. Bukan hanya itu, seluruh penduduk di Papua akan diwajibkan periksa HIV dan wajib mendapat kartu identitas AIDS yang diperbarui tiap tahun. Gagasan ini tumbang di meja dewan legislatif karena ditentang banyak kalangan, dianggap melanggar hak kemanusiaan. Disini, Yonathan sukses membawa fakta yang difiksikan.
Yonathan mengisahkan, pemasangan chip dilakukan dengan rahasia. Pinjam tangan polisi Pamong Praja dan kaum agamawan garis keras untuk melakukan razia dan perlawanan dengan kekerasan. Banci rendahan yang mangkal di taman-taman dikejar. Diseret ke kantor polisi, dites HIV, dan dioperasi kelaminnya tanpa persetujuan siempunya tubuh. Pada banci elit ditawarkan operasi kelamin murah dengan bonus perbaikan bentuk tubuh, wajah, dan keindahan kulit.
Untuk menjalin konflik cerita, Yonathan menghadirkan Dokter Ranto, seorang ahli bedah kelamin juga. Dokter Ranto menjalankan bisnis pengiriman banci elit ke Negara Canggih. Dengan memperalat banci Tari yang diperistri olehnya, Dokter Ranto dibantu Tari memilih banci terbaik yang belum melakukan operasi kelamin. Kedoknya adalah ajang pemilihan banci nan cerdas dan cantik. Disini, dokter Ranto berperan seakan dia adalah pembela kepentingan hak asasi para waria yang sering dimarjinalkan. Bersama Tari, ia mendampingi gerakan aktivis banci untuk menuntut hak-haknya. Selain tari, Dokter Ranto dibantu Reta, seorang pengusaha salon yang melakukan praktek penyuntikan silikon cair illegal.
Sebuah ketidak hati-hatian merusak klandestin yang tangah berjalan. Priyatna, seorang pria berprofesi sebagai Medical Representatif langganan dokter Ranto dan dokter Sahrul yang terpengaruh untuk menjadi banci, membongkar semuanya. Operasi rahasia terhadap waria jalanan dilaporkan ke polisi oleh asosiasi para banci yang didampingi dokter Ranto. Reta menjadi buron karena seorang banci mati setelah disuntik silicon cair. Sahrul terancam, dia lah pemasok silicon cair illegal itu.
Digambarkan dalam novel ini bagaimana banci bukan semata persoalan seksualitas, tapi sebuah sikap yang membawa ironi kemanusiaan. Polisi Pamong Praja yang berasal dari masyarakat sipil justru menjadi pelaku pembantaian para banci dengan cara kekerasan. Pemangku agama yang semestinya berhati lembut justru melakukan kekerasan pada waria karena dianggap makhluk yang melanggar takdir Tuhan. Dokter yang semestinya berjiwa mulia, menjadi penyelamat kehidupan dengan pengabdian pada kemanusiaan justru menjadi pelaku kejahatan berbasis capital dengan kedok medis. Sebuah ironi di negeri (yang) banci.
Judul : Taman Api
Penulis : Yonathan Rahardjo
Tahun Terbit : Mei, 2011
Penerbit : Alvabet
Halaman : 216
Genre : Novel
ISBSN : 978-602-9193-01-5
*) versi asli dimuat JP dengan judul “Ironi Banci di Negeri Banci’