Edy Firmansyah
radarsby.com
Boleh jadi Emha Ainun Nadjib benar jika mengatakan sastra relatif tidak tercantum dalam daftar prioritas kebutuhan masyarakat. Shampoo, lipstik, kondom, T-Shirt, obat jerawat, conditioner, obat nyamuk jelas lebih dianggap penting dibandingkan dengan karya sastra. Artinya, sastra dikategorikan sebagai sesuatu yang boleh tidak ada sementara celana Jeans atau jam tangan tergolong harus ada.
Kalau tiba-tiba buku Laskar Pelangi (LP) karya Andrea Hirata atau Ayat-ayat Cinta (AAC) karangan Habiburrahman Shiraizy mampu membius ribuan pembacanya sehingga bisa best seller kemudian difilmkan, bukan karena masyarakat Indonesia menjadi peduli terhadap karya sastra. Melainkan redupnya karya sastra berbau lendir yang sempat mencuat dipasaran buku. Juga karena gencarnya praktek promosi yang berhasil memaksa kesadaran mengambang masyarakat terutama kaum muda untuk menjadi latah.
Faktanya ketika pengumuman UN tingkat SMP dan SMA (yang rata-rata adalah penggemar LP dan AAC) justru tingginya angka ketidaklulusan siswa akibat jebloknya mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam masyarakat yang lebih luas, masih maraknya prilaku banal, anarkis dan korup jelas adalah indikasi rendahnya semangat bersastra kita. Bukankah sastra- meminjam Mochtar Lubis- adalah kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradap?
Meski demikian keterpingiran sastra dalam masyarakat tidak murni berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak bisa serta merta disalahkan dalam hal ini. Pengaruh eksternal di luar masyarakat justru lebih berpengaruh dalam tindakan masyarakat dalam menyikapi kesusastraan.
Setidaknya ada tiga faktor eksternal yang mempengaruhi respon masyarakat terhadap sastra. Pertama, sikap pemerintah yang relatif tidak mengakomodasikan atau kurang menyediakan peluang-peluang bagi terapresiasikannya seni sastra oleh warga masyarakat umumnya.
Dalam seluruh jenjang pendidikan formal misalnya, pelajaran yang paling dominan justru pelajaran eksakta seperti matematika (5 jam per minggu), fisika (5 jam per minggu), biologi (4 jam per minggu) dan kimia(3 jam per minggu). Sementara pelajaran sastra yang terangkum dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia alokasi waktunya sangat sedikit (5 jam seminggu) itupun diberikan tidak secara maksimal, karena banyak kasus guru pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak paham tentang sastra.
Yang terjadi kemudian, jangankan membaca Roman Layar Terkembang karya St Takdir Alisjahbana atau Belenggu karya Akhudiyat hingga tuntas, membuat synopsis cerpen robohnya surau kami karya AA Navis sungguh merupakan hal yang menjemukan bagi siswa. Dan bisa diterka, sastra hanya dihapalkan ketika di pendidikan formal saja, tepatnya menjelang ulangan saja. Selepas itu tidak lagi. Karena pendidikan formal tidak pernah menunjukkan betapa pentingnya sastra.
Padahal menurut Friedrich Schiller sastra adalah vitamin batin yang mampu mengasah kreativitas, kepekaan atau sensitivitas kemanusiaan sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil dan picik. Bukan hanya bagi pekerja sastra saja, tetapi juga bagi penikmat sastra.
Kedua media. Bukan rahasia umum lagi sastra di hadapan media hanyalah merupakan kolom mingguan. Karya sastra (puisi, cerpen dan essai budaya) hanya muncul dalam satu halaman penuh di hari minggu. Itu pun seringkali tidak lengkap. Bahkan bisa tidak muncul bukan karena tidak ada yang mengirimkan karya tapi lebih dikarenakan desakan iklan.
Akibatnya dalam benak masyarakat terbentuk image bahwa karya sastra hanyalah bacaan santai, dimana orang tidak perlu mengerutkan dahi dibandingkan dengan membaca artikel atau berita-berita politik.
Terakhir, sebenarnya keterpinggiran sastra di mata masyarakat tidak lain dan tidak bukan karena ulah para sastrawan itu sendiri. Ketika kran reformasi dibuka dan tak diberlakukannya sensor-sensor, sastra(wan) justru terseret ke dalam budaya pop. Bahkan untuk bertahan sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop. Bisa dilihat kemudian, yang lahir adalah sastra selangkang yang menurut sejumlah orang mendekati film biru. Sementara karya humanis-fenomenal yang bercerita realitas sosial, semisal milik pramoedya anata toer yang berkali-kali menghantarkan penulisnya (satu-satunya pengarang Indonesia) menjadi kandidat nobel sastra dunia masih dilarang beredar.
Paradoksal diatas tentu saja wajar jika melahirkan pertanyaan; kemana pengarang lain? Bukankah pengarang kata Pramoedya Ananta Toer adalah avant garde melawan ketidak adilan dan krisis kemanusiaan. Kemana pengarang yang lain? Sedang giat menulis atau justru terbelenggu di dalam arus reformasi sehingga tidak bisa berbuat apa-apa? Atau apakah justru kebebasan malah membuat sastra terus terpinggirkan?
Pertanyaan diatas tentu saja terasa aneh. Sebab tatkala intervensi dari luar- ketika orde baru berjaya- semakin ketat menghambat ruang gerak kreativitas sehingga banyak sastrawan menuding bahwa kebebasan yang menjadi roh bagi kesenian benar-benar tidak terjadi, justru lahir eksperimen-eksperimen kesusastraan yang penting semisal cerpen Seno Gumira Adjidarma, puisi Widji Thukul, Cerpen-cerpen Danarto.
Lalu untuk membangkitkan sastra yang mampu melekat dihati masyarakat apakah perlu diberlakukan sensor-sensor agar sastrawan bisa lebih lihai mencari celah untuk membuat karya? Tentu saja tidak. Yang terpenting justru kerja terus menerus sehingga menghasilkan karya monumental yang mampu menjadikan sastra sebagai bagian dari masyarakat dalam arti sejati. Yakni sastra yang terlibat. Yang melibatkan masyarakat moyoritas yang miskin dan tertindas bukan sekedar obyek sastra, melainkan menjadi bagian dari penciptaan sastra itu sendiri. Sehingga masyarakat kita bisa menjadi masyarakat yang lebih berbudaya dengan sastra. Terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, picik, korup dan memiliki semangat berlawan. Semoga!
***
04 Juli 2010