Koran Mbah Karna

Salamet Wahedi *
(majalah gong, edisi 114/X/2009)

Mbah Karna. Usianya, berdasar ukuran rata-rata usia hidup manusia sekarang, sudah memasuki senja legam. Sorot matanya seperti matahari sepenggal di kaki langit. Dan garis-garis kulitnya meliuk-lingkar seperti arakan awan di bibir malam. “Hati-hatilah. Hidup ini tetaplah kotak teka-teki. Jika kau benar menjawab pertanyaan Mendatar, belum tentu di pertanyaan menurun kau akan selamat”, pesannya pada setiap orang yang sowan padanya. Pesan ini pulalah yang mengingatkan dan menarik banyak orang untuk selalu mengunjunginya. Terutama di akhir bualn atau di saat ada moment penting.

Setiap hari, Mbah Karna menghabiskan sepertiga siangnya dengan duduk-duduk di kursi goyang. Berteman segelas besar kopi, rokok kolek jagung, Mbah Karna melahap setumpuk berita. Mbah Karna dikenal sebagai pembaca berita yang telaten. Berita-berita yang dilahapnya, dikasih komentar. Berita yang bagus di klipingnya. Berita yang menarik ditempelkannya di majalah dinding buatannya.

Majalah dinding Mbah Karna ada tiga. Satu di emperan rumahnya. Majalah dinding ini menampilkan berita-berita yang mencerminkan wajah dan selera serta semangat Mbah Karna waktu muda.

Di masa mudanya, semasa menyandang gelar mahasiswa, Mbah Karna dikenal sebagai sosok ‘guru’ di lingkungannya. Sosoknya jadi panutan dan patokan. Ia pantas untuk Digugu dan ditiru oleh teman-temannya. Idealismenya cita rasa tinggi. Vokalnya selalu dalam nada mayor. Apalagi ketika berorasi memimpin teman-temannya turun jalan.

Sehabis rampung kuliah S-1 Mbah Karna memilih jadi petani. Tawaran jabatan posisi dan fungsionaris dari berbagai partai politik ditolaknya. Prinsipnya: membangun desa itu lebih baik.

“Kestabilan nasional berangkat dari kondisi kondusif di daerah”, begitulah alasan Mbah Karna menolak pinangan para ketua partai politik.

Setahun kembali hidup di desanya, Mbah Karna didapuk jadi kepala desa. Selama dua periode ia memimpin, desanya berkembang pesat. Perekonomiannya maju di atas rata-rata. Karang tarunanya berulang kali menyabet penghargaan bupati. Semasa menjabat kepala desa Mbah Karna dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dan akrab dengan masyarakatnya. Sikapnya yang mau ‘duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi’ ini justru tampak setelah ia terpilih jadi kepala desa. Namun sikap tegas dan lugasnya, semasa jadi mahasiswa tidak luntur sebaris pun.

Setelah purna tugas dari kursi kepala desa, Mbah Karna memilih bertani. Meski berulang kali partai politik kembali merayunya, Mbah Karna selalu mengucapkan terima kasih. “Negeri ini tidak hanya membutuhkan pemimpin yang mumpuni. Tapi juga butuh masyarakat yang memiliki cita-cita madani”, kelitnya.

Sebagai seorang petani Mbah Karna juga menularkan keteladanan yang pantas dianugerahi penghargaan ‘masyarakat berprestasi’. Mbah Karna memasarkan hasil pertaniannya secara mandiri.

Setiap pagi, sebelum berangkat ke sawah atau sehabis dari ladang, Mbah Karna melahap setumpuk berita. Mengomentarinya, lalu mengoleksinya. Ditempelkannya berita-berita pilihannya di majalah dinding buatannya. Di kamarnya, Mbah Karna menyediakan dua papan majalah dinding. Satu untuk kolom sastra, yang lainnya untuk esai atau opini. Kebiasaan ini pula yang mengantarkan Mbah Karna ke pendopo kabupaten untuk menerima anugerah ‘masyarakat pecinta seni’.
Begitulah sosok muda dan kebiasaan di hari tua Mbah Karna.
***

Hari ini raut Mbah Karna agak bermendung. Koran yang tergeletak di halamannya, yang dilemparkan begitu saja sama lopernya, ternyata menangkupi tahi ayam. Sialnya, tahi ayam itu menutupi seluruh head line korannya hari ini: “Debat Capres Berjalan Membosankan”

“Judul berita yang bagus”, ujarnya setengah kecewa. Sebenarnya ia hendak menggunting cepat-cepat berita itu. Ia hendak memamerkannya lebih awal ke tetangganya yang berkunjung. Pak Noeris biasanya bertandang pukul sembilan. Mereka akan berbincang seputar persoalan yang hangat. Dua orang ini sudah sejak lima tahun lalu dikenal dwi-tunggal kemajuan desa Pinggir Papas. Mbah Karna sebagai Pak Kades, Pak Noeris sebagai Pak Carik.

Tapi sayang gambar tiga capres yang diambil dengan sudut kemiringan tiga puluh derajat, berpelopotan tahi ayam yang encer. Berulang Mbah Karna membersihkannya, tapi gambar wajah-wajah calon presiden tersebut tetap buram. Rusak. Gambar capres yang berpose tersenyum tampak seperti hendak meludah darah-nanah. Yang sok bersikap anggun, menampakkan raut penipu. Yang bertampang melankolis, malah seperti memakai topeng saja.

“Dasar loper koran yang tidak pernah baca koran”, gerutu Mbah Karna menyayangkan nasib korannya hari ini. Pak Noeris hanya menanggapinya dengan menghisap dalam-dalam rokok kolek jagung yang disuguhkan Mbah Karna.

“Loper koran ya loper koran. Tugas mereka hanya mengantarkan koran. Seperti para capres kita. Tugas mereka hanya membangun citra. Image. Tugas dan program kerja pemerintahan sudah ada penyusun dan pelaksananya”

“Capres kita hanya boneka. Orang-orang yang seharusnya sudah seperti kita, maksudmu?”

Keduanya terlibat percakapan hangat. Sesekali tawa menyela aura wajah mereka yang kadang serius dan menegang. Mbah Karna hanya satu dua sentilan mengalirkan percakapan. Sedang Pak Noeris yang lebih muda, lebih bersemangat meriakkan kata-kata. Gerak tangannya menjelaskan argumennya begitu lincah dan meyakinkan. Di ujung rangkaian katanya, Pak Noeris selalu mengangkat tangannya seperti Bung Karno berpidato. Dan jok nakal dan derai tawa seperti tepuk tangan para peserta debat capres yang cair dan penuh ironi, selalu mengakhiri statemen keduanya.
***

Seperti janjinya pada Pak Noeris, Mbah Karna membuat tulisan tanggapan tentang rendahnya kualitas calon pemimpin negeri ini dan tingginya birahi politik mereka. Dalam tulisan yang berjudul “Demokrasi Rakyat: Beberapa Catatan dan Jalan Alternatif”, Mbah Karna menguraikan panjang lebar pandangannya akan demokrasi kita. Kata ‘kualitas pemimpin yang rendah’ disebutnya hgampir dari awal hingga akhir tulisannya. Kata ‘apatisme rakyat’, 35 kata. Tidak lupa pula Mbah Karna menyentil rendahnya apresiasi bangsa ini pada budaya baca dan literature bacaan. Semisal dicontohkannya pada nasib korannya yang tidak bisa dipajang, gara-gara dilempar sembarangan.

Hari-hari dua minggu terakhir ini, selain melahap setumpuk berita seperti biasanya, Mbah Karna selalu berharap tulisannya dimuat. Ia ingin mengajak Pak Noeris untuk berdikusi tentang pandangannya tentang demokrasi negeri ini dan para pelakunya kalau tulisannya sudah dimuat. Namun hingga hari teakhir minggu kedua sejak ia mengirimkan tulisannya, koran yang dipungutnya sehabis subuh belum juga memuat tulisannya. Tapi Mbah Karna selalu berharap. Berharap tulisannya dimuat. Tulisannya dibaca. Lalu ditanggapi orang.

Pagi ini, pukul 8, sehabis mengiringi istrinya berangkat ke pasar dengan pesan ‘hati-hati di jalan’, seorang opas pos menyela rutinitas membacanya. Mbah Karna meletakkan tumpukan korannya. Dipersilakannya opas pos. Mbah Karna menerima kiriman surat untuknya dengan dada berdegup. Tertera di sampul surat yang diterimanya, alamat koran ia mengirimkan tulisannya.

Mbah Karna setengah kaget membaca isi suratnya. Barisan ratusan huruf yang tegak seperi batang-batang jagungnya dilaluinya dengan mata membelalak.

“Maaf tidak ada ruang untuk tulisan anda. Selain itu tulisan anda dapat merusak suasana demokrasi kita. Kami tidak mau menanggung resiko…”, Mbah Karna menerawang jauh. Dihantarnya opas pos meninggalkan beranda rumahnya dengan tatapan kosong.
Mbah Karna masih termangu. Di benaknya terbersit sepercik galau, “inikah buah kebebasan yang mereka perjuangkan” {}.

Lidahwetan, 23 juni 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=173352947274

Bahasa »