Oyos Saroso H.N.
Lampung Post, 12 Maret 2007
Pemenjaraan pikiran terjadi di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. Orang-orang yang berpikiran berbeda dengan penguasa dan dianggap melanggar tatanan negara diadili, dipenjarakan atau dilenyapkan begitu saja dari muka bumi.
Masalahnya ialah kalau tatanan negara itu dibuat berdasarkan daulat raja, bukan daulat rakyat. Yang banyak menjadi korban sudah pasti rakyat biasa.
Sementara itu, penguasa dan orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan tidak pernah tersentuh hukum. Mereka pun terbebas dari pemenjaraan.
Kalau Socrates harus rela menghadapi nasib tragis dengan meminum racun, banyak orang yang memiliki pemikiran yang berseberangan dengan penguasa mendapat “ganjaran” dibuang, diasingkan atau dilemparkan ke ruang gelap penjara bawah tanah.
Dalam sejarah raja-raja di Nusantara, kita pun sering mendapati alangkah banyaknya orang yang berpikiran berbeda dengan sang raja harus menemui nasib tragis. Seperti penjajah, para raja biasanya tidak rela legitimasi kekuasaannya digerogoti racun pemikiran yang disebarluaskan orang-orang yang dianggap sebagai pembangkang.
Wilayah kekuasaan menjadi wilayah sangat sakral yang harus dijaga dengan senjata. Siapa pun tak boleh seenaknya mengacak-acak wilayah itu, meskipun hanya dalam pikiran dan khayalan.
Jauh setelah Socrates meninggal, tidak hanya pikiran yang bisa diadili. Mimpi dan khayalan pun diadili. Bahkan, orang yang meloloskan mimpi dan khayalan hingga tersebar kepada publik yang lebih luas pun bisa diadili dan dipenjara. Salah satu contohnya ialah Hans Bague Jassin. H.B. Jassin, tokoh sastra Indonesia yang menjadi redaktur Majalah Sastra, dipenjara karena memuat cerita pendek berjudul “Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin pada tahun 1971.
Cerpen “Langit Makin Mendung” yang dimuat Majalah Sastra dianggap “menghina Tuhan”. Jassin pun diadili. Di pengadilan, Jassin diminta mengungkapkan jati diri nama Ki Panji Kusmin yang sebenarnya. Permintaan hakim itu ditolak, sehingga Jassin pun dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Langit Makin Mendung seolah-olah menjadi hantu yang mengancam, sehingga ketika para mahasiswa hendak membaca cerpen itu pun dibubarkan polisi (1986).
Sejarah sastra Indonesia juga mencatat pemberangusan terhadap karya sastra dan pementasan karya sastra (pembacaan puisi dan cerpen maupun pementasan drama) sering dilakukan sejak zaman Orde Lama hingga orde reformasi. Selama Orde Baru, misalnya, Rendra banyak dicekal di berbagai tempat. Dia sering gagal mendapatkan izin dari polisi untuk membacakan puisi-puisinya. Hal serupa dialami Ratna Sarumpaet bersama Teater Merah Panggung saat hendak mementaskan naskah Marsinah, “Nyanyian dari Bawah Tanah”.
Kasus paling mutakhir ialah yang menimpa Effendi Ghazali bersama Republik Mimpi-nya yang biasa tayang di Metro TV. Beberapa waktu lalu Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Jalil mengancam akan mengajukan somasi kepada Ghazali karena tayangan yang dinilai mengolok-olok lembaga kepresidenan itu. Meskipun somasi tak jadi dilayangkan–dan Republik Mimpi kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Mimpi–wacana ancaman somasi itu menunjukkan betapa besarnya peluang khayalan dan pikiran di Republik ini untuk dipenjarakan. Pemenjaraan dilakukan, terutama, jika penguasa merasa wilayah kekuasaan direcoki kritik dan sindiran.
Khayalan dan pemikiran pada dasarnya dua wilayah yang berbeda. Khayalan merupakan buah fantasi seseorang. Ia merupakan fiksi yang lebih merupakan pekerjaan hati dan perasaan. Semacam mimpi-mimpi bawah sadar yang dikawinkan dengan harapan-harapan pengarang, sehingga membentuk suatu karya tertentu.
Sementara itu, pemikiran merupakan hasil kerja otak, buah dari hasil penalaran. Meskipun pemikiran terkadang melibatkan perasaan, daya nalar seseorang tetap menjadi porsi utama seseorang untuk menghasilkan pemikiran.
Pemikiran dan khayalan merupakan fitrah manusia yang diberikan Tuhan. Jadi, keduanya bersifat sangat asasi. Dengan logika ini, memenjarakan pikiran dan khayalan berarti melanggar hak asasi manusia.
Karya sastra maupun tayangan Kerajaan Mimpi, bagaimanapun, merupakan sebentuk dunia yang oleh Johan Huizinga sebut sebagai “dunia permainan”. Ia merupakan wilayah main-main yang diciptakan pengarangnya.
Kalaupun isi dari karya sastra atau tayangan Kerajaan Mimpi itu memiliki kesejajaran peristiwa (jukstaposisi) dengan fakta atau realitas sehari-hari, itu karena sebuah karya memang tidak lahir dari keadaan kosong. Karya sastra tidak lahir dari ruang kosong yang suci hama. Karya sastra atau karya seni lahir karena pengarangnya hidup di tengah-tengah realitas masyarakat.
Pada zaman yang sudah berubah dan penuh jungkir balik tata nilai, fakta dan fiksi memang selalu jadi persoalan. Di sisi lain, hampir setiap hari kita disodori kenyataan paradoks, aneka fakta tiba-tiba berubah menjadi fiksi.
Banjir lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, merupakan fakta yang jelas-jelas merugikan masyarakat banyak. Namun, ia kini menjadi serupa fiksi. Hal
yang sama juga terjadi dalam berbagai kasus korupsi. Korupsi itu sendiri merupakan fakta, riil, dan ada dampak yang ditimbulkannya. Namun, penyelesaiannya menjadi semacam cerita fiksi.
Dengan kenyataan sehari-hari seperti itu–ketika fakta dan fiksi bisa campur aduk–seharusnya pemenjaraan terhadap pikiran dan khayalan tidak terjadi lagi. Memenjarakan pikiran dan khayalan berarti mengingkari hak paling asasi manusia yang diberikan Tuhan.
Dijumput dari: http://lampungmedia.blogspot.com/2007/11/memenjarakan-khayalan-dan-pikiran.html