Mengenang Rendra

M. Faizi

Kepergian si Burung Merak, WS Rendra, Kamis 6 Agustus 2009, membuat saya teringat 14 tahun yang silam, saat untuk pertama kalianya saya berjumpa dengannya dalam sebuah acara budaya. Saya, sejujurnya, tidak mengenal banyak perihal sastraawan ini, WS Rendra. Saya hanya sekali berjabat tangan dengannya, lalu mengikuti acaranya, dalam rangka peresmian Gorong-Gorong Budaya di Sawangan, Depok. Waktu itu, saya diajak oleh Mas Jadul Maula dan Mas Mathori A. Elwa menjumpai Hasif Amini dan Sitok Srengenge. Kenangan saat itu, 2 April 1995, pada saat ini, kucoba reka-reka kembali.

“Sajak Seonggok Jagung”-nya WS Rendra adalah sajak pertama yang memperkenalkan saya dengan beliau. Saya sangat terkesan dengan sajak ini, meskipun sebelumnya juga pernah terbuai dengan “Rick dari Corona” semasa SLTA.

Sajak ini melukiskan alienasi, potret manusia yang terasing, atau sengaja menjauh, dari lingkungannya. Saya melihat, dan bahkan turut merasakan, betapa para mahasiswa seperti saya, di kala itu, akan punya perasaan aneh campur sedih semacam “Sajak Seonggok Jagung” ini, jika direnungkan. Maka, dengan sangat mantap saya katakan, bahwa puisi tersebut kemudian membuat saya terinspirasi untuk menulis puisi “Bila Aku Pulang Nanti” berikut ini (yang dsaya tulis beberapa bulan sebelum pertemaun itu).

BILA AKU PULANG NANTI
—salam hormat untuk W.S. Rendra

Bila kelak aku kembali
setelah lulus menjadi sarjana
apa yang akan aku berikan
jika anak-anak itu menyambutku
dengan senyum polos
meminta bercerita tentang kota
kampus dan mahasiswa?

Kalau aku pulang nanti
apa yang akan aku berikan
jika yang mereka pinta
bukan toga dan skripsi
bukan catatan dan diktat
yang terarsip rapi?

Jika aku pulang nanti
dengan sekoper piagam
dan makalah-makalah seminar
apa yang akan aku berikan
jika yang mereka pinta bukanlah gelar?

Setelah aku pulang nanti
tiba di kampung halaman
dengan perasaan berbunga-bunga
apa yang mesti aku katakan
jika telah habis
apa yang harus kukatakan
jika harus belajar lagi
apa yang akan dikatakan?

10/1994

Bahasa »