Judul Buku: Ujung Persimpangan
Editor : Anang Pamungkas
Penerbit : Navila Idea
Cetakan : I 2011
Tebal : viii+200 Halaman
Peresensi : Muhammad Arif *
http://oase.kompas.com/
Membaca novel berjudul Ujung Persimpangan ini, kita akan diajak untuk menyelami perjalanan hidup seorang perempuan cantik bernama Jumana. Dikisahkan, Jumana yang cantik jelita mengalami kegalauan hati dengan kehidupan kota metropolitan yang hanya dipenuhi keriuhan mengejar materi, ketenaran, dan kepalsuan. Ia pun memutuskan untuk hijrah ke desa untuk menghindari kehidupan kota yang tidak nyaman dan cenderung individualis. Sikap Juman ini mungkin cukup aneh, di tengah banyak-banyaknya orang yang berfikiran untuk urban. Ketika kebanyakan orang memandang kehidupan kota lebih menarik, Jumana justru beranggapan sebaliknya.
Novel ini juga memunculkan kisah percintaan Jumana dengan Roben dan Murad, keduanya merupakan laki-laki tampan yang tinggal di desa. Dan menarik, karena pengarang novel ini kerap memberi kejutan-kejutan dalam cerita-cerita cinta Jumana. Bahasa yang digunakan pun relatif ringan dan mudah dipahami, sehingga novel ini tidak terbatas hanya untuk kalangan elitis intelektual.
Sambil bercerita, novel psikologi ini, hendak memaparkan bahwa kehidupan sosial di pedesaan itu lebih bermartabat daripada di kota. Banyak kearifan yang masih dipelihara di sana. Gotong-royong, kepekaan sosial, dan komunalisme masih tetap lestari di pedesaan. Ini cukup menarik karena paradigma positivistik yang diterapkan di era modernisasi telah membuat kebanyakan masyarakat kita cenderung konsumtif, inovidualis, dan apatis. Setidaknya kehadiran novel ini diharapkan dapat mereinternalisasikan kearifan-kearifan desa yang sudah mulai tergeruskan.
Sayangnya, cerita yang disuguhkan di novel ini kurang menyentuh lokalitas kita. Menyimak lembar demi lembar novel ini, terkesan cerita yang diusung di dalamnya tidaklah berlatar desa di Indonesia. Sebenarnya ini sah-sah saja ketika ini adalah novel terjemahan, tetapi penulis tidak tahu pasti apakah novel ini terjemahan atau bukan. Karena dalam novel setebal 200 halaman ini sama sekali tidak ada penjelasan tentang identitas novel ini apakah dia terjemahan atau bukan dan tidak tertulis siapa penerjemahnya. Lebih parah lagi, bahkan nama dan riwayat hidup pengarang novel ini pun tidak dijelaskan di dalamnya. Mungkin ini bisa jadi catatan untuk penerbitan edisi berikutnya.
Memang ini bukanlah masalah yang cukup serius. Membaca novel atau buku pada umumnya, kita memang tidak begitu dituntut untuk mengetahui siapa pengarangnya, karena yang terpenting adalah kandungan atau isi dari novel yang kita baca. Seperti kata Gadamer, tokoh hermeunetik, pengarang itu telah mati bersamaan dengan lahirnya sebuah karya. Hanya saja untuk kasus ini, agaknya ini penting untuk diperhatikan, karena tidak menutup kemungkinan akan muncul spekulasi jangan-jangan penerbitan nevel ini tidak atas rekomendasi dari pengarangnya langsung, sehingga untuk menghindari lacakan nam pengarang pun tidak dituliskan.
7 September 2011
*) Muhammad Arif, Peneliti The Al-Falah Institute