Mahmud Jauhari Ali
Tabloid Serambi Ummah, 21 Nov 2008
Pagi itu Hamid berdiam diri dengan mata tertutup. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Kedua kakinya kadang-kadang digerakkannya untuk menghindari keram. Tangan kanannya memegang tasbih, tetapi tidak ia fungsikan. Bibirnya kerap digerakkannya. Sementara ibunya sedang menyiapkan makanan di ruang makan untuk mengganjal perut mereka.
“Mid! Ayo kita makan bersama!” suara nyaring ibu kandungnya yang bernama Maryani dari ruang makan membuat Hamid tersentak kaget.
“Ya, tunggu sebentar Bu! Hamid akan segera ke sana.” balas Hamid dengan suara yang nyaring pula.
Tidak lama Hamid mendatangi ibunya di ruang makan.
“Duduklah! Apa keputusanmu tentang pembicaraan kita tadi malam?”
Hamid terdiam sejenak. Diminumnya sedikit air teh hangat buatan ibunya. Ia pun segera membuka mulutnya untuk bicara.
“Sebenarnya sejak awal saya berniat menuruti kata-kata ibu. Namun, saya berpikir apakah pernikahan ini tidak terlalu cepat. Bagaimana jika diundur satu tahun lagi atau beberapa bulan kemudian. Saya sendiri belum siap menjadi seorang suami. Kuliah saya juga belum selesai Bu.”
“Ibu ingin sekali segera menimang cucu darimu Nak. Kau tahu sendiri kini ibu hanya memiliki satu anak, yaitu kamu. Seandainya kedua kakakmu masih hidup, tentulah ibu tidak memintamu menikah tahun ini.”, ibunya terdiam sejenak untuk menghela nafas.
”Seandainya kecelakan itu tidak terjadi….”, ibunya tidak sanggup meneruskan kata-kata beliau dan air mata pun segera bergulir di kedua pipi tua beliau.
“Maafkan Hamid Bu! Sungguh, Hamid tidak bermaksud membuat ibu sedih pagi ini.Ya, ya Bu, Hamid akan menuruti kata-kata Ibu. Hamid mau menikah tahun ini.”
”Benarkah kata-katamu itu Nak? Ibu tidak sedang bermimpi ’kan?”, senyum pun segera merekah di bibir ibunya setelah mendengar perkataan Hamid.
***
Siangnya mereka mendatangi sebuah rumah di pinggir sungai yang terletak jauh dari tengah kota. Rumah itu adalah milik pak Musa. Sudah dua tahun silam pak Musa dan almarhum ayah kadung Hamid ingin menikahkan anak mereka. Pak Musa adalah teman akrab ayah kandung Hamid sejak kecil. Dahulu yang ingin mereka nikahkan adalah almarhum Sofyan dengan Latifah. Karena kedua kakak kandung Hamid telah meninggal dunia dan Latifah belum juga menikah, pak Musa dan ibu kandung Hamid ingin menikahkan Hamid dengan Latifah.
“Assalamu’alaikum!” sapa Hamid di depan pintu pak Musa.
Tidak ada jawaban dari siapa pun di dalam rumah itu. Sempat mereka mengira tidak ada orang di rumah pak Musa. Salam kedua pun dilontarkan Hamid. Kali ini ada jawaban dari pak Musa di dalam rumah.
“Wa’alaikumussalam!” sahut pak Musa yang saat itu sedang menenteng gitar buatan beliau.
“Apa kabar Pak?” tanya bu Maryani.
“Wah! Untunglah kalian datang. Kabarku sekeluarga baik. Ayo masuk!”
“Mana Latifah Kak?”
“Latifah sedang ada di rumah temannya. Mungkin sebentar lagi ia akan kembali. Tunggu sebentar ya! Aku ke belakang sebentar.”
Hamid jarang sekali bertemu dengan Latifah. Ia pernah dua kali bertemu dengan Latifah, tetapi Hamid sudah agak lupa dengan wajah calon istrinya itu.
”Syukurlah ada fotonya di dinding.” ucap Hamid dalam hati.
Dipandanginya foto Latifah di ruang tamu rumah pak Hamid dengan wajah yang bahagia.
“Ya Allah, inikah wajah jodohku dari-Mu. Aku terima segala keputusan-Mu. Seandainya ia memang jodoh untukku, jadikanlah ia penyejuk hatiku dan penyemangatku dalam beribadah kepada-Mu.” ucap Hamid lagi dalam hatinya.
“Mid, ayo diminum!” ajakan pak Hamid membuat Hamid kaget.
“Astaghfirullah! Ya Pak, terima kasih.” jawab Hamid sambil berjalan menuju tempat duduknya.
Sekitar setengah jam mereka berbincang-bincang di sana.
***
“Assalamu’alaikum!” sapa seorang gadis muda kepada mereka yang sedang asyik tertawa kecil.
“Wa’alaikumussalam!” jawab mereka.
Jantung Hamid berdetak dengan kencang. Latifah membuatnya salah tingkah. Maklum Hamid jarang bergaul dengan gadis-gadis selama ini di sekitarnya. Saat Latifah menatap wajahnya, Hamid segera menundukkan kepalnya karena malu. Keringat dingin pun keluar membasahi dahi dan lehernya.
“Fah, ini Hamid. Kamu masih ingat ‘kan?” kata bu Maryani.
“Ya Bu, Latifah masih ingat.”, jawab Latifah dengan malu-malu.
“Bagaimana Nak Hamid, anakku cantik ‘kan?”
Sambil tersenyum Hamid pun menganggukkan kepalanya. Tidak dapat ia luncurkan kata-kata dari mulutnya.
“Latifah, kamu setuju ‘kan dengan rencana pernikahan ini?” bu Maryani bertanya kepada calon menantunya untuk mencari kepastian.
Latifah hanya tersenyum sebagai tanda bahwa ia setuju.
Jadwal pernikahan pun segera mereka susun. Jika tidak ada aral melintang, dua minggu lagi Hamid dan Latifah menikah.
***
“Permisi! Permisi!” terdengar suara lantang dari luar rumah pak Musa sehari setelah Hamid dan ibunya datang di sana.
“Kamu lagi! Belum puas juga dengan penjelasan saya tempo hari? Sadarlah bahwa anakku tidak ada perasaan apa-apa padamu!”
“Bapak yang seharusnya sadar bahwa anak Bapak memiliki hak untuk memilih pasangannya sendiri! Bukannya dijodoh-jodohkan. Memangnya Bapak adalah Tuhan yang berhak menentukan jodoh seseorang? Berikan saya kesempatan untuk membuat anak Bapak memilih saya sebagai suaminya!”
“Hai anak muda! Dua minggu lagi anakku akan menikah dengan pria baik yang menyayangi anakku.”
“Baik, jika itu kemauan Bapak. Saya akan membuat Bapak menyesal selamanya. Permisi!”
Pemuda itu segera meninggalkan rumah pak Musa dengan raut wajah yang kusam.
Tiga hari yang lalu pemuda itu juga bertamu di rumah pak Musa. Namanya Karim. Ia pemuda yang jatuh hati kepada Latifah. Pekerjaannya sebagai pengelola tempat hiburan malam. Pak Musa sangat keberatan jika beliau memiliki menantu seorang yang bergelut di bidang hiburan yang tidak disukai oleh sebagian besar masyarakat. Awalnya Karim datang baik-baik untuk melamar Latifah. Namun setelah lamarannya ditolak, ia pun berani melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada pak Musa.
***
Hari pernikahan yang ditunggu akhirnya tiba juga. Hamid memakai pakaian adat pernikahan di daerahnya. Latifah juga memakai pakaian adat dengan ditambah kerudung. Wajah mereka terlihat sangat bahagia.
“Kamu cantik sekali Latifah. Hamid sudah menunggumu.”, kata pak Musa diiringi senyum beliau.
”Latifah gugup Pak. Jantung Latifah dari tadi berdetak dengan kencang.”
”Itu hal yang wajar. Kamu tidak usah mempermasalahkannya. Almarhumah ibumu dahulu juga gugup saat hendak Bapak nikahi.”
Latifah dan Hamid kini duduk bersanding. Akad nikah pun akan segera dilaksanakan.
Tiba-tiba terdengar suara Karim dengan lantang.
”Hentikan acara pernikahan ini! Sampai kapan pun saya tidak akan mau menyetujuinya!”
”Apa hubunganya pernikahan ini dengan persetujuanmu? Memangnya kamu siapa berani mengatakan hal seperti itu? Pergi dari sini sebelum aku memanggil polisi untuk menangkapmu!” kata pak Musa dengan sangat ketus.
”Dooor!” suara letusan pistol Karim membuat orang-orang berhamburan keluar dari rumah pak Musa.
”Hentikan pernikahan ini atau pistol ini akan melukai banyak orang di sini!” Karim kembali mengingatkan orang-orang di rumah pak Musa dengan nada marah.
”Karim! Kamu yang seharusnya menghentikan tindakan tercelamu ini! Sadarlah bahwa kita tidak cocok. Aku pun tidak pernah mencintaimu.” Latifah angkat bicara.
”Dengar itu baik-baik!” kata pak Musa.
”Diam! Diam! Jangan menceramahi saya lagi! Latifah ayo ikut aku!”
”Tidak ada yang boleh membawa Latifah selain diriku. Kamu sebaiknya jangan bertindak seperti kanak-kanak!” Hamid yang sejak tadi diam kini ikut bicara.
Tidak ada suara keluar dari mulut Karim setelah ia mendengar kata-kata Hamid. Mulut Karim terkunci oleh api cemburu yang sangat besar. Tangan kanannya dia arahkan ke tubuh Hamid. Seketika itu pula tubuh Hamid roboh bersimbah darah. Peluru Karim berhasil menembus tubuh Hamid.
”Tidak…!” teriak bu Maryani.
Rupanya Karim belum puas menembuskan satu peluru di tubuh saingannya itu. Latifah yang melihat Hamid ingin menembakkan pelurunya yang kedua kalinya ke tubuh calon suaminya itu langsung menjadikan dirinya perisai. Tidak pelak lagi, Latifah pun roboh.
”Apa yang sudah aku lakukan. Latifah, Latifah, maafkan aku!” ucap Karim dalam hati kecilnya.
Karim pun segera melarikan diri. Tidak ada satu pun warga yang berhasil menangkapnya. Ia berhasil lolos dengan pistol di tangannya. Polisi segera mengadakan pencarian. Setelah beberapa hari buron, akhirnya Karim berhasil dibekuk pihak aparat.
***
”Hai anak muda! Apa kesalahanmu sehingga saat ini kamu ada di sini?” tanya seorang napi tua di ruang tahanan Karim berada.
”Aku telah menembak dua orang.” jawab Karim singkat.
”Keduanya tewas?”
”Mereka tidak tewas, tetapi saat ini masih belum sadarkan diri.”
”Apa alasanmu menembak keduanya? Kamu masih muda dan tidak selayaknya kamu berada di sini. Kamu seharusnya membangun negara ini dan bukannya meringkuk di sini”
”Saya melakukannya karena rasa cemburu yang besar.”
”Ha ha ha ha…ha! Hai anak muda! Kamu jangan biarkan dirimu dikuasai hawa nafsu jelekmu! Cemburu seharusnya kamu buang jauh-jauh! Jika kamu mencintai seorang wanita tentulah kamu memiliki kepercayaan kepadanya. Untuk apa ada cemburu? Kecuali kamu tidak memiliki kepercayaan kepadanya dan itu berarti kamu belum mencintainya dengan sepenuh hati.”
Karim benar-benar tidak bisa membantah kata-kata orang tua di hadapannya. Karim baru sadar bahwa selama ini dia belum mencintai Latifah sepenuh hati. Dia sadar selama ini hanya ketertarikanlah yang melekat di hatinya kepada Latifah.
***
Empat hari sudah berlalu setelah insiden berdarah itu terjadi. Hamid dan Latifah masih dalam kondisi lemah. Mereka belum dapat berdiri. Darah mereka banyak keluar saat terjadi penembakan tempo hari lalu. Syukurlah ada beberapa kantong darah yang cocok dengan golongan darah mereka.
”Kak Hamid! Bagaimana jika kita melangsungkan nikah di rumah sakit saja?” tanya Latifah yang di rawat di samping Hamid.
”Tentu aku setuju dengan usulmu itu Latifah. Nanti insya Allah aku akan sampaikan rencana ini kepada keluarga kita.”
Pak Musa dan ibu Maryani datang menjeguk mereka untuk yang ke sekian kalinya. Kali ini mereka berdua bahagia karena mendengar Hamid menyampaikan rencana pernikahannya dengan Latifah di rumah sakit sesegera mungkin.
”Wah! Itu usul yang bagus sekali Mid, Fah.” seru pak Musa.
”Besok kami usahakan kalian menikah di sini.” sahut bu Maryani.
Mereka melangsungkan pernikahan sangat sederhana di rumah sakit. Mereka duduk berdua di majelis nikah jauh dari kesan mewah. Meskipun demikian, kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Kini mereka telah menjadi pasangan suami istri dan mulai menapaki bahtera rumah tangga.
***