Anjrah Lelono Broto
Ada sebuah kedukaan yang mendalam ketika “Teater Sansesus SMAN 2 Jombang”, harus kehilangan sanggarnya karena digusur oleh “Sang Pembuat Kebijakan” lembaga pendidikan. Meski harus jujur diakui, kedukaan ini bersifat pribadi dan berpijak pada ikatan sejarah masa lalu sebagai alumni, akan tetapi kenyataan “penggusuran” ini makin memperkuat wacana politik pemerintah yang cenderung iliterasi. Keberadaan sebuah kelompok kegiatan ektrakurikuler berbasis kesenian dan kebudayaan di sebuah lembaga pendidikan, secara mendasar, merupakan wahana pembelajaran dan pendalaman teks-teks kesenian dan kebudayaan, seperti sastra, tari, lukis, dan teater itu sendiri.
Namun, dewasa ini, pendidikan di Indonesia cenderung memarjinalkan pendidikan kesenian dan kebudayaan. Padahal, secara kultural, dalam pendidikan kesenian dan kebudayaan tersebut terbentang senyawa pengembangan mental, spiritual, sejarah, dan moralitas. Sehingga, hari ini, secara kualitas, output pendidikan Indonesia cenderung gersang dari torehan-guratan mental, spiritual, sejarah, dan moralitas.
Akankah kita percayakan masa depan Indonesia kepada generasi muda seperti ini?Film India “Rang De Bhasanti”, yang dibintangi oleh Amir Khan, telah mengkritisi fenomena generasi muda India yang memiliki kemiskinan akar budaya, dan sejarah India. Sehingga mereka mengalami shock ketika menjumpai fakta bahwa justru orang lain dari ras, etnik, dan kultural non-India yang lebih memahami sejarah legenda kepahlawanan Bhagat Singh. Sekarang, andaikata pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) berani untuk melakukan survey (secara jujur) tentang pengetahuan sejarah, kesenian, dan kebudayaan; kepada para siswa di sekolah seluruh Indonesia, maka hasil yang sangat memilukan dan memalukan akan mencuat ke permukaan.
Ketika Menteri Pendidikan Anton Soedibyo berani menepuk dada memamerkan keberhasilan dan arah pergerakan pendidikan kejuruan yang berorientasi menciptakan ‘pekerja’ di di depan Karni Ilyas, dalam sebuah acara talk show di TVOne, ada sebuah keinginan menyesak di dalam dada untuk membisik sebuah pertanyaan di telinga Karni Ilyas; “Adakah pengajaran kesenian dan kebudayaan di sekolah?”
Mengapa? Karena secara faktawi, pengajaran kesenian dan kebudayaan di lingkungan lembaga pendidikan cenderung menjadi pilihan ke sekian dari fokus arah dan strategi pengelolaan pembelajaran. Bila teater dan tari berdiri di lingkungan ekstrakurikuler, sangatlah wajar kalau mereka mendapat perlakuan ala Borjuis-Proletar. Tetapi, lukis dan sastra berada di lingkungan pembelajaran intrakurikuler, kenyataannya dua kutub kesenian dan kebudayaan ini juga menerima perlakuan yang sama. Tari di’okulasi’kan pada bidang studi Kertakes, sedangkan sastra terpaksa di’cangkok’kan pada bidang studi Bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka cenderung dipandang sebagai ‘tempelan’ atau ‘penggenap’ yang eksistensinya terpinggirkan dan cenderung untuk ditiadakan oleh “Sang Pengambil Kebijakan” di lingkungan lembaga pendidikan.
Lebih lanjut, kegiatan marjinalisasi berjama’ah pembelajaran kesenian dan kebudayaan ini berdampak pada siswa yaitu menurunnya budaya baca buku-buku sastra. Jika siswa SMA di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMA di negara jiran, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMA di Indonesia adalah nol buku. Padahal, pada era penjajahan Belanda, siswa SMA (dulu disebut Algemeene Middelbare School-AMS), diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra. Jika siswa SMA di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, maka 80% warga Amerika yang menamatkan pendidikan di AS pasti pernah membaca buku cerita fiksi “Moby Dick”, karena buku yang bercerita tentang petualangan di laut ini senantiasa ada di perpustakaan sekolah dan guru-guru sastra Inggris pasti pernah memberi penugasan yang mengharuskan membaca buku tersebut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Bukankah kita juga memiliki “Siti Nurbaya”, “Gurindam Dua Belas”, “La Galigo”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Burung-Burung Manyar”, “Lintang Kemukus Dini Hari”, “Rara Mendut”, “Gadis Pantai”, “Supernova”, “Saman”, “Ayat-Ayat Cinta”, “Laskar Pelangi”, dan sederet karya-karya masterpiece sastrawan Indonesia. Akan dibuang kemanakah karya-karya sastrawan Indonesia tersebut?
Realitas tak terpelakkan ini semakin memperteguh asumsi bahwa selama ini bahwa pengajaran sastra di sekolah-sekolah kita masih jauh dari idealitas. Ada sebuah PR yang harus mendesak untuk dikerjakan yaitu bagaimana meyakinkan pemerintah sebagai pengambil kebijakan tertinggi bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Berbekal harapan besar, bahwa pembelajaran seni dan budaya (terlebih sastra) dapat menanamkan landasan kesejarahan Indonesia, pembangunan mentalitas dan spiritualitas, serta moralitas yang berpijak pada kultural Indonesia, sebagai investasi jangka panjang.
Sebagai institusi pencetak “agent of change” sekolah sejatinya haris menempatkan diri sebagai media strategis untuk menguatkan nilai-nilai etika dan estetika moral, religi, kesejarahan, nasionalisme, dan budaya. Namun, megahnya pagar, bangunan laboratorium, serta aula tidak disertai dengan kekayaan perbendaharaan buku (sastra) di perpustakaan dan intensitas peminjaman buku yang menggembirakan. Sehingga, kualitas hasil pembelajaran cenderung “hampa” dan terkesan babak belur. Pada pembelajaran apresiasi sastra, siswa tidak diajak untuk aktif dan apresiatif teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi semata teksbookish (hafal-menghafal karya dan nama pengarangnya). Kalaupun lebih mendalam, kegiatan apresiasi sastra terpatron habis dalam bingkai yang diberikan dalam buku, LKS, BKS, dll. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, guru mengajak siswa berhenti pada cover luar (permukaan), sehingga siswa gagal menikmati kandungan nilai-nilai dalam karya sastra. Realitas pembelajaran apresiasi sastra seperti ini tidak saja memprihatinkan, tetapi juga mengubur kecerdasan emosional dan spiritual siswa sebagai individu yang humanistis.
Sejatinya, pembelajaran apresiasi sastra adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Seorang pembaca dapat mengidentifikasikan dirinya secara bebas dan memetik katarsis dari tokoh-tokoh cerita, jalinan konflik, tema, setting budaya, setting waktu dan tempat, sehingga pembaca memperoleh kesadaran secara humanistis dalam upaya memandang segala fenomena, pernik-pernik peritiwa, dan liku-liku kehidupan. Seperti halnya karya seni yang lain, sebuah karya sastra seringkali mampu mengajak pembacanya membangun refleksi. Karya sastra menjadi lentera penerang sisi-sisi gelap (kebinatangan) manusia dalam hidup dan berkehidupan. Melalui jalinan peristiwa, proyeksi tokoh secara fisik dan psikologis, teks literasi sastra menjadi tiruan yang mengayakan batin siswa sebagai manusia yang multidimensional. Kekuatan bahasa (diksi dan gramatikalnya) menuntun pembangunan landasan konstruksi personal yang beretika, berestetika, bermoral, dan beragama.
Bukankah Al Qur’an, Injil, Weda, Tri Pitaka, Mahabharata, maupun Ramayana, adalah sebuah teks yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaian pesan (firman)? Namun, mungkinkah tujuan mendasar pembelajaran apresiasi sastra dapat dicapai dengan metode hafalan dan pembacaan sinopsis yang instan?
Rendahnya kualitas pembelajaran apresiasi sastra di lingkungan lembaga pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kenyataan minimnya guru ber“talenta” dan berminat serius terhadap sastra. Di satu sisi, kenyataan ini diperparah oleh kurikulum yang memaksa apresiasi sastra sebagai materi “cangkokan” dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Akibatnya, proses pembelajaran apresiasi sastra cenderung dilakukan setengah-setengah. Memang, pembelajaran sastra memerlukan strategi dan metode pembelajaran tersendiri yang cenderung kontekstual, kooperatif, dan kompleks; karena tiga ranah pembelajaran yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat tercakup sekaligus. Akibatnya, guru bidang studi bahasa Indonesia yang kurang berminat dan bertalenta sastra, menganggap pembelajaran apresiasi sastra sebagai beban, dan cenderung diabaikan. Meski bidang studi Bahasa Indonesia termasuk dalam mata pelajaran yang di-UNAS-kan, toh format ujiannya bersifat kognitif semata. Dus, kenapa harus mempersulit diri?
Apabila, pembelajaran apresiasi sastra berdiri independen, misi memanusiakan manusia yang menjadi tanggung jawab pendidikan akan menjadi lebih ringan, sebab pembelajaran sastra menjadi media pengembangan pengetahuan budaya, sejarah, etika, estetika, religi, serta karakter siswa. Independensi pembelajaran apresiasi sastra diasumsikan menjawab kebuntuan dan kesimpang-siuran proses dan arahan pembelajaran Bahasa Indonesia, yang termangu-mangu di persimpangan antara linguistika dan kesusastraan.
Di pihak lain, pemerintah juga harus menerapkan politik literasi dalam penataan dan penetapan arah pendidikan Indonesia, sehingga memberikan ruang bagi pengembangan pengetahuan budaya, sejarah, etika, estetika, religi, serta karakter siswa. Andaikata, pemerintah masih setia dengan politik iliterasinya maka generasi muda Indonesia tidak akan mengenal teks-teks sastra yang berkualitas. Akibatnya, mereka akan cenderung kehilangan eksistensinya sebagai manusia, dan menjadi generasi yang berintelektual namun tidak beretika, berestetika, bermoral, dan beragama.
Bukankah sekarang sudah nampak gejala-gejalanya? Perkelahian pelajar, maraknya video porno, human trafficking, pernikahan di bawah umur, korupsi, kolusi, manipulasi, sparatisme, chauvinisme akut, etnosentris, dan lain sebagainya adalah gejala-gejala psikososial yang tidak dapat serta merta kita pandang sebagai akibat globalisasi, tuntutan ekonomi, kurangnya komunikasi, ataupun sederet kambing hitam lainnya. Satu hal yang pasti, menggejalanya fenomena psikososial seperti di atas dilatarbelakangi rendahnya kualitas beretika, berestetika, bermental, bermoral, dan beragama masyarakat Indonesia. Jikalau dirujuk ke belakang maka pendidikan yang un-orientedlah yang menjadi penyebabnya. Semoga pendidikan yang lebih berorientasi, dengan pembelajaran apresiasi sastra yang proporsional, dapat menjadi jawaban untuk Indonesia ke depan. Mungkinkah? Selayaknya dicoba.
27 Juli, 2009
*) Litbang LBTI (Lembaga Baca Tulis Indonesia), staf ahli Ringin Tjonthong Institute, alumni Teater Sansesus SMA Negeri 2 Jombang, Jatim. Email: anantaanandswami@gmail.com