Seikat Bunga Rampai (dari) Salihara

Hasif Amini
kompas.com

Festival Salihara 2009, yang dibuka dengan tari betawi Kembang Lambang Sari oleh Laboratorium Tari Indonesia (pimpinan Wiwiek Widiyastuti) dan duet gitar jazz Dewa Budjana & Tohpati pada Rabu malam 8 Juli lalu, akan berlangsung hingga 15 Agustus 2009. Karya-karya seni dari spektrum yang luas, oleh seniman dari berbagai asal geografis dan beragam kecenderungan artistik, akan tampil di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, selama lima pekan.

Di malam pembukaan, setelah penampilan tari Kembang Lambang Sari yang penuh humor dan keriangan, duo gitaris Dewa Budjana & Tohpati tampil gemilang dengan tujuh karya mereka sendiri dan sebuah aransemen baru atas ”Keroncong Kemayoran” karya Ismail Marzuki. Suasana pertunjukan bergerak dalam mood yang beragam, nomor demi nomor: dari ”Guitar Midnight” yang lirih-sayu, ”Bermain” yang kocak-lincah, hingga ”Kromatik” serta ”Lalulintas/Mahabharata” yang canggih dan menantang pengerahan virtuositas kedua gitaris.

Sabtu-Minggu 11-12 Juli, koreografer dan penari asal Jepang, Eiko & Koma (yang sudah lama menetap di New York), menghadirkan world premiere nomor tari Hunger of the Land. Untuk penampilan pertama mereka di Indonesia ini, Eiko & Koma menawarkan program pertunjukan yang memperlihatkan motif khas dan keprihatinan utama mereka saat ini—tidak hanya tentang manusia yang lapar, tetapi juga tentang bumi yang lapar akan kesuburan dan keintiman.

Sejak berdiri pada 1972, Eiko & Koma telah menghasilkan banyak karya tari yang merupakan meditasi gerak yang mengalir dalam waktu, suara, dan cahaya. Pada 1984, Eiko & Koma meraih penghargaan John Simon Guggenheim Memorial Foundation Fellows, kemudian MacArthur Fellows pada 1996. Mereka juga dianugerahi penghargaan Samuel H Scipps American Dance Festival Award pada 2004 untuk ”kontribusi yang besar terhadap tari modern”. Pada 2006, Eiko & Koma menerima penghargaan Dance Magazine Award dan mendapat penghargaan utama dari United States Artists’ Award.

Christian Utz bersama ensemble on_line dari Austria akan tampil pada Selasa-Rabu 14-15 Juli. Christian Utz, komponis dan musikolog asal Jerman itu, tengah mencoba konsep gubahan artistik yang bebas dari batasan konvensional. Ia menjelajahi ruang-ruang antara musik dan teater, komposisi dan improvisasi, musik instrumental dan elektronik. Sementara ensemble on_line, yang berdiri sejak 1991, berkonsentrasi pada musik kontemporer dan menjelajahi aneka kemungkinan memadukan pola karya musik abad ke-20 dan ke-21.

Selain rentetan pertunjukan, Festival Salihara 2009 juga menggelar pameran seni rupa ”Perang, Kata dan Rupa”. Pameran yang akan dibuka pada Kamis 16 Juli (dan berlangsung sebulan penuh) ini menampilkan respons visual 13 perupa terhadap sajak-sajak Indonesia bertema perang. Para perupa yang berpameran antara lain Teguh Ostenrik, Ugo Untoro, RE Hartanto, Yustoni Volunteero, Chandra Johan, Wayan Suja, Putu Sutawijaya, dan Jompet Kuswidananto.

Pada Jumat-Sabtu 17-18 Juli, TimeTable Percussion Trio dari New York, yang dikenal dengan penampilan musik baru dan eksperimental yang memikat, akan mengajak penyuka musik di Jakarta untuk menikmati musik perkusi dengan lebih intim. Kelompok ini mengkhususkan diri pada musik-musik yang melintasi beragam batas gaya dan disiplin, dengan penekanan pada karya-karya yang menantang bahasa dan materi musik perkusi.

Dua koreografer dan penari lulusan Institut Kesenian Jakarta, Nur Hasanah dan Asri Mery Sidowati, akan menghadirkan karya terbaru mereka, Suara Neng dan Merah, pada Selasa-Rabu 21-22 Juli. Suara Neng terilhami oleh kehidupan para penari Jaipong Jatinegara yang masih terus bertahan di tengah hiruk-pikuk masyarakat urban Jakarta. Sedangkan Merah, yang hendak bertutur tentang Bumi yang kian panas dan meradang, mendapat inspirasinya dari Topeng Panji Indramayu.

Denise Jannah, vokalis jazz asal Suriname, Belanda, akan manggung pada Jumat-Sabtu, 24-25 Juli. Ia adalah solois jazz Belanda pertama yang dikontrak oleh perusahaan rekaman Blue Note. Ia seorang penyanyi jazz bersuara lembut, dengan corak vokal yang jernih dan ekspresif, yang tak jarang disebut memiliki kekuatan setara dengan vokalis jazz termasyhur seperti Ella Fitzgerald, Sarah Vaughn, atau Carmen McRae. Pada penampilannya di Festival Salihara tahun ini, Denise Jannah akan menyajikan lagu-lagu dari album Gedicht Gezongen, hasil gubahan atas puisi-puisi karya para penyair dari berbagai negeri dalam berbagai bahasa.

I Wayan Sadra, komponis kelahiran Bali yang kini mukim di Solo, akan tampil bersama Ansambel SonoSeni pada Selasa-Rabu, 28-29 Juli. Sadra, yang kerap memadukan unsur-unsur musik Timur dan Barat ini, akan membawakan karya-karya terbarunya, antara lain ”Endih-endih Api”, ”Bola Telah Lama Menggelinding”, ”Fantasia”, ”Julimpet”, dan ”Sungsang”.

Tolstoy’s Wife, monolog yang dibawakan aktor Australia kelahiran Inggris, Jennife Claire, pada Jumat 31 Juli dan Sabtu 1 Agustus, berkisah tentang Sonya Tolstoy, tentang cinta yang ia rasakan di tengah berbagai masalah dan cobaan terus menghadang selama 50 tahun usia pernikahannya dengan sastrawan Leo Tolstoy. Ia melahirkan 13 anak, 9 di antaranya berhasil hidup. Meski sangat mencintai Tolstoy, Sonya menolak mengikuti filosofi suaminya itu, yang berkisar pada gagasan penyangkalan dan pemantangan terhadap kenikmatan duniawi. Jennifer Claire, yang mulai terjun ke dunia teater sejak berusia 16 tahun, telah tampil dalam lebih dari 200 produksi teater, film, dan televisi.

Komponis dan musikus Dieter Mack, mantan dosen musik di UPI Bandung yang kini mukim kembali di Jerman, bakal tampil bersama Selisih Ensemble pada Minggu (2/8). Mereka akan membawakan komposisi musik karya sejumlah komponis terkini, seperti Chang-soon Ryu, Dylan Lardelli, Gillian Whitehead, Michael Norris, Robin Toan, dan Dieter Mack sendiri.

Holocaust Rising, nomor drama yang dibawakan oleh kelompok Saturday Acting Club dari Yogyakarta pada Jumat-Sabtu 7-8 Agustus, mencoba menggugat kemanusiaan modern di tengah derasnya sajian kekerasan di sekitar kita, khususnya dari media massa. Setiap hari kita menerima suguhan berita-berita kekerasan—pembunuhan, mutilasi, pemerkosaan, terorisme, dan seterusnya. Manusia, yang kini telah membuka sendiri kandang kebinatangan yang hidup dalam diri masing-masing, seakan siap melahirkan ”holocaust-holocaust” baru yang kian tak terbayangkan di dunia.

Pada Selasa 11 Agustus, Ki Purbo Asmoro—seorang dalang yang dikenal tangkas menghadirkan wayang klasik dengan gaya mendalang yang segar—akan menampilkan versi ringkas cerita hidup Karna (Banjaran Karna) dari Mahabharata selama tiga jam. Karna, salah satu tokoh paling tragis dalam dunia pewayangan, hidup dan dibesarkan di pihak yang bermusuhan dengan puaknya. Kisah Karna adalah sebuah pertanyaan pelik tentang identitas dan loyalitas.

Ligro Trio, kelompok musik beraliran jazz rock yang terbentuk pada 2004 dengan tiga personel: Agam Hamzah (gitar elektrik/akustik), Adi Darmawan (bas elektrik), Gusti Hendy (drum), akan tampil pada Rabu 12 Agustus. Ligro Trio ikut tampil pada beberapa pertunjukan musik, antara lain: Concert Practice yang diselenggarakan oleh Indra Lesmana dan Aksan Syuman di Art Studio Pondok Pinang; konser bulanan di Institut Musik Daya Jakarta; Java Jazz 2005, 2006, 2007, 2008, & 2009; Bandung Jazz Festival; Festival Musik Progresif yang diselenggarakan oleh Yamaha, konser musik progresif di Institut Musik Indonesia (IMI).

Di pengujung festival, pada Jumat-Sabtu 14-15 Agustus, Teater Lungid dari Surakarta (yang dulu bernama Teater Gapit) akan memainkan lakon Visa yang ditulis oleh Goenawan Mohamad. Lakon itu berkisah tentang liku-liku seseorang yang berusaha mendapatkan visa dan di tengah penantiannya merenungkan kembali makna ”pergi” dan ”pulang”, dengan segenap kelucuan dan kegetirannya.
***

*) Hasif Amini Kurator Festival Salihara 2009.