Suryansyah
[Wawancara yang dilakukan Majalah TIRAS (1 Juni 1995, Hal 45-50) dengan Wiratmo Soekito, Konseptor Manifes Kebudayaan 31 tahun lalu. Ia menentang pernyataan Mei 1995].
Telah lahir sebuah pernyataan, namanya “Pernyataan Mei”. Inilah pernyataan sikap sejumlah budayawan terhadap berbagai bentuk pelarangan dalam kemerdekaan mencipta. Diproklamasikan tanggal 8 Mei lalu bertepatan dengan 31 tahun dilarangnya Manifes Kebudayaan (Manikebu) oleh Presiden Soekarno “Pernyataan Mei” serta merta mendapat sambutan, baik pro maupun kontra.
Salah satu “penentang” itu adalah Wiratmo Soekito, konseptor Manifes Kebudayaan tahun 1963. “Pernyataan Mei”, katanya, “Semata-mata upaya mencari dukungan yang lebih luas bagi Dekarasi Sirnagalih yang memperjuangkan hak mereka untuk berorganisasi sendiri.” Ia berbicara panjang lebar tentang “Pernyataan Mei”, Manifes Kebudayaan, dan buku Prahara Budaya, kepada Wartawan H. Wawan Setiawan, Nanang Junaedi, Suqansyah, dan Fotografer Moriza Prananda, dari TIRAS, di rumahnya, 18 dan 19 Mei lalu. Berikut petikannya:
Anda dihubungi untuk mendukung “Pernyataan Mei”?
Seminggu sebelum pernyataan itu keluar, saya menerima faksimile “Sebuah Himbauan”, yang baru ditandatangani Arief Budiman, Budiman S. Hartoyo, Goenawan Mohamad, Rendra dan Sori Siregar. Imbauan ini bertanggal Jakarta, 8 Mei 1995 bertepatan dengan hari ulang tahun ke-31 dilarangnya Manifes Kebudayaan (Manifes) oleh almarhum Presiden Soekarno.
Anda menangkap, itu sebagai Manifes II?
Saya tidak percaya akan ada Manifes II. Sebab, Rendra, Goenawan, Arief Budiman, sebenarnya sudah meninggalkan Manifes.
Meninggalkan Manifes?
Ya. Wawancara Goenawan dengan DeTik (tabloid almarhum) menganjurkan agar Manifes bersama dengan Lekra dilupakan, karena itu masa lampau. Sejalan dengan itu, Joebaar Ajoeb (Lekra) menganggap, peristiwa itu sekarang sudah menjadi mitos. Dari situ, saya melihat, ada kedekatan antara sebagian kelompok
Manifes itu dengan Lekra.
Maksudnya, ada kesamaan cara pandang?
Ya. Saya kira, ini karena faktor Pramoedya Ananta Toer.
Apa hubungannya dengan Pram?
Pramoedya dianggap seorang novelis besar dan kebanggaan nasional. Itulah yang dikatakan Goenawan Mohamad ketika satu delegasi yang dipimpin Ilen Suryanegara menghadap Mendikbud Wardiman Djojonegoro. Ketika itu,Goenawan mengatakan, pemerintah sesungguhnya rugi dengan melarang Pramoedya. Goenawan memandang, Pramoedya orang besar. Tetapi saya kira, dalam hal ini, sikap Goenawan ditentukan oleh faktor A. Teeuw. Goenawan pasti berterima kasih kepada Teeuw atas hadiah sastra. Seperti diketahui, Teeuw sejak semula memperjuangkan supaya Pramoedya memperoleh hadiah Nobel untuk sastra. Kalau menurut saya, sekali dicalonkan dan tidak dipilih, itu batal – sampai dia membuat karya baru yang dianggap besar. Ini yang saya pelajari dari tradisi hadiah Nobel. Sedangkan, setelah Bumi Manusia, tidak ada karya Pramoedya yang lebih besar atau yang sama dengan itu.
Dengan “membela” Pram, Anda ingin mengatakan, Goenawan sudah keluar dari Manifes?
Bukan begitu. Dia mengadakan pendekatan. Sebenarnya, pendekatan itu sudah dimulai sejak tahun 1970-an, karena Goenawan banyak bergaul dengan orang-orang luar negeri. Karena itu, dia selalu memakai ukuran-ukuran luar negeri yang senang dengan Pramoedya. Kalau dia tidak melakukan kepada Pramoedya, dia merasa ketinggalan zaman. Padahal, Pramoedya punya masa lampau, yaitu melakukan intimidasi-intimidasi terhadap para pengarang yang mau bebas. Atas dasar itu, dia tidak pantas memperoleh hadiah Nobel. Saya kira, ini tujuan Taufik Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya, agar orang’ tahu bagaimana masa lampau Pramoedya dan orang Lekra lainnya.
Apakah “Pernyataan Mei” ini ada kaitarmya dengan perjuangan Goenawan menggolkan Pramoedya?
Tidak, tidak. “Pernyataan Mei” itu adalah perluasan dari Deklarasi Sirnagalih yang ditandatangani sejumlah wartawan yang memperjuangkan hak mereka untuk berorganisasi sendiri.
Alasan Anda?
“Pernyataan Mei” ini lahir sesudah anggota-anggota Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dipecat oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Saya mendengarkan sendiri wawancara Goenawan dengan BBC London beberapa waktu lalu. Dia membandingkan PWI dengan PKI dan para penanda tangan Deklarasi Sirnagalih dengan para Manifestan (penanda tangan Manifes), yang juga dipecat dari PWI setelah Badan Pendukung/ Penyebar Soekarnoisme (BPS) dilarang. Seorang Manifestan mungkin saja seorang wartawan yang menjadi anggota PWI, tetapi sebagian besar pasti tidak. Lagi pula, Manifes kemudian berpendapat, seorang Manifestan yang konsisten tidak berorganisasi secara fisik, melainkan secara spiritual saja. Saya melihat, munculnya “Pernyataan Mei” ini tidak lain dari upaya mencari dukungan bagi rehabilitasi orang-orang AJI yang dipecat PWI.
Melihat momentum munculnya “Pernyataan Mei”, 8 Mei (tanggal pelarangan Manifes oleh Presiden Soekarno), terkesan, semangat yang dibawa “Pernyataan Mei” merupakan kesinambungan Manifes 1963. Saya kemukakan, “Sebuah Himbauan” yang dikeluarkan oleh penanda tangan “Pernyataan Mei” tidak merupakan kesinambungan Manifes 1963. Pengertian mereka tentang Manifes pun keliru.
Bagaimana mungkin, padahal sebagian dari mereka justru Manifestan yang menggodok pemunculan Manifes?
Menurut “Sebuah Himbauan”, inti Manifes adalah suatu sikap untuk memperjuangkan kemerdekaan kreatif. Sebagai penyusun draf (rancangan) Manifes, saya merasa perlu mengingatkan, inti Manifes adalah penolakan terhadap penempatan kebudayaan di bawah subordinasi politik.
Anda ingin mengatakan, Manifestan yang menandatangani “Pernyataan Mei” ini bertindak salah?
Ya. Kekeliruan para penanda tangan “Sebuah Himbauan” mengenai inti Manifes, sebagian (sekali lagi sebagian) karena mereka tidak pernah bersikap rendah hati untuk merenungkan gagasan-gagasan yang saya perkembangkan dengan bertolak dari Manifes 1963. Mulai dari perlunya menjelaskan peranan falsafah untuk menghilangkan kesenjangan antara ilmu dan kebudayaan, sampai perlunya menggali sumber politik orang yang tak berpolitik untuk mencegah timbulnya pengkhianatan kaum intelektual.
Konkretnya?
Konon, dalam sebuah surat Rendra pada tahun-tahun 1960-an kepada Arief Budiman, ia mengaku, Manifes memang “kontrarevolusioner”. Arief Budiman sendiri, dalam sebuah wawancaranya, telah menyesalkan bahwa Manifes telah memakai “senjata politik”. Kesemuanya, bagi saya, hanyalah mencerminkan apa yang oleh orang Prancis sebutkan sebagai maladie enfantine de l ‘independance (penyakit kanak-kanan kemerdekaan). Goenawan, dalam sepucuk suratnya dari Eropa kepada saya, mengatakan, ia telah malu turut menandatangani sebuah Manifes yang, sepanjang hematnya, penuh dengan klise. Dalam sebuah wawancara, Goenawan pernah menganjurkan agar Manifes dan Lekra sama-sama dilupakan saja. Nah, sekonyong-konyong mereka mengambil posisi berpaling kepada Manifes setelah para penanda tangan Deklarasi Sirnagalih mengalami kesulitan karena kehilangan keanggotaannya dalam PWI.
Ide “Pernyataan Mei” ini kan datang dari Arief Budiman bukan dari Goenawan?
Arief Budiman sangat aktif dalam usaha mempengaruhi orang agar memboikot pengganti Tempo. Ini kan sebetulnya sudah kontradiksi. Cara itu kan sudah hampir menyerupai teror Pramoedya terhadap majalah Sastra dahulu. Jadi, komitmen Arief Budiman terhadap Tempo besar sekali.
Anda ingin mengatakan, ini proyek Goenawan Mohamad?
Ya.
Apakah sebegitu sederhana, sampai Rendra dan budayawan lain ikut serta?
Rendra melihat paralelisme dengan ceramah-ceramahnya yang dilarang.
Bukankah yang disampaikan “Pernyataan Mei” beralasan. Pelarangan yang terjadi tahun l960-an seperti kebebasan mencipta, berpendapat, sekarang terulang lagi?
Saya merasa tetap bebas. Saya pernah ditanya orang Amerika, teman Mochtar Lubis, “Apakah Anda seorang penulis yang bebas?”Saya jawab, “Kalau saya bukan penulis yang bebas, bagaimana saya rata-rata bisa menulis satu artikel sehari.” Saya tulis itu dengan antusias, merasa bahagia. Saya merasa, apa yang saya keluarkan melalui pikiran saya selalu baru. Jadi, tergantung pada orang itu sendiri. Selama masih mengambil sikap “aku mencintai kebebasan”, sesungguhnya ia orang yang bebas. Kalau menganggap ukuran kebebasan itu sukses, seorang yang setiap hari mengambil keuntungan belum tentu bebas.
Pengertian kebebasan yang dimiliki Rendra dan kawan-kawan itu masih pada tingkat pertama. Menurut saya, ada empat tingkat kebebasan. Yang tertinggi adalah kebebasan moral, di mana saya diikat tetapi saya tidak merasa terikat. Sementara, tingkat terendah, dia melihat, apa yang ada di sekitarnya itu adalah sikap permusuhan yang cuma mau menghalang-halangi saja. Itulah yang disebut kebebasan untuk memberontak. Menurut saya, ini disebabkan karena prestasinya masih rendah. Kalau yang bersangkutan sudah tinggi, tidak ada kekhawatiran untuk dipasung atau dicekal. Menurut pendapat saya, kalau mereka menginginkan kembalinya kebebasan, bukan begini caranya.
Caranya?
Caranya melakukan pendekatan dengan para 3 penguasa. Dialog. Mari, kita bicara. Kalau cara kita berkomunikasi baik, para penguasa bisa diajak bicara.
Kalau sekarang muncul pelarangan-pelarangan, mengapa?
Saya kira, itu timbul karena misunderstanding, lalu miscommunication. Seperti dikatakan Mensesneg Moerdiono, “Mereka mau kebudayaan, ayo kita juga mau kebudayaan. Mereka mau agitasi, kita juga agitasi.” Jadi, sebenarnya: kata berjawab, gayung bersambut. Saya tidak membela pemerintah. Saya netral. Saya selalu suka kepada apa yang disebut the balance of right. Jadi, dari dua pihak itu: oh . . . ini benar, itu benar. Masing-masing pihak keluarkanlah argumen, jangan prasangka. Penguasa prasangka, senimannya juga prasangka. Cobalah dikomunikasikan. Tetapi, anehnya, banyak ilmu komunikasi masyarakat makin tidak komunikatif.
Mengapa bisa begitu?
Saya kira, ada yang salah di dalam penerapan komunikasi. Kadang-kadang, tidak selalu bicara itu bisa langsung. Kadang-kadang, kita perlu bicara lewat orang ketiga. Misalnya: antara suami, istri, dan anak. Kalau si suami mau mengkritik istrinya, ia bilang lewat anaknya. Begitu juga, di sini. Jadi, dibutuhkan seni untuk lihai. Dengan demikian, saya mengkritik pemerintah, tetapi pemerintah tidak marah.
Namun, ada keluhan, pemerintah tidak toleran terhadap per bedaan pendapat.?
Ya. Tetapi, pengertian perbedaan pendapat mereka tidak sama dengan perbedaan pendapat menurut pemerintah. Presiden Soeharto mengatakan, boleh berbeda pendapat, tetapi jangan untuk meruncingkan. Kadang-kadang, mereka betul-betul menentang, lalu mengatakan, “Ini cuma perbedaan pendapat.” Jadi, diperlukan juga kejujuran. Berbeda pendapat ya berbeda pendapat, dan kemukakan itu tanpa kebencian. Kalau itu dikemukakan dengan kebencian, itu bukan perbedaan pendapat lagi. Kalau di pihak satu sudah begitu, di pihak lain juga akan sama. Ini radikal, yang itu juga radikal. Menurut pendapat saya, radikal harus dijawab dengan ironi.
Maksudnya?
Ironi adalah suatu jawaban yang tidak bisa diharapkan terlebih dahulu. Dikira jawabannya begini, tetapi ternyata lain. Itu ironi. Novelis-novelis besar banyak menggunakan ironi.
Kalau logika itu dipakai, bukankah bertolak belakang dengan munculnya Manifes yang memberontak terhadap situasi Orde Lama?
Tidak. Itu keliru. Manifes tuntutannya cuma satu: kebudayaan jangan ditempatkan di bawah subordinasi politik. Pokoknya, asal seniman dan sastrawan ini tidak ditempatkan di bawah subordinasi orang politik, cukuplah itu. Jadi, bukannya berontak. Itu terlalu dilebih-lebihkan. Tidak ada yang namanya pemberontakan. Manifes bukan suatu pemberontakan kebudayaan. Barangkali, orang-orang yang dangkal bilang begitu. Orang yang betul-betul mengerti, yang berada di dalam situasi itu, tidak akan berpendapat demikian.
Kalau Manifes dahulu menentang ditempatkannya kebudayaan di bawah subordinasi politik, sekarang juga ada pendapat: politik tetap sebagai panglima.
Ya, di mana? Di dalam konflik organisasi saja kan, PWI dan AJI. Itu kan hanya salah satu contoh mutakhir yang diangkat Goenawan. Bukankah banyak contoh lain, seperti pelarangan pementasan teater, baca puisi, dan ceramah? Ya, kalau mereka misalnya agitasi, tentu pemerintah akan bertindak.
Artinya, kondisi penciptaan Manifes dahulu dengan “Pernyataan Mei” berbeda?
Beda. Saya kira, “Pernyataan Mei” tekanannya hanya protes
Anda menangkap, ada nuansa politisnya?
Ada. Saya kira, itu bagian dari suatu oposisi. Bagian dari pemikiran, seolah-olah pemerintah ini akan segera runtuh. Mereka mengira, pemerintah sedang dalam krisis. Kalau memang sedang dalam krisis, kan saya sudah berpolitik. Saya akan mengatakan, saya berpolitik hanya kalau Indonesia dalam krisis. Tetapi, ini belum apa-apa.
Bukankah beralasan mengkhawatirkan kejadian getir masa lampau terulang lagi?
Kalau mereka bilang sejarah berulang, apa yang berulang. Yang berulang itu kan “Pernyataan Mei” ini. Yang berulang itu bukan pemerintah. Jadi, harus dihindarkan cara berpikir historisisme. Historisisme itu begini: apa yang telah terjadi di dalam sejarah pasti akan berulang lagi. Jadi, kalau misalnya telah pecah Perang Dunia I, pasti nanti akan pecah Perang Dunia II. Setelah pecah Perang Dunia II, pasti akan terjadi Perang Dunia III. Itu historisisme. Itu lemah dalam menganggap bahwa hal yang berulang itu bisa diramalkan. Yang berulang itu sebetulnya cuma kesalahan. Kebijaksanaan tidak akan berulang. Seperti dikatakan Hegel, ‘We learn from history that we don’t learn history.” Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar kepada sejarah. Tetapi, kalau itu kita ingat, kan tidak jadi berulang. Kalau tidak ingin mengulangi, misalnya apa yang terjadi pada masa Gestapu, bilanglah sebelum ini terjadi.
Tidakkah selama ini sudah sering dilakukan? Misalnya, ada keluhan-keluhan: ada pelarangan-pelarangan, namun pelarangan tetap juga berlangsung?
Ya. Tetapi, setelah terjadi. Pada zaman Ali Sadikin masih bikin Taman Ismail Marzuki (TIM), pelarangan itu kan belum terjadi. Kok, mereka pesta-pesta kebebasan saja? Ketika itu, saya sudah memperingatkan.
Memperingatkan bagaimana?
Ketika itu, saya menulis di Harian Merdeka, sebelum Bung Karno meninggal. Saya termasuk orang yang kritis terhadap pembentukan TIM. Saya katakan, “Jangan mengira, besok pagi Anda masih bebas.” Saya bilang begitu. “Sekarang, Anda mendapat kebebasan penuh, fasilitas penuh. Tetapi, jangan kira, besok pagi masih sama.”
Wiratmo pernah belajar filsafat di Universitas Katolik Nijmengen, negeri Belanda. Tidak sampai tamat. Begitu balik ke Indonesia, pria kelahiran .Solo (8 Februari 1929) ini memulai karier sebagai karyawan Radio Republik Indonesia (1957-1972), anggota redaksi majalah Kebudayaan Indonesia (1965&1969), mengajarkan apresiasi drama dan sastra di Akademi Teater Nasional indonesia (ATN ) Jakarta (1960-1962). Pada masa remaja ia mengaku sangat “dekat” dengan marxisme. Sebagai anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), ia pernah mengikuti kursus politik. “”Hampir.semua guru saya berpaham marxisme.” Setelah dewasa, ia justru penentang paling tegar kaum marxis (komunis) di Indonesia. Sebagai konseptor Manifes Kebudayaan, Wiratmo diganyang Lekra dan para sekutunya. Menyusul pelarangan Manifes ttahun 1964! ia pun nyaris bungkam.
Bagaimana ceritanya, Anda ,menjadi konseptor Manifes?
Saya didorong oleh teman-teman muda, seperti Goenawan, Bur Rasuanto, Arief Budiman. Mereka kan kepengin punya nama.
Ide Manifes memang dari Goenawan Cs?
Ya. Goenawan, Bur Rasuanto.
Ketika itu, mereka belum punya nama?
Belum.
Boleh dibilang, mereka mau mendompleng Anda?
Artinya, mereka takutkan, kalau kondisi politik terus-menerus begini, ya jangan-jangan nggak akan dikenal nama kita. Lebih-lebih, Salim Said. Ketika itu, baru tamat SMA. Dia bilang, “Wah, enak ya sudah punya nama.” Ketika itu, orang seperti Anas Ma’ruf, Trisno Sumarjo, berpikir, “Kita ini nggak ada kesempatan lagi.”
Nama Anda sudah besar ketika itu?
Ah, nggak juga. Saya ketika itu memimpin satu rubrik di Radio Republik Indonesia (RRI) yang, tiap hari Senin, waktunya setengah jam, membawakan acaramu dan Seni. Sebuah laporan mingguan di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Itu yang membuat saya banyak dikenal. Saya juga sudah banyak menulis di mingguan Siasat, Indonesia Raya, Star Weekly, yang dipimpin P.K. Ojong, dan Keng Po, yang kemudian menjadi harian Kompas.
Kabarnya, Manifes terkenal justru setelah dilarang?.
Ya. Artinya, menjelang dilarang, juga menimbulkan heboh nasional. Tetapi nggak pake demonstrasi-demonstrasi seperti Goenawan. Kalau Goenawan kan pake demonstrasi-demonstrasi. Dahulu, belum sehebat sekarang, yang sudah canggih. Bisa demonstrasi segala, ya.
Manifes sempat pecah, karena Anda bersama H.B. Jasin dan Trisno Sumardjo minta maaf kepada Bung Karno?.
Bukan. Begini. Yang minta kami agar minta- maaf itu militer. Kata mereka, “Kalau mau terus, kami dukung. Mintalah maaf.”
Siapa pihak militer yang menyarankan Anda minta maaf?
Ya, kelompok Nasution, Yani, dan sebagainya. Tetapi, melalui intelijen mereka dari staf Angkatan Bersenjata. Hubungannya tidak dengan saya, tetapi dengan Bokor Hutasuhut. Kita memerlukan dukungan militer untuk surivive. Lalu, saya masih bilang kepada Rendra, Goenawan, dan sebagainya. “Kalau kalian itu pahlawan, keluarkanlah statemen kalian tidak setuju kita minta maaf.” Nyatanya, mereka nggak berani.
Mereka menentang langkah Anda?
Ya. Yang muda-muda ini, yang masih emosi, yang belum memperhitungkan taktik-taktik politik, berkeberatan. Lalu, saya bilang, “Siapa yang berkeberatan supaya mengeluarkan statemen berkeberatan.” Jangan baru kemudian kelak kalau kita sudah menang.
Itu sebelum atau sesudah menghadap Bung Karno?
Setelah.
Bukankah protes mereka beralasan, karena Anda tidak berkompromi terlebih dahulu dengan Manifestan lainnya?
Tetapi, itu hasil rapat. Memang ada pendukung radikal Manifes, tetapi bukan Jasin dan kawan-kawannya yang menandatangani kawat kepada Presiden Soekarno. Sebab, seorang yang tak berpolitik lebih memilih sikap ironi dan menolak sikap radikal.
Anda dan Jasin bertemu langsung dengan Bung Karno?
Lewat telegram. Dan, telegram itu tidak pernah sampai kepada Soekarno. Karena itu, kita utus Toyib Hadiwijaya-ketika itu menjabat menteri perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan (PTIP). Telegram itu sampainya di rumah Nyoto, karena di Telkom banyak orang Pemuda Rakyat. Mereka yang menyabot sehingga tidak sampai kepada Soekarno. Telegram itu dua kali tidak sampai kepada Soekarno. Karena itu, Toyib diutus.
Apa jawaban Bung Karno ketika itu?
Bung Karno mengatakan, “Kalau mereka berjiwa besar dengan minta maaf, saya juga akan berjiwa besar dengan memaafkannya.
Dengan minta maaf, artinya Manifes dianggap tidak ada?
Bukan. Itu sebetulnya untuk membuat Harian Rakyat (koran PKI-Red.) kecele. Mochtar Lubis juga menarik kesimpulan, seperti tertulis dalam bukunya Catatan Subversif, bahwa dengan permintaan maaf itu berarti sudah menolak Manifes Kebudayaan. Saya kira, Catatan Subversif tidak dibuat di penjara, tetapi tampaknya dibuat di Jakarta, karena dia katakan sebelum permintaan maaf dikirim.
Dia tahu dari mana?
Jadi, Mochtar menulis begitu terpengaruh oleh fiksi. Pada cetakan berikutnya buku itu sudah tidak ada lagi. Di dalam buku Prahara Budaya yang ditulis Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto, ada dituliskan tentang permintaan maaf itu dalam sebuah tulisan yang berjudul Sandiwara Manikebu. Reaksi itu justru menyelamatkan kami. Kalau tidak ada reaksi dari lawan itu, mungkin kami malah dirugikan. Jadi, ini bukti, kita bisa memanfaatkan reaksi dari lawan.
Tetapi, Taufik sendiri termasuk orang yang menentang permintaan maaf Anda itu?. Ya. Saya baru tahu kalau Taufik Ismail ternyata juga menentang permintaan maaf saya bersama H.B. Jasin kepada Soekarno. Padahal, perlu saya tegaskan, minta maaf itu kami lakukan tanpa mengingkari isi Manifes.
Kalau bukan diingkari, lalu apa artinya?
Minta maaf bahwa ini tidak direstui. Kami dahulu kan pro Soekarno. Bukannya sudah anti Soekarno. Nggak. Kami diajak oleh militer mendukung Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Jadi, bukannya sudah memusuhi. Menurut pendapat kami, Soekarno melarang Manifes karena desakan komunis. Bukan kehendak pribadinya.
Bung Karno tidak berkutik di bawah PKI?
Nggak berkutik. Karena, antara Soekarno dan PKI ada agreement.
Agreement tentang apa?
Agreement bahwa PKI akan mendukung semua langkah Soekarno asalkan Soekarno melarang semua yang menentang PKI. Jadi, siapa pun yang complain dengan PKI akan dilarang.
Agreement itu tertulis?
Nggak tertulis. Chaerul Saleh mengatakan kepada Hasan Sastraatmaja, pemimpin redaksi Nusantara, “Hasan, kamu boleh menyerang PKI. Tetapi, jangan menyerang Bung Karno. ” Lalu, Aidit mengeluarkan statemen, dikutip oleh pers, “Siapa yang hari ini menyerang PKI, tak bisa tidak, besok pagi akan menyerang Soekarno.” Itu artinya, semua yang complain dengan PKI akan dilarang oleh Soekarno.
Anda tidak pernah menyesal telah minta maaf?
Saya tidak pernah menyesal, karena itu langkah yang terbagus.
Langkah terbagus? Maksudnya?
Menurut saya, itu taktik ironi. Itu kami lakukan diam-diam agar jangan sampai bisa diramalkan oleh PKI. PKI meramalkan, kami akan mengeluarkan statemen menolak Manikebu. Lalu, kami menggunakan taktik ironi. Lebih baik minta maaf, tetapi tidak mengingkari isi dari pernyataan itu.
Ada kesan, dengan minta maaf, Anda tidak konsisten. Bahkan, ada suara miring, Anda adalah orang yang pandai bermain ke mana arahnya angin baik?.
Bukan. Kita tetap sulit karena tidak dimaafkan. Lalu, saya katakan, jiwa besar tidak pernah buruk. Minta maaf itu adalah jiwa besar. Hanya orang yang berjiwa besar yang mau minta maaf. Bahwa itu tidak dimaafkan, itu adalah uji coba bagi jiwa besar orang yang tidak memaafkan. Jadi, sebetulnya kelompok ini dahulu mau mendiskreditkan saya. Tetapi, karena ada H.B. Jasin, mereka tidak bisa. Soalnya, mereka mencintai Jasin,
Yang Anda maksudkan itu Goenawan, Rendra?
Ya. Tetapi, mereka tidak bisa, karena sangat mencintai Jasin. Selain itu, Jasin sangat bijaksana, tidak pernah mengkritik mereka. Kalau saya, kan polos. Saya katakan apa yang mau saya katakan. Itu risiko karena keterbukaan, kan. Tetapi, kalau Jasin, masih bisa dekat dengan orang-orang Lekra. Pada ulang tahun Pramoedya yang ke-70 baru-baru ini, Jasin dapat ciuman dari Pramoedya. Kalau Jasin bisa begitu, saya tidak bisa.
Mengapa tidak?
Karena, saya punya pengalaman di negeri Belanda. Semua orang pengarang Belanda yang bekerja sama dengan Hitler sesudah Jerman kalah diharuskan minta maaf kepada kementerian semacam Depdikbud. Kalau tidak minta maaf, dilarang untuk menyiarkan tulisan. Sebelumnya, semua pengarang itu masuk karantina. Sesudah itu, baru legal menyiarkan tulisan. Saya menghendaki, Pramoedya minta maaf.
Minta maaf secara tertulis?
Ya.
Kepada siapa?
Tidak usah kepada saya, tetapi kepada pemerintah.
Bukankah hukuman untuk dia selama ini sudah cukup?
Karena mendapat hukuman itu, kalau dia minta maaf, mungkin dia lebih cepat keluar dari hukuman. Dia malahan lebih berkeras kepala.
Keras kepala? Anda tahu dari mana?
Sava denvar sendiri waktu dia diinterview BBC London, waktu HUT dia yang ke-70, baru-baru ini. Katanya, “Dengan penguasa sekarang, saya sudah tutup buku.”
Bukankah ini sebab akibat: Pram begitu karena dia melihat pemerintah tutup buku terhadap dia?
Ya, bergantung ya. Kalau dia tetap keras kepala, pemerintah juga keras kepala. Ketika BBC London bertanya, “Apakah Pak Pram tidak melihat kemajuan-kemajuan Indonesia di bawah Orde Baru?” Pram menjawab, “Tidak. Ada pembangunan, tetapi tidak untuk rakyat.” Jadi, dia tidak mengakui juga prestasi-prestasi pembangunan Orde Baru.
Kalau Jasin, Goenawan, dekat dengan Pram, tidakkah karena mereka lebih melihat karya-karya Pram yang patut dihargai sebagai kebanggaan bangsa?
Saya kira, itu dasarnya.
Mengapa Anda tidak melihat seperti itu?
Saya tidak mudah untuk oportunis. Ingat. bukan mereka yang memaafkan kita, tetapi kita yang harus memaafkan mereka. Jangan dibalik. Jangan kita yang dosa, mereka yang suci. Nah, teman-teman ini tidak malu-malu untuk seperti minta maaf kepada mereka. Baca saja buku Pramoedya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ketika menerima kedatangan Bur Rasuanto, Goenawan, dan pengarang lainnya, caranya itu seperti pengagum menghadap dia. Ini yang saya tidak ikhlas. Di situlah sebetulnya sudah tersirat kata, “Maafkan kami.” Saya melihat, ada satu megalomania pada Pramoedya. Ketika tahun 1950-an, saya dan Pramoedya bergaul erat, saling mencintai. Tahun 1953, Pramoedya malah mengutuk Lekra. Dia mengatakan kepada saya, “Apa yang saya tidak suka Lekra, dia hitam-putih. Amerika musuh gua, Rusia kawan gua.” Nah, setelah pulang dari negeri Belanda, dia kecewa, karena merasa kurang dihargai. Pengalaman lain, kami pernah diundang oleh seorang novelis Cekoslowakia di gedung Proklamasi. Novelis itu bilang, “Novelis itu baru matang kalau sudah umur 50 tahun.” Pramoedya, yang masih berusia 30 tahun, merasa tersinggung, karena merasa tidak diakui sebagai novelis. Jadi, kelihatan sekali megalomanianya.
Bukankah “pengasingan” terhadap Pramoedya malah merugikan Indonesia, karena karya-karyanya dari segi sastra banyak dibicarakan?
Memang, Pramoedya jadi raja di tengah-tengah novel pop. Untuk sastra dunia, tidak begitu banyak artinya. Lagi pula, dunia sekarang sedang krisis karena teknologi.
Bagaimana Anda melihat karya-karya Pram?
Menurut saya, sama saja dengan Keluarga Gerilya dahulu. Cuma, dia sekarang barangkali lebih matang, karena kesepiannya di Pulau Buru. Dalam keadaan disekap begitu, akan timbul ide-ide besar. Misalnya, Mochtar Lubis besar karena 10 tahun di penjara.
Pengarang-pengarang Lekra,termasuk Pramoedya,kembali menjadi pusat perhatian, menyusul terbitnya buku Prahara Budaya. Komentar Anda terhadap buku itu?
Menurut saya, yang penting, sebagai masa lampau, dokumen-dokumen ini mengandung harta kekayaan yang akan bisa digarap selama 10 tahun mendatang. Banyak hal yang belum diketahui orang di situ, karena dokumen-dokumen yang dikutip buku itu tidak mudah dipinjam. Misalnya, kalau saya mau meminjam Harian Rakyat di Museum Nasional, harus membawa surat izin dari laksus. Nah, karena itu, saya merasa gembira, Taufik Ismail itu berhasil memperolehnya dan mencetaknya. Juga, memang di situ ada fitnah-fitnah dari kalangan Lekra.
Tepatkah saatnya pemunculan buku ini?
Menurut saya, tepat. Sebetulnya, lebih baik lagi kalau lebih cepat. Awalnya mau diterbitkan pada I Maret 1995 – bertepatan dengan ulang tahun ke-31 KKPI (Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia). Tetapi, takut dianggap mendahului peringatan 11 Maret. Jadi, ditunda.
Apa artinya ini?
Nah, di sini kelihatan sekali, Taufik Ismail itu berpolitik. Karena, kalau nggak salah, dia erat sekali dengan orang ICMI -kalau bukan anggotanya.
Taufik Ismail berpolitik? Maksud Anda?
Saya bilang kepada dia, itu sajak-sajak Tirani terhadap Orde Lama jangan hanya berlaku satu kali, hanya terhadap Orde Lama. Kalau misalnya di dalam Orde Baru juga ada tirani, sajak-sajak itu juga harus berlaku. Jadi, universal. Tidak kontekstual. Kalau kontekstual, itu kan hanya berlaku satu kali. Kalau universal, kan tidak. Kalau universal, itu kan, kalau sekarang ada gejala-gejala yang serupa dengan Orde Lama, ya Orde Lama-nya dikritik, yang sekarang juga dikritik. Tetapi, dia mengatakan, “O, tidak. Ini hanya untuk Orde Lama.” Nah, itu yang saya namakan berpolitik. Kalau nonpolitical atau unpolitical, seperti saya, tidak begitu.
Ada kritik dari sebagian budayawan, Prahara Budaya tidak fair, karena ada sebagian karangan dari pihak Lekra disisipi komentar tertentu dari pihak penyusun buku itu?.
Seharusnya, nggak boleh dia lakukan. Sejauh ini, saya belum melihat apa yang Anda maksudkan, karena saya baru memperhatikan tulisan-tulisan saya di situ. Tetapi, seandainya itu betul, saya tidak setuju. Kalau itu mesti ada intervensi, saya tidak setuju.[T]