Rida K Liamsi
Riau Pos, 26 Des 2010
BAHASA adalah rumah, tanah air para penyair. Di sinilah dia lahir dan dibesarkan. Di sinilah dia tumbuh dan berkembang. Dari sinilah kemudian dia mengembara untuk memberi makna kehidupannya, sebelum pada akhirnya pulang kembali ke rumah keabadiannya. Bahasa adalah jati diri penyair. Karenanya, penyair yang kehilangan bahasanya, akan kehilangan segalanya. Kehilangan jati diri. “Yang tak berumah takkan menegakkan tiang,” begitu kata salah satu bait puisi penyair Rainer Maria Rielke “Di Batu Penghabisan ke Huesca” yang diterjemahkan Goenawan Mohammad, salah satu penyair besar Indonesia.
Karena itu pula, salah satu tugas penting seorang penyair adalah memelihara, memperkaya, dan mempertahankan bahasanya. Karena itu adalah perjuangan menegakkan jati dirinya. Apalagi, sekarang ini pada kenyataannya, bahasa adalah salah satu benteng terakhir nasionalisme yang masih bisa bertahan di tengah gempuran globalisasi dan kemajuan tekhnologi informasi. Fungsi, peran, dan posisi bahasa yang demikian ini, sejak dahulu sudah dilakukan oleh bahasa Melayu, baik sebagai bahasa ibu, maupun sebagai bahasa yang menjadi teras bahasa nasional Indonesia. Dan tetap kukuh sampai saat ini, sebagaimana kukuhnya jati diri para penyair Melayu.
Ibarat samudera, bahasa juga adalah sumber kreativitas para penyair, tak terkecuali bahasa Melayu. Di sinilah, di keluasan, di kedalaman, di kebiruan, di gelombang, di karang, di ribut, di badainya samudera bahasa itulah, para penyair mengekplorasi segala sumber misteri dan inspirasi yang terkandung di dalamnya, menjadi karya-karya, yang hakekatnya adalah untuk mengangkat dan mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan. Karya-karya inilah yang kelak menjadi kontribusi para penyair terhadap pembentukan kebudayaan bangsa dan tanah airnya. Karya-karya yang ujud dalam bentuk puisi, novel, roman, teater, dan karya budaya lainnya, yang hanya bisa lahir karena adanya bahasa dan seluruh inspirasi yang disediakannya.
Eksistensi seorang penyair, sastrawan, budayawan, adalah karena karyanya. Dan karya-karya itu hanya lahir dari proses kreativitas, dan kreativitas itu hanya bisa tumbuh dan berkembang, jika ada media ekspresinya yang hidup dan menggairahkannya, dan itu adalah bahasa. Dan kita belajar menulis puisi, belajar membangun kreativitas, sejak degub kehidupan manusia ini bermula. “Kun Fayakun” itulah kata pertama. Itulah puisi pertama. Itulah imaji pertama yang mengaliri darah dan napas para penyair. Dan karena itu pulalah, bahasa Melayu sebagaimana ujudnya, dan kesadaran awalnya, adalah bahasa yang sangat kreatif, imajinatif, dan menggairahkan.
Bahasa yang baik bagi penyair, adalah bahasa yang memberi kebebasan kepadanya untuk mengembangkan dan mengolahnya menjadi media komunikasi yang mudah, lancar, dan bermakna dalam karya-karyanya. Kondisi yang demikian diperlukan penyair untuk meghasilkan karya-karya yang kuat, termasuk karya sastra. Karya-karya yang besar hanya lahir dari bahasa yang merdeka, yang bebas, yang lentur, yang tidak terkurung dan terperangkap dalam berbagai aturan dan tata bahasa yang kaku dan beku.
Dalam hal ini, bahasa Melayu, adalah salah bahasa yang sangat apresiatif. Bukan hanya memiliki kemerdekaan dalam bentuk dan struktur bahasanya, juga memiliki keindahan dalam diksi, intonasi, dan ritmenya sehingga menjadi bahasa yang sangat puitis. Lihatlah syair-syair salah satu bentuk karya sastra Melayu. Atau gurindam seloka, dll. Membacanya, seakan kita bernyanyi. Berdendang. Karena itu, ada yang menyamakan keindahan bahasa Melayu itu dengan keindahan bahasa Spanyol.
Bahasa yang merdeka, yang bebas, adalah bahasa yang selalu memberi inspirasi, yang seakan tak pernah diam, terus menggelitik batin penyair untuk terus meluapkan ekspresi, yang terus mengajaknya untuk terus menggali mencari inti esensinya. Bahasa yang demikian sangat diperlukan untuk proses kreativitas menghasilkan karya-karya sastra, terutama puisi , karena bahasa yang merdeka itu sangat imajinatif. Menulis puisi itu adalah menulis metafor, menuangkan imajinasi. Dengan sepatah kata, serangkai hanya satu kata saja, penyair sudah bisa menghasilkan sebuah puisi yang penuh makna. Lihat puisi alit Sutarji yang berjudul “Luka”, atau sajak Chairil Anwar “Ibu”, dan beberapa sajak Sitor Situmorang, seperti “Malam Lebaran”, atau yang sangat terkenal puisi “Bunga di Atas Batu”: Bunga di atas batu, dibakar sepi… Karena itu, di Indonesia misalnya, karya-karya besar dan kuat, banyak lahir dari para penyair atau sastrawan yang berlatar belakang dan bertutur dalam bahasa Melayu, karena pengaruh dan keunggulan bahasa Melayu yang sangat imajinatif itu. Bahkan ada yang mengatakan, semua orang di Riau ini, bisa jadi penyair, karena memiliki bahasa Melayu, salah satu bahasa yang mempunyai semua aspek puitical terbaik sebagai bahasa puisi. Bandingkan dengan bahasa Inggris misalnya, yang aspek puitica-nya sangat sulit didapat, meski ditulis dalam bahasa ibu mereka.
Puisi-puisi Indonesia muthahir, punya kecendrungan kembali ke bahasa ibu, kebahasa asal, kekuatan lokal, ke pengucapan purba. Puisi-puisi mantra Sutarji, atau puisi-puisi historisnya Taufik Ikram Jamil, atau puisi-puisi rasnya Fakhrunnas MA Jabbar, atau puisi-puisi tradisi pada beberapa penyair Riau lain seperti Marhalim Zaini, untuk menunjukkan beberapa contoh, meski penamaan genrenya belum tentu tepat. Meskipun puisi-puisinya ditulis dalam bahasa Indonesia, tetapi di dalam puisi-puisi itu dapat dirasakan gaya pengucapan yang menampilkan semangat dan tradisi tuturan lokal,jejak awal sejarah dan budaya ibunya.
Muncul sejumlah kata-kata lokal, bahkan yang sudah termasuk kata-kata arkhais. Bentuk-bentuk pengucapan, terutama puisi, makin banyak yang kembali ke struktur syair, gurindam, dan berbagai bentuk lain. Puisi-puisi ini, akan semakin tampak kelokalan, keasalannya, bila sudah dibacakan. Dan pada kenyataannya, meskipun dominasi bahasa ibu, gaya penuturan lokal, karya-karya itu tetap komunikatif, bisa dirasakan, dapat dipahami, karena pada hakekatnya bahasa itu, bagaimanapun bedanya, rohnya adalah pada kesamaan rasa, yang dapat dibangkitkan dalam bentuk simbol-simbol, dalam isyarat-isyarat. Lihatlah bagaimana bahasa prokem itu masuk dan mengaduk-aduk karya sastra, termasuk puisi-puisi dan novel, terutama bahasa Betawi dan bahasa gaul. Juga bahasa Facebook, bahasa Twitter, dan yang sangat fenomenal adalah bahasa Blackberry, yang mampu membangun komunikasi secara luas, hanya dengan simbol-simbol (smiley), yang betapapun asing dan aneh, tetapi seakan dapat berbaur dan berkomunikasi dengan komunitas mereka yang berbeda.
Bahasa juga adalah bagian dari kesejarahan. Dalam pemahaman harfiah, bahasa memang berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi. Di mulai dengan simbol-simbol, lalu kata, lalu kalimat, dan seterusnya. Kini, bahasa komunikasi, kembali ke simbol-simbol, meskipun lebih universal. Bahasa Melayu sebagai bahasa yang merdeka, kreatif, imajinatif, dan sugestif, ada di dalam proses moderenisasi dan simplikasi komunikasi manusia dalam berbahasa, ikut membangun simbol-simbol universal itu. Karena itu, “takkan Melayu hilang di dunia”, sepanjang mereka masih memiliki bahasa, sepanjang masih memiliki simbol-simbol yang universal. Masih ada 300 juta orang Melayu di dunia. Maka tegakkanlah Melayu di atas pancang bahasanya. Sebab kalau orang Melayu sudah kehilangan bahasanya, maka mereka kehilangan segala-galanya. Jangan sampai yang tinggal hanya “u” saja. Seperti puisi ini:
U
Melayu
Hhhuuuuuuu
________________
*) Rida K Liamsi, sastrawan. Menulis sajak, novel, dan genre sastra lainnya. Tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Bahasa Indonesia, yang diselenggarakan di Pekanbaru, 22-23 Desember 2010.