Herman Hasyim *
Suatu hari di penghujung Desember 1954, Njoto naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi, Bojonegoro, Jawa Timur. Wakil Comitte Central PKI itu berbicara mengenai sikap PKI atas demoralisasi masyarakat, khususnya bagi anak-anak pelajar.
“PKI menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi,” kata Njoto, “tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jang ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita.”
Kutipan itu berasal dari buku Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965) yang ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, dan terbit pada Oktober 2008 lalu.
Muhidin M Dahlan, salah satu penulis yang saya kagumi, pada 2 September 2007 di harian Jawa Pos menyatakan bahwa PKI melakukan usaha yang keras dalam membendung keganasan “barang2 tjabul”. Njoto, misalnya, berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada parlemen. Dan, untuk mendukung validitas data, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar” yang digelar selama sepekan pada 27 Februari-5 Maret 1955 di Jogjakarta.
Demi melakukan perubahan besar, PKI tidak hanya bekerja di wilayah politik, tapi juga di ranah kebudayaan. Semua produk kebudayaan yang dianggap mencemari “watak dan sifat anak-anak kita” kena hantam. Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra), yang punya hubungan erat dengan PKI, menjadi salah satu ujung tombak untuk melakukan kerja-kerja kebudayaan.
Karena itu, tidak mengherankan, Lekra Cabang Jogja pernah membuat program melakukan sweeping terhadap orang-orang yang dinilai memakai baju yang terbuka atau biasa disebut dengan “you-can-see”. Sikap keras PKI itu berkait dengan semangat anti-neokolonialisme (nekolim) yang disimbolkan dengan budaya Inggris dan Amerika.
Bagi PKI dan Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam “you-can-see” dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat.
Dalam rangka revolusi kebudayaan itu, PKI dan Lekra menaruh perhatian khusus kepada generasi muda bangsa. Pada 7 April 2006, eksponen Lekra, Pramoedya Ananta Toer, mengutarakan hal itu di majalah Playboy versi Indonesa edisi perdana.
“Anda sepertinya punya harapan besar terhadap generasi muda?” tanya Happy Salma, yang didapuk Playboy sebagai pewawancara.
“Betul,” kata Pram. “Soalnya sejarah Indonesia itu sejarahnya angkatan muda. Jangan lupa itu! Sejak tahun belasan, di negeri Belanda, menjalar ke Indonesia. Puncaknya di Sumpah Pemuda. Itu titik tolak jadinya negara kita. Saya anjurkan yang punya perhatian pada sejarah, susunlah sejarah Sumpah Pemuda sampai jadi buku wajib. Sejarah Indonesia, praktis nggak karuan diajarkannya. Saya percaya, sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Angkatan tua itu jadi beban.”
Menteng, 2 Oktober 2010
*) Setelah gagal membangun pabrik rokok, sekarang mendirikan pabrik aksara.