Daisy Priyanti
suarakarya-online.com
Bibir yang merah basah dan setengah terbuka memintaku menciumnya. “Ciumlah aku sepuasmu. Pagut aku semaumu. Jangan lepaskan!”
Aku tidak mengenalnya. Aku tidak mengetahuinya dari mana ia datang atau apa sebabnya dia menghampiriku tiba-tiba begitu dan langsung saja meminta aku memagutnya, menciumnya, dan tidak melepaskannya.
“Kenapa kau ragu. Kau takut padaku. Aku membawa kuman dan virus-virus mematikan. Aku membawa HIV. Ah, tentu kau tidak bodoh. Tidak ada penyakit yang penyebarannya lewat ciuman bibir merahku ini. Itu bohongan. Orang-orang yang ketakutan saja. Sok alim. Mereka belum tahu dan enaknya ciuman dengan bibir merah. Ciumlah aku sekeras-kerasnya kau mampu menciumku.”
Bibir yang merah basah dan setengah terbuka terus merengek minta aku cium. Ia merayu dengan dahsyat, tetapi di otakku sekarang, selain ingin menciumnya, adalah ingin tahu mengapa bibir merah itu mendatangiku.
“Kalau menciumku, aku yakin kau akan mengalami sejuta pesona ciuman yang tak pernah kau rasakan sebelumnya dengan bibir-bibir yang lain. Dengan ciuman-ciuman yang lain. Atau, kau belum pernah ciuman? Belum pernah merasakan ciuman dengan bibir orang yang kau sayangi? Atau, orang yang kau suka? Ah, semua lelaki memang buaya. Pasti tidak mengakuinya. Sok suci. Ini bukan kejahatan. Ciuman adalah kenikmatan. Suatu kebutuhan. Ayo ciumlah aku. Nikmatilah bibirku yang merah ini. Dan, aku pasrah. Aku akan menikmati bibirmu.”
Aku teringat saat pertama ciuman dengan pacarku.
“Pacarku, bolehkah aku menciummu? Mendekap tubuh dan membekap bibirmu dengan bibirku?”
Kalimat itu kupersiapkan dari rumah. Kuhafal-hafal ribuan kali, kupraktikkan berkali-kali di depan cermin seorang diri. Namun, kalimat itu tak pernah keluar dari mulutku. Hingga suatu ketika aku mengantarnya pulang setelah kuliah, di dalam bus Pattas AC yang mengantar kami, aku melumat bibirnya dengan ragu.
Bus itu berkaca hitam dam memakai gorden untuk jendela. Sebenarnya aku sudah mengamati keadan bus ini berkali-kali. Tempat yang cocok, pikirku. Tinggal pilih tempat duduk yang strategis dan lihat-lihat penumpang lain. Dan, aku melumat bibir pacarku yang juga merah, selalu menggoda. Ciuman yang pertama.
“Hmmmm, idiih nakal.”
“Hmmmm maaf ya, jangan marah.”
Pacarku ternyata diam saja. Malah membalas ciumanku. Lagi dan lagi. Sejak saat itu kami memiliki ritual pacaran yang mengasikkan. Berciuman ketika pulang kuliah. Di dalam bus yang kami naiki pulang.
Suatu hari di dalam bus ketika kami pulang sebelum berciuman, pacarku bertanya pelan agar tidak didengar oleh penumpang lain.
“Siapa sih yang pertana kali menemukan ciuman?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa karena memang aku tidak tahu apa-apa tentang ini. Maka, yang aku lakukan bukan menjawab pertanyaan itu, tapi melumat bibirnya yang selalu menggoda.
Esoknya setelah berciuman, masih di dalam bus, sambil menyandarkan kepala di bahuku, pertanyaan yang sama terlontar kembali.
“Siapa sih, yang menemukan ciuman itu?”
Aku tak tahu. “Bukan aku, pastinya.”
Ia tersenyum manis sekali dan bibirnya yang menggoda itu terguncang sesaat. Kemudian ia menciumku lagi.
“Apa yang kamu rasa ketika pertama kali ciuman?”
“Ciuman erotik itu, seperti apa?”
“Berapa banyak jenis ciuman yang pernah dilakukan seorang manusia?”
Sungguh aku tidak tahu harus menjawab apa dan aku tidak mau berpura-pura tahu. Tapi, hal itulah yang membuat pacarku merasa tidak kuperhatikan. Ia mengeluh tentang itu dan merasa kami tidak cocok lagi. Dia meminta putus. Setelah itu sepanjang jalan menuju pulang di dalam bus, ia menciumku dengan bergairah tanpa peduli penumpang lainnya.
Pacarku yang lain lebih berpengalaman. Ia sering mengajarkan banyak hal tentang ciuman. Suatu hari kami ciuman di dalam lift kantornya. Ia cerita, ciuman adalah sesuatu yang instingtif dan alami. Tidak perlu suatu keahlian dalam berciuman. Apalagi, bibir merupakan daerah yang erotik, yang menimbulkan nafsu. Tak ada yang paling nikmat selain ciuman yang menggairahkan.
Sambil memandangi bibirnya yang tebal dan menggairahkan, saya dengarkan penjelasannya: “Ciuman yang baik dapat menimbulkan kenikmatan. Apalagi, jika dilakukan secara lembut, penuh kemesraan, bersih dan variatif. Ciuman bisa menjadi tidak nikmat bila dilakukan kasar. Bau mulut yang tidak sedap juga dapat membuat ciuman yang harusnya mesra, jadi berantakan.”
“Mungkin dia lupa gosok gigi,” kataku menyela.
“Bahkan, dengan ciuman sepenuh hati yang kita lakukan akan memelihara kehangatan cinta. Yang pasti ciuman itu memang indah. Jika sudah begitu, cobalah untuk mengembangkan ciuman dengan lebih bervariasi, sehingga letupan dalam dada akan semakin dahsyat lagi.”
“Kau memang pakarnya, hahahaha… ”
Suatu waktu ia menasehatiku tentang ciuman.
“Jangan membuka mata ketika mencium. Ini nasehat serius,” katanya sambil mengelus-ngelus bibirku.
“Nanti kejedut, dong.”
“Kalau tak percaya,” tambahnya dengan senyumnya yang menarik, “simak hasil penelitian Prof William Cane yang khusus melakukan riset cium-mencium. Satu hal yang saya peroleh dari riset ini adalah dua pertiga responden menyatakan, mereka tidak akan membuka mata selagi berciuman karena bisa merusak suasana romantis.”
“Oh, ya?”
Kuliah tentang ciuman darinya terus berlanjut di suatu petang. “Berapa banyak jenis ciuman yang pernah dilakukan seorang manusia? Jawabnya mengagetkan, 25 jenis ciuman. Busyeet! Cane serius. Ke-25 jenis ciuman itu meliputi dari yang lembut, misalnya ciuman yang dilakukan sambil mengedip-ngedipkan bulu mata di pipi pasangannya, sambil ciuman yang menyakitkan seperti yang dulu pernah dilakukan suku tertentu di kepulauan Trobrian, kawasan Pasifik, yang menggigit lidah pasangannya sampai berdarah. Jenis-jenis ciuman lainnya dibedakan dengan berbagai istilah yang cukup menarik.”
“Boleh juga. Kapan kita coba?”
“Sebagai contoh, vacuum kiss yang electric kiss, The eye kissi yang dipopulerkan oleh film Coneheads kiss, yang dilakukan di bawah air. Tentu yang terakhir ini harus ekstra hati-hati karena mata tidak boleh terbuka agar tidak kemasukan air. Ada pula namanya The Talking kiss, yang dilakukan sambil kedua pihak saling berbicara satu sama lain.”
“Hebat, hebat… ” aku mencandainya, “kapan semuanya kita praktikkan.”
Pacarku tidak menjawab. Kami sudah sampai dilantai bawah. Ruang parkir. Hari Sabtu ini kantor-kantor memang libur. Pacarku lembur. Ada beberapa pekerjaan yang harus sudah selesai di hari Senin. Dia mengajakku menemaninya. Aku senang saja. Gedung perkantoran tampak lengang saat itu. Pacarku menarik tanganku dan mengajakku kembali naik lift yang kosong. Aku langsung dibekapnya. kulihat tangannya memencet tombol 30 tempatnya bekerja.
Kulihat matanya terpejam. Yang kudengar hanya desahannya. “Sekarang. Semuanya… ”
Pacarku yang lain tak begitu antusias dengan berciuman. ia calon dokter. Kami berciuman, tepatnya saya yang menciumnya. Ia punya banyak alasan yang masuk akal. Tetapi apakah ciuman selalu berkaitan dengan akal?
“Ciuman di bibir harus hati-hati, karena mungkin saja bisa terjadi penyebaran bakteri yang menyebabkan lubang gigi. Bakteri itu bernama Streptococus. Itulah sebabnya, dokter gigi di Kalifornia menyarankan agar pasangan yang sedang jatuh cinta tidak ciuman di mulut. Tempat lain saja. Kening, kek, pipi, kek. Bakteri streptococus biasanya ditemukan di plak gigi penderita infeksi gigi. Hal ini dapat dibuktikan melalui tes air liur seseorang. Tes ini dapat digunakan untuk menentukan apakah seseorang membawa bakteri atau tidak. Dan, juga bisa menentukan apakah air liurnya itu beresiko mengembangkan lubang pada gigi atau tidak.”
Masa bodoh, pikirku. Dan, aku tetap menciumnya. Tetapi pacarku masih saja memberiku penjelasan lain. “Penelitian di Amerika mengungkapkan bahwa parahnya demam glandular, pertanda penyakit berciuman yang banyak menimpa remaja berusia 15-25 tahun. Penyakit ini telah menginfeksi 50 dari 100 ribu remaja sana setiap tahun. Pasti di sini enggak jauh beda.” Peduli amat. Hmmm.
“Demam glandular sebenanya bukan virus baru Pada 1964, penyakit yang ditimbulkan oleh virus Epstein-Barr itu ditemukan MA Esptein dan YM Barr. Virus ini hidup di air liur penderita. Ia menular lewat ciuman, tanpa harus berciuman secara dalam ala Prancis.”
“Masa?”
“Gejala antara flu, demam dan lemas. Juga muncul benjolan kelenjar getah bening terutama di sekitar leher. Biasanya, dokter menyebutnya sebagai demam glandular. Gejala itu pun cuma muncul selama dua-tiga pekan. Setelah itu, gejala tersebut bakal hilang jika penderita beristirahat cukup menenggak obat penurun panas, dan banyak minum air. Kemudian, jika kondisi penderita sudah prima, virus Epstein pun ngumpet lagi.”
“Ah… segitu saja?”
“Tidak berarti penyakit ini boleh diremehkan. Sebab, jika kondisi penderita parah, timbul komplikasi yang tak boleh dipandang enteng. Misalnya, radang jantung yang mematikan. Radang selaput otak, hepatitis, dan radang ginjal. Virus ini berpotensi menyebarkan kanker. Baik kanker mulut, kanker perut, maupun kanker kelenjar getah bening. Ini terjadi karena virus itu bisa masuk ke dalam darah dan menekan antibodi.”
“Sudahlah. Aku ingin menciummu lagi. Mau, kan?”
Pacar yang lain marah kalau dengar pertanyaan itu.
“Kamu seharusnya tidak perlu bertanya apakah boleh mencium atau tidak. Kamu harusnya tahu apakah saya ingin dicium atau tidak. Ini sungguh tidak romantis.”
“Aku kan tidak tahu, apakah kamu mau atau tidak? Aku kan takut salah.”
Ia marah dan mengeluarkan kata-kata tentang aku yang macam-macam. Yang tidak memerhatikan dirinya, yang tidak sayang padanya. Tak cinta. Tak peduli. Tapi, ia tetap mau menerima ciumanku. Membalas ciumanku dengan bahagia. Malah untuk memperingati penyanyi kesayangan kami berdua, Bob Marley, aku lagi-lagi membuanya marah. Aku meminta izin ikut lomba berciuman. Memperingati kematian musisi legendaris itu, pemerintah Kolombia mengadakan kempetisi berciuman bibir terlama. Pacarku marah kenapa harus meminta izin.
Stephany Rodriguez dan Camilo Andres Diaz pasangan dari Columbia ini mampu bertahan ciuman hingga 39 jam nonstop. Sementara pasangan asal Brasil, Ronaldinho dan Maria mampu ciuman selama 52 jam dan 27 menit nostop. Antonio dan Isabella dari Bolivia mampu tiga hari tiga malam. Pires dan Anna lima hari lebih sedikit. Pasangan asal Prancis itu akhirnya kejang-kejang. Min Choi dan Miss Lee, pasangan dari Korea, karena mungkin telah mengisap ginseng asli negerinya itu, bisa berciuman enam hari, dua jam, tiga puluh detik. Aku dan pacarku yang tak mau ditanya apakah boleh dicium itu tak mau kalah. Kami berpagutan selama 7 hari 7 malam nonstop. Kamipun jadi juaranya.
Tapi, setelah itu kami putus karena ia tidak mau berciuman lagi. Entah karena apa. Mungkin karena aku selalu minta izin. Mungkin…
Kini, bibir merah yang basah dan setengah terbuka memintaku menciumnya.
“Cium aku sepuasmu. Pagut aku. Jangan lepaskan!”
Aku tidak mengenalnya. Aku tidak mengetahuinya dari mana ia datang atau apa sebabnya dia menghampiriku tiba-tiba begitu dan langsung saja meminta aku memagutnya, menciumnya, dan tidak melepaskannya.
***
SK: 22 Oktober 2011