Di Mana Persembunyian Karya Sastra Anak Lokal?

Dessy Wahyuni *
Riau Pos, 9 Okt 2011

“KE mana… ke mana… ke mana kuharus mencari…. Di mana… di mana… di mana tinggalnya sekarang….”

Belakangan ini kata “di mana” dan “ke mana” menjadi sangat populer, baik di kalangan orang dewasa maupun anak-anak, di jalanan maupun di perkantoran, bahkan di angkutan umum maupun di televisi. Ayu Ting Ting menjadi sangat terkenal dengan “Alamat Palsu”-nya tersebut.

Tidak hanya Ayu Ting Ting saja yang ternyata melantunkan kata-kata “di mana” dan “ke mana” tersebut. Anak-anak bangsa juga mempertanyakan di mana keberadaan karya-karya sastra anak lokal yang sangat jarang muncul di permukaan dan ke mana mereka harus mencarinya.

Buku adalah jendela dunia. Melalui buku kita bisa berkeliling dunia dengan menggunakan paket hemat. Buku merupakan solusi pemecah suatu kebodohan dan membaca adalah kuncinya.

Untuk itu budaya membaca sangat penting untuk dikenalkan sejak dini kepada anak, sebab dengan membaca akan memperluas wawasan. Dengan gemar membaca buku tentu akan menambah pengetahuan anak dan dapat menjadikannya manusia yang berkualitas di masa depan.

Membaca merupakan kemampuan yang terpenting bagi seseorang, karena dapat membuka wawasan terhadap banyak pengetahuan.

Jutaan anak yang menghabiskan waktu di depan televisi ataupun video game sering gagal untuk meningkatkan kemampuan membaca mereka, sehingga mereka melewati banyak hal yang berharga.

Mengajar anak membaca adalah tugas utama yang penting. Setelah itu upaya untuk menjadikan membaca sebagai suatu kebutuhan merupakan langkah selanjutnya.

Dalam hal ini karya sastra berfungsi mengembangkan kemampuan membaca, berpikir naratif, dan mengembangkan wawasan. Pemanfaatan sastra anak merupakan salah satu upaya untuk dapat meningkatkan minat baca serta mengembangkan kemampuan bahasa pada anak.

Membacakan cerita atau puisi anak dapat menggerakkan minat mereka dalam membaca. Menyimak cerita dapat memperkenalkan pola-pola bahasa dan pengembangan kosa kata dan maknanya.

Riris K Toha-Sarumpaet dalam bukunya Pedoman Penelitian Sastra Anak: Edisi Revisi (Jakarta: Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional, 2010) mengatakan bahwa sastra anak adalah karya yang khas (dunia) anak, dibaca anak, serta —pada dasarnya— dibimbing orang dewasa. Sastra anak dikemas dengan format yang menarik, menggunakan elemen sastra yang lazim seperti sudut pandang, latar, watak, alur dan konflik, tema, gaya, dan nada, serta adanya kejujuran, penulisan yang sangat bersifat langsung, serta informasi yang memperluas wawasan (hal. 3).

Dalam tulisannya “Hakikat Sastra Anak” (2009) Wahidin berpendapat bahwa sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak.

Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa.

Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan himbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.

Mendorong anak untuk berimajinasi merupakan hal yang dibutuhkan untuk mengelola pola pikir anak sejak dini dengan mengembangkan pemahaman dan metodologi penyampaian melalui dongeng kepada anak-anak.

Peran buku cerita dan dongeng terhadap pengembangan imajinasi anak, menjadi sangat perlu, karena terbukti mampu membangun serta mengembangkan kekuatan imajinasi anak.

Ranah imajinasi ini menjadi begitu penting sebab seluruh penciptaan yang dilakukan manusia bermula dari sini. Dunia imajinasi yang dihasilkan oleh pola pikir anak menghasilkan suatu kreativitas yang ternyata perlu dikembangkan dan digali hingga mencapai potensi yang maksimal.

Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak.

Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak.

Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya (Wahidin, 2009).

Secara global, banyak manfaat yang bisa diperoleh dari sastra anak, antara lain dapat membantu pembentukan pribadi dan moralitas anak, menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi, memacu perkembangan verbal atau kemampuan berbicara, merangsang minat menulis dan membaca, serta membuka cakrawala pengetahuan.

Dengan menggunakan bahasa yang mengesankan, tema yang berbeda-beda, serta format yang menarik, sastra anak dengan karakteristik yang beragam diharapkan mampu menghadirkan fungsi yang tepat bagi anak-anak.

Namun sayangnya, perkembangan sastra anak terbitan lokal di Indonesia relatif ketinggalan bila dibandingkan dengan negara-negara Amerika Serikat, Eropa, maupun Jepang.

Lihat saja beberapa toko buku terkemuka yang ada, koleksi buku yang tersedia sebagian besar adalah karya-karya terjemahan, seperti komik-komik Jepang dan seri terjemahan dari Walt Disney.

Dalam kenyataannya, buku-buku seperti ini pula yang laris di pasaran. Sementara karya-karya sastra anak lokal hanya mampu menghiasi perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi dari pemerintah.

Hal ini terjadi disebabkan beberapa hal. Pertama, secara kualitas penampilan karya-karya terjemahan ini jauh di atas karya sastra anak lokal. Secara fisik karya-karya terjemahan memiliki tampilan gambar yang menawan, warna-warni yang memesonakan, serta menggunakan kertas yang menarik.

Selain itu, karya sastra anak lokal sering terjebak pada aspek pragmatis yang harus ditonjolkan, sehingga terciptalah karya yang kaku dengan tema yang monoton, serta munculnya kesan menggurui yang disebabkan oleh unsur didaktik yang kuat.

Tidak adanya program sastra di sekolah-sekolah yang membicarakan karya sastra anak lokal juga menjadi salah satu penyebab buku bacaan anak karya pengarang dalam negri nyaris tak tersentuh.

Sebenarnya telah banyak penerbit Indonesia yang menerbitkan karya terjemahan dari Amerika, Jepang, dan negara-negara lainnya untuk mengisi kekosongan karya asli Indonesia. Hal ini tentu saja baik, sebab karya-karya terjemahan tersebut tetap bisa menumbuhkan minat baca pada anak.

Hanya saja dengan membaca karya-karya terjemahan itu, anak-anak Indonesia lebih mengenal kebudayaan asing dan seolah-olah telah melupakan budaya bangsanya sendiri.

Untuk mengisi kekosongan dan sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi pengarang-pengarang asli Indonesia, tidak ada salahnya kalau karya terjemahan digalakkan. Tapi tentu saja karya sastra anak lokal harus tetap muncul di permukaan.

Abel Tasman yang lahir pada 7 Februari 1959 ini sebenarnya adalah salah satu aset Riau yang bergelut dalam dunia sastra anak. Sastrawan kelahiran Telukriti, Pasirpengaraian, Rokan Hulu, Riau tersebut telah banyak menghasilkan buku cerita anak, yakni Petualangan si Kemilau (Bharawidyacitra Niagautama, Jakarta 1995), 120 Jam di Belantara Bukit Barisan (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta 1995), Anak-Anak Duano (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta 1997), Raja Kate Dikepung Asap (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta 1998; buku ini mendapat penghargaan Adikarya IKAPI tahun 1999), Bintang Semakin Terang (Bumi Aksara, Jakarta 1999), Menyelamatkan Kota Sakai (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2000), Hang Tuah 1 (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2000), Hang Tuah 2 (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2002), Anak-Anak Batang Lubuh (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2002), Oje (Kerjasama PT. Rineka Cipta dan Pusat Perbukuan Jakarta 2004), Pencuri Semah Kenduri (Kerjasama CV.

Mediatama dan Pusat Perbukuan Jakarta 2004), Catur Ajaib di Negeri Terubuk (Kerjasama CV. Mediatama dan Pusat Perbukuan Jakarta 2005), dan Dongeng-Dongeng dari Riau 1 (dalam proses terbit, Bahana Mestika Karya).

Namun sejak tahun 2005 karya-karyanya sudah tidak kelihatan lagi. Anak-anak Riau khususnya kembali kehilangan arah, sebab karya sastra anak yang membungkam.

Sudah tiba saatnya bagi pengarang sastra anak lokal untuk meninggalkan tema-tema kemiskinan. Bukan saatnya lagi anak-anak selalu disuguhkan gambaran seorang anak yang terpaksa membantu meringankan beban finansial orangtua.

Karya-karya yang menjawab ketakutan anak terhadap hantu, setan, maupun orang jahat lebih dibutuhkan.

Demikian pula halnya dengan karya-karya yang mengulas realitas sosial, seperti kebencian terhadap suatu ras, golongan, agama, suku bangsa, atau bahkan perjalanan sejarah bangsa yang dapat menjawab kebingungan anak, menjadi karya yang sangat dinantikan.

Anak-anak memiliki dunia yang berbeda dengan orang dewasa. Dalam penciptaan karya sastra anak, seorang pengarang harus menyelami dahulu dunia anak tersebut.

Dunia anak sangat dekat dengan dunia imajinasi. Imajinasi bagi anak adalah sarana untuk berselancar dalam memahami realitas keberadaan dirinya, orang lain, maupun lingkungannya.

Mendorong anak untuk berimajinasi merupakan hal yang dibutuhkan untuk mengelola pola pikir anak sejak dini. Dunia imajinasi yang dihasilkan oleh pola pikir anak menghasilkan suatu kreativitas yang perlu dikembangkan dan digali hingga mencapai potensi yang maksimal.

Dalam pengembangan imajinasi anak ini, peran karya sastra anak menjadi sangat perlu, karena terbukti mampu membangun serta mengembangkan kekuatan imajinasi anak.

Lalu, di mana keberadaan karya-karya sastra anak lokal yang mampu mendorong mereka untuk berimajinasi? Ke mana anak-anak bangsa harus mencari karya-karya yang menarik agar minat baca mereka tak kembali redup?
***

*) Dessy Wahyuni, staf peniliti di Balai Bahasa Riau. Menyelesaikan S-1 di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Andalas (Unand, Padang), dan S-2 Kependidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Selain menulis esai, juga menulis cerpen. Tinggal di Pekanbaru.

Bahasa »