Christo Ngasi
http://kupang.tribunnews.com/
SUARA-suara teriakan di saat pagi, kembali bergaum. Suara-suara nyanyian penghuni jagat saling bersahutan. Inilah kebiasaan kami yang akan kukisahkan ditengah ilalang, suara nyanyian di tengah sunyi dan keringnya ilalang tanahku Sumba.
Ilalang kembali bergoyang lembayu seirama angin senja di ujung barat pulau dengan julukan padang sabana. Sumba kekhasan arsitektur klasik anak-anak daerah yang mampu membangun rumah dengan puncak tertinggi sebagai gambaran ilahi. Rumah dengan sudut empat penjuru mata angin dan beratap ilalang. Umma Kadala adalah jiwa dari semua rumah adat dengan bebatuan karang keliling sebagai benteng pertahanan.
Perempuan-perempuan kampung nan suci, cantik dan polos tanpa sentuhan modernisasi berlombah-lomba menuju Mata Likku mata air yang tidak pernah kering meski dimakan waktu. Kemarau selalu datang mengunjungi, lapar dan haus adalah imbas dari keserakahan manusia yang tidak menghargai pemberian ilahi. Alam dianggap musuh dan dengan egonya menghabisi semua pepohonan yang mampu melanjutkan kehidupan manusia.
Perempuan-perempuan kampung Lobo dengan nyanyian merdu berlangkah membawa air dalam kumbang-kumbang periok tanah. Nyayian selalu didendangkan setiap malam menjemput sebagai rasa syukur atas hari yang akan segera berlalu.
“Sebentar lagi musim panen akan segera tiba. Kamu akan dipersunting seorang pria dari kampung sebelah bukit. Ayah harap kamu menerima.” Jelas Malo kepada puterinya Laura
“Terima kasih atas restumu ayah. Aku mohon berkat darimu!!! Ayah…, apakah tidak terlalu cepat aku menikah diusiaku yang ke tujuh belas ini?”
“Sudah waktunya Laura kamu meneruskan keturunan kita, sejak kepergian ibumu. Ayah sendiri dan menanti kapan kamu menikah supaya ayah dapat mengambil Marta sebagai isteri guna memenuhi permintaan ibumu.”
” Tapi ayah…,!!!” “Apakah kamu keberatan Laura. Biar ayah utus sesorang untuk membatalkan.” “Maafkan aku ayah kalau tidak memperkenalkan seorang pria yang sudah aku cintai. Aku berencana saat musim panen tiba.”
“Siapakah pria itu dan dari suku mana???” Laura terdiam cukup lama, ia tahu bahwa ayahnya tidak menyetujui karena dendam masa lalu masih berkecamuk. “Laura…” Suara keras keluar dari mulut Malo. ” Gaina…putera dari Rato Kurra”. Seketika Malo berdiri di hadapan Laura dan dengan tegas melarang.
“Pinangan akan berlangsung…,ayah akan mengutus orang untuk membalas utusan dari kampung Waijewa. Putuskan hubunganmu dengan Gaina. Kita tidak akan pernah bersatu.” Malo berlalu….
Nyanyian yang biasanya terdengar di tengah ilalang kini mulai redup. Laura tidak lagi bernyanyi, suaranya mati dengan keputusasaan. Pertemuannya dengan Gaina tiga tahun lalu pupus atas egonya sang ayah. Terkadang orang tua tidak memahami perasaan hati sang anak, karena ego dan nama baik keluarga, semuanya dikaburkan meski cinta difitnah. Mata Likku seakan kering seketika.
“Gaina…,sudah sejak awal aku takut ketika bertemu kamu. Aku takut akan berakhir seperti ini.” “Jangan pasrah pada nasib Laura. Kita akan tetap bersama. Sumba terlalu luas untuk kita jejaki. Ikutlah bersamaku menuju kampung Kodi, kita akan bersama tanpa ada yang mengganggu.” Ajak Gaina.
“Apakah kamu takut untuk bertemu ayahku???” tanya Laura. “Demi Cinta…aku akan menemui saat panan tiba. Aku akan memberitahukan kepada orang tuaku. Sudah waktunya kita menyatukan keserakahan nenek moyang kita. Aku akan menemuimu saat panen tiba. Pulanglah Laura…, sudah malam. Nyanyilah di tengah ilalang biar aku tahu bahwa kamu sedang bahagian”…Kami berlalu dengan harapan akan menyatu saat panen tiba…
***
Imam Ndara berdiri tepat di depan Umma Kalada kampung Kodi menanti kedatangan saudari perempuannya. ” Aku bersyukur saudariku datang dari sebelah bukit, saudariku datang tanpa cacat dan Marapu telah merestui permintaan kami. Hasil kami melimpah dan lengkap ketika saudariku yang lama pergi untuk memenuhi penghormatan pada suaminya, kini datang menemui rumahnya”.
“Ijinkanlah kakiku kembali menginjak tanah di mana ari-ariku dikuburkan. Izinkanku untuk menyucikan kembali diriku, aku akan menyampaikan maksud kedatangan saat kakak menginjinkanku.” Pinta Lara nenek Gaina…,
“Masuklah saudariku…, ini rumahmu.”
Ketika pejantan mulai bersuara saat matahari pergi berganti bulan, gong dan tambur berdentum dihiasi tarian. Imam Ndara dan beberapa orang duduk bersama Lara dan berkisah tentnag hidup.
“Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak datang ke kampung ini karena kami mendapat khabar bahwa saudara kami sedang lapar. Kami tidak ingin menambah beban lagi.”
“Saudariku,,,.Kami memang lapar tetapi untuk tamu tidak akan pernah lapar. Kami akan mencari bahkan menjual harga diri kami dengan berhutang demi tamu. Bagi kami tamu adalah rahmat. Sekarang haus dan lapar tidak ada lagi. Katakan maksud kedatanganmu,” tanya Ndara
“Cucuku Gaina satu-satunya akan meminang seorang perempuan saat musim panen tiba dua minggu lagi. Aku datang memberitahukan dan memohon restu dari saudaraku.” Pinta Lara
“Lara…aku akan mengutus seseorang untuk mengikuti. Maafkan aku karena tidak bisa iku, kami juga akan merayakan syukur panen dan memindahkan tulang leluhur di tempatnya yang baru. Lara sampaikanlah kepada saudaraku-saudaraku, kampung Kodi selalu menerima tamu dan tidak ada kata lapar, tamu akan pulang dengan kenyang dan kelimpahan”.
***
Nyanyian-nyanyian gadis kampung sudah terdengar seminggu lalu saat memanen. Nyanyian itu berlanjut hingga malam membatasi dengan mimpi. Laura tampak tidak tenang. Saat tengah malam dan sebentar lagi pagi, Laura berlari menuju Mata Likku. Laura tahu Gaina sedang duduk bermenung. Dicurahkan seluruh kegelisahannya dengan tangisan dan pelukan. Tidak ada suara. Air matalah sebagai gantinya. Hingga pagi menjenguk, Laura berlari kembali tanpa nyanyian. Apakah Laura akan bernyanyi lagi di tengah ilalang.
Gong dan tambur memberikan khabar bahwa pihak laki-laki telah datang. Gaina bersama Rato Kurra berada pada barisan depan. Suasana tampak tegang. Malo memandang dari kejahuan dengan tatapan tajam, tangannya dan bibirnya gemetaran. Malo seakan tak sanggup menahan amarahnya. Seketika tangannya memegang parang dan ronggeng di depan rakyat yang menyaksikan. Merasa di saingi Rato Kurra balas mencabut parang dan seketika ronggeng. Rato Kurra dengan berani berlangkah menuju Malo dan langsung bersujut.
“Saudaraku Malo…buanglah semua luka lama leluhur kita, puteraku Gaina ingin mengobati semua luka itu dan bersama puterimu akan menyembuhkannya. Sudilah saudaraku Malo memberikan kami tempat untuk duduk dan membicarakan. Puteraku Gaina ingin melamar Puterimu Laura. Demi Gaina dan Laura Puterimu. Aku memohon, berilah kami tempat saudaraku Malo.
“Pinta Rato Kurra. Suara Malo seakan di jahit. Ia hanya diam dan tidak memberi jawab. Gaina terus mendampingin ayahnya hingga matahati berada tepat di atas ubun-ubun. Malo luluh dan dengan tangisan ia mengankat Rato Kurra dan memyelempangkan kain. Ia menerima pinangan dan memberi tampat.
Tidak lama berselang, terdengar bunyi gong dan tambur. Isyarat bahwa ada tamu yang datang. Tampak jelas dari jauh rombongan dari kampung Waijewa datang. Malo turun dari rumahnya dan memberikan perintah. Terimahlah mereka semua dan berilah mereka tempat. Seorang pria dengan tubuh tinggi dan kulit sawo matang berdiri di depan Malo bersama seorang pembicara memohon untuk di terimah dan diberikan temapat. Malo memeluk dan memberikan tempat. Pria itu bernama Yanno, tubuh dan wajahnya mirip seperti Gaina.
Malo bersama imam dan beberapa orang menyendiri. Waktu terlalu lama ketika penantian seakan tak memberi harapan. Malo bersama Laura puterinya dengan imam dan beberapa orang keluar dengan menggunakan kain hitam. Seketika suara-suara gong dan tambur serta nyanian terhenti. Semua terdiam. Sore menjemput, mengingatkan kembali nyanyian Laura di tengah ilalang saat kembali dari Mata Likku. Seorang imam berdiri di samping Laura dan berlangkah di tengah-tengah kedua pria Gaina dan Yanno. Iapun bersuara…,
“Suku kami memiliki padi yang sudah menguning dan siap dipanen, padi yang berisi, bersih dan bebas dari hama. Kini padi itu akan segera di panen. Kami menyiapkan bibit yang baik untuk di tanam, kami memelihara dan menjaganya hingga harapan kami kelak akan dipanen dengan baik. Demi nama baik dan kehoramatan suku, kami memohon kepada leluhur untuk menginjikan padi kami ini untuk dipanen. Kami tidak menduga bahwa ada dua pemanen datang untuk memanen. Kami merasa bersyukur atas rahmat dari Marapu namun kami tidak tahu harus memberikan kepada siapa untuk memanennya. Padi kami ini rela dan siap untuk dipanen oleh kedua pemanen.
Atas restu dari para leluhur, kami memberikan Laura padi kami yang terbaik untuk di panen.” Suara sang Imam terhenti dan Laura berlangkah perlahan dengan tangisan. Wajahnya tertutup dengan kain hitam.
Seketika ia berbaring di atas batu yang terbentang di tengah kampung. Nyanyian kematian mengiringi. Seorang berbadan tambun dengan menutupi seluruh tubuhnya datang dengan membawa sebilah parang…
***
Tubuhnya terbagi dua, potongan sebelah diantar menuju kampung Waijewa. Yanno memeluk dan mengantar sepotong tubuh Laura dengan tangisan dan kesedihan. “Laura aku telah menyiapkan rumah baru untukmu.” Sementara Gaina dengan sisa kekuatan mengangkat sepotong tubuh Laura dan berlangkah dengan tangisan. Ia terus bernyanyi mengulang nyanyian Laura.
“Laura aku akan membawamu menuju rumah kita. Aku akan menguburkanmu di dekat mata likku. Gaina bersama rombongan kembali dengan nyanyian di tengah ilalang mengiringi penguburan Laura. “Laura…satu kisah yang terselip di tengah kubur batu yang masih ada hingga saat ini.”
(Frater TOP Paroki Waimarama-Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya; Komunitas Sastra St. Mikhael Kupang)