Malam Seribu Bulan

Ahmad Zaini*

Kilatan lampu menembus celah pepohonan di depan rumah. Bias sinarnya tidak teratur terganggu dedaunan yang bergoyang diterpa angin. Bayang-bayangnya melukis dinding rumah yang cerah oleh cahaya lampu. Pada meja makan telah berjajar berbagai menu berbuka puasa. Istriku sengaja menghidangkan menu yang tidak seperti biasanya. Hari ini ia membuat menu istimewa yang penuh gizi agar nutrisinya mampu mengganti tenagaku yang semalam tercurah demi ibadah di bulan suci.

Perjalanan bulan puasa memang mengasyikkan bagi kita semua. Sebagai umat Islam merupakan suatu kewajiban menunaikan salah satu rukun Islam itu. Bahkan Tuhan telah menjanjikan kepada siapa saja yang mempu melaksanakan ibadah puasa karena iman dan mengharap pahala dariNya, maka segala dosa yang telah dilakukan dan yang belum dilkukan akan diampuniNya.

Aku pun ingin berharap mendapatkan pengampuan atas dosa-dosa yang telah kulakukan selama ini. Setahun yang lalu aku merasa berlepotan dengan dosa. Andaikan dosa itu langsung diperlihatkan oleh Tuhan maka sekujur tubuhku tak ada sedikitpun yang bersih dari noda.

“Ya, Allah ampunilah dosa-dosaku!” ucapku dalam hati.

Kalau mengingat tentang keagungan Allah, diri ini terasa tidak ada apa-apanya. Kita ini ibarat wayang yang tak berdaya melakukan apa-apa. Segala kekuatan yang kita miliki semua adalah karenaNya.

Manusia tercipta hanya untuk beribadah kepadaNya. Akan tetapi, kebanyakan dari manusia banyak yang ingkar dan durhaka kepadaNya. Banyak dari kita yang lalai menjalankan kewajiban. Kita lebih disibukkan oleh urusan duniawi. Dengan alasan karena sibuk, seenaknya kita meninggalkan shalat.

Nuansa di sekitar kita pada bulan ramadhan tak ubahnya seperti bulan-bulan biasanya. Warung-warung makanan banyak yang tetap buka pada siang hari. Padahal itu adalah larangan.

“Andaikan bumi ini tidak ada ulama dan binatang peliharaan, niscaya Allah sudah mengikis bumi ini. Sudah banyak dari kita yang ingkar kepadaNya,” nasihat ustadz Ahmad pada suatu pengajian sore di masjid.

Bencana alam yang bertubi-tubi mendera negeri ini, salah satu indikasinya juga karena peringatan dari Allah atas perilaku penghuninya yang menyimpang. Dengan bencana itu supaya manusia bisa kembali ke jalan yang telah dibentangkan oleh Allah.

Bulan mulya telah memasuki malam likuran. Maksudnya malam hitungan ganjil pada hari keduapuluh ke atas. Allah merahsiakan suatu malam, yang pada malam tersebut jika manusia menjalankan ibadah maka pahalanya seperti menjalankan ibadah selama seribu bulan. Semua umat Islam selalu mengincar malam-malam seperti itu.

Saat matahari tenggelam di ufuk barat, bedug maghrib bertalu-talu menggema menandakan hari berbuka puasa. Tiga buah kurma dan seteguk air sebagai takjil untuk berbuka telah menyelinap ke dasar perut. Kemudian aku bergegas menjalankan shalat maghrib secara berjamaah. Dalam perjalanan ke masjid tiupan angin di malam itu terasa beda dengan sebelumnya. Hembusannya agak kencang. Daun-daun palem bergoyang di atas pohonnya yang kokoh berdiri di tepian masjid. Para jamaah yang agak terlambat karena kesibukannya menikmati menu berbuka, berlari-lari agar tidak ketinggalan rakaat pertama dari imam. Lantunan ayat-ayat yang dikumandangkan oleh imam begitu menusuk kalbu. Hati terasa bergetar menguras air mata yang terkantung di kelopak mata. Pada perjalan shalatku, tiada terasa air mata menetes di gelaran sajadah. Ayat-ayat yang dibacakan imam tentang siksa api neraka bagi orang yang berbuat durhaka kepada Tuhan dilantunkan dengan khusuk. Aku tak mampu lagi menahan linangan air mata yang kini benar-benar membasahi sajadahku.

Kepuasan belum menyentuh pada hati. Guyuran air mata belum mampu menyucikan lepotan dosa yang menghitamkan kalbu. Manusia yang sering melakukan perbuatan dosa itu akan menghitamkan dan mnegeraskan hati. Sehingga kalau hati sudah benar-benar keras akan sulit menerima petuah dan fatwa tentang kebajikan.

Aku berdoa kepada Allah semoga Ramadhan tahun ini aku menjumpai malam seribu bulan. Tapi Allah merahasiakan malam itu dari manusia. Banyak di antara mereka yang mengincar malam seribu bulan pada hari-hari ganjil setelah tanggal dua puluh. Ada juga yang memulai tanggal tujuh belas bulan Ramadhan. Aku sendiri memulainya pada hari ke dua puluh satu. Demi mengincar malam mulya tersebut, aku rela meninggalkan menu istimewa yang sisediakan oleh istriku. Beraneka masakan kutinggalkan begitu saja. Aku hanya memakan tiga buah kurma dan segelas air putih.

Aku ingat pelajaran dari ustadz sewaktu pegajian di masjid tentang Lailatul Qodar. Tanda-tanda telah turun malam istimewa itu di antarnya adalah cahaya matahari yang terbit pada keesokan harinya tidak terlalu panas. Cuaca tampak mendukung. Tiada hembusan angin pada siang harinya namun udara tidak terasa gerah.

“Jika malam ini angin bertiup kencang berarti Lailatul Qodar belum turun,” kataku kepada teman-teman.

Mereka mengiyakan apa yang kukatakan. Mereka kemudian memastikan bahwa malam seribu bulan akan datang pada malam-malam yang tersisa hingga hari raya tiba. Mengenakan alas bakiak aku berajak dari serambi masjid. Di sebuah tempat wudlu aku menyucikan diri. Segar terasa di wajahku saat kubasuh dengan air bening lembut menyeka. Wajah seakan bersinar laksana cahaya lampu yang menerangi halaman masjid.

Sambil menunggu waktu shalat Isya, aku duduk iktikaf sambil membaca Alquran. Dalam hatiku mengatakan bahwa lalilatul Qodar akan datang pada malam ini. Kebetulan malam ini adalah melam kedua puluh tujuh.

“Mudah-mudahan, begitu!” kata Qosim meyakinkanku.

Segela perbekalan untuk kebutuhan makan sahur telah kubawa. Kuletakkan di sudut masjid yang biasanya digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang bekas masjid. Renik-renik sampah kubersihkan hingga aku leluasa meletakkan bungkusan makananku dari serangan semut merah yang haus akan rasa manis.

Para penduduk kampung berduyun-duyung datang ke masjid. Mereka juga membawa perbekalan untuk persiapan makan sahur. Malam ini takmir masjid mengadakan dzikir bersama semalam suntuk untuk mendapatkan malam Lailatul Qodar. Dengan berpakaian serba putih mereka duduk bersila. Shof demi shof terisi penuh hingga tak ada yang berlubang. Menurut ustadz, sebelum shof di depannya itu penuh kita tidak boleh membuat shof baru.

“Kalau shof di depan kita biarkan berlubang, maka akan disusupi oleh syetan yang menyerupai anak kambing ujtuk menganggu kekhusukan jamaah kita,” pesannya.

Rakaat demi rakaat telah terlewati. Kini menjelang rakaat terakhir shalat tarwih. Bilal mendendangkan becaan shalawat untuk memulai rakaat terahir ini. Sekujur kaki yang semula terasa lelah kini segar kembali. Imam mengumandangkan takbirotul ihram yang diikuti oleh makmum. Suaranya menggema seisi masjid. Kebesaran Allah telah memenuhi ruang masjid ini sehingga kekhusukan shalat tarwih malam ini benar-benar terasa.

“Alhamdulillahhirobbil alamin!” seraya mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan setelah mengucap salam yang kedua sebegai penutup tarawih.

Aku istirahat sebentar dengan membuka kancing bajuku bagian atas. Duduk di undakan serambi masjid, aku mencari angin malam sekedar untuk menghilangkan peluh yang membasahi bajuku. Seteguk air dari botol bekas minuman suplemen memberi suntikan semangat dan niat baru di dadaku.

Malam bertabur bintang menghias malam istimewa ini. Cahayanya mengerling menggoda diriku yang terpaku menatapnya. Sorot terang bintang di samping bulan yang semakin menipis menghentak mulutku untuk memuji Allah dengan bacaan tasbih. Kemudian sorot caaya meluncur deras ke arah tempat aku duduk. Namun masih jauh di atas cahaya itu telah sirna. Kata orang tuaku dulu kalau ada cahaya yang meluncur deras ke bumi itu pertanda Allah telah melempar syetan yang akan mengganggu ibadah manusia.

Gelap telah menyelimuti sekeliligku. Orang-orang telah terlebih dahulu duduk untuk berdzikir bersama di dalam masjid. Kemudian botol yang telah kosong di sampingku kukemas dan kumasukkan ke dalam tas di sudut masjid. Kaki melangkah pelan dan terasa berat untuk diajak bersimpuh. Rasa lelah dan capek mengundang kesemutan di sukujur kakiku. Aku paksa sambil menjelojorkan kedua kakiku ke depan. Sontak orang yang duduk di sampingku menegur agar aku segera membenahi posisi duduku. Pelan-pelan kulipat kakiku duduk bersila seperti mereka. Wajah berbopeng dosa kutunddukan kuajak berdzikir dan bermunajat kepadaNya.

Alunan dzikir mendendangkan keagungan Tuhan benar-benar memecah keheningan malam. Suara rintih penyesalan atas dosa-dosa yang kita lakukan selama setahun lalu seakan membentuk irama penghubung dengan Dzat Yang Agung. Kini aku benar-benar nista di hadapanNya. bayang-bayang dosa yang kulakukan sebelumnya melintas dalam alam dzikirku. Bayangan orang tuaku selalu muncul dalam alam dzikirku. Wajah kecewa pada saya sewaktu aku tak menuruti ucapannya agar aku ikut bekerja ke Malaysia. Kemudian muncul lagi wajah orang-orang yang pernah kusakiti secara bergantian.

“Astagfirullahaladziiim! Astaghfirullahaladzim! Astaghfiullahaladzim!” dzikirku menyesali semua dosa-dosaku. Pada malam ini aku benar-benar merasakan nikmatnya iman. Ribuan bintang yang bersinar di atas langit seakan ikut turun dan berdzikir bersama-sama denganku. Seribu bintang berputar mengelilingiku menari bersuka ria. Bak tarian sufi, tarian bintang telah menyatukan diriku dengan Tuhan.

Tak terasa malam telah berlalu. Fajar shodiq telah tampak di cakrawala. Kemudian aku melaksanakan shalat subuh dengan hati yang bening. Dzikirku semalam terasa dikabulkan oleh Allah. Malam seribu bulan benar-benar telah kujumpai pada malam ini.

Keesoka harinya, matahari tak seganas seperti hari-hari biasanya. Suasana teduh tanpa ada hembusan angin telah meyakinkan diriku bahwa semalam telah turun Lailatul Qodar. Kenikmatan berdzikir di dalamnya semoga kujumpai lagi pada tahun berikutnya. (*)

*Cerpenis tinggal di Wanar Pucuk Lamongan