Puput Amiranti N
Membaca peta regenerasi kepenyairan Jawa Timur telah kita ketahui bahwa di awal tahun 2000an hingga saat ini, Jawa Timur telah membuahkan beberapa penyair muda. Nama-nama seperti A Mutaqqin, Didik Wahyudi, Helmy Prasetya, Ragil Sukriwul, Abimardha Kurniawan, Lubis Grafura adalah beberapa contoh dari penyair muda generasi 2000. Berbagai latar belakang baik pengalaman, keadaan geografis, pembacaan dan dialog dalam komunitas, maupun hal-hal teknis telah mempengaruhi warna penulisan mereka.
Sebutkanlah Ragil Sukriwul, penyair yang menghabiskan waktunya di kota Malang ini dikenal sebagai seorang petualang/ avontur. Seorang pengembara dengan jam terbang cukup tinggi, Ia menghabiskan waktu bersajaknya dari kota-kota tempat ia singgah karena kegelisahannya muncul dari situ. Seperti cuplikan puisi Ragil yang berikut ini:
Dua malam kukayuh sampan. Arungi kahayanan
belah Khayalan
bulan bulat jatuh di kolong jembatan. Dia botol karam
tandas isi
kutenggak sendiri.
Sebagai bekal perjalanan tuju nirwana
Pada purnama yang robek
kuketuk Ptalla-langitmenagih restu
jadi anak enggang.
“seberangilah sungai ini dengan kaki-tanganmu sendiri.
lurus, seperti jembatan. Maka, setelah sampai
di seberang, sepasang sayap akan tumbuh
di punggungmu.”
Berlatar belakang sebagai seorang petualang, Kekayaan imaji terungkap dalam puisi Ragil di atas dengan judul “Di Kahayan”. Aku lirik sangat menikmati alur perjalanan yang dibawakan dalam liris peristiwa puisi. Nuansa mistis seolah-olah muncul dalam ekstase diri aku lirik yang mengecap tingginya makna pergolakan yang ia alami dalam perjalanan yang menimbulkan ‘perjalanan’ dalam batin dirinya. Barangkali tak jauh beda dari Ragil. Helmy sebagai penyair muda kelahiran Madura memiliki persamaan sikap dalam pengemukaan empirisme. Hanya Ragil dalam puisinya mengalami kondisi sebagai pelaku dan pengecap empirik. Sikapnya terhadap peristiwa muncul bersamaan dengan laku itu. Helmy memiliki pengendapan kesan yang dalam dan itu terujud dalam bingkai ingatannya dan memunculkan kesan, berikutnya memunculkan sikap. Sikap perpuisiannya terhadap peristiwa dilatar belakangi aku lirik sebagai saksi, pengamat dan pengecap jalinan-jalinan peristiwa yang bertubi-tubi, sehingga itu muncul dalam gaya berbahasanya yang kadang secara analogi satir. Seperti penggalan puisi “Kepada Mereka Yang Katanya Dekat Dengan Tuhan” berikut ini:
1)
lalu mereka menjadi pengantin untuk tertawa sendiri
dan melupakan sebuah nama yang ditinggalkan,
entah dari dunia mana.
2)
satu agama mereka kumandangkan.
dengan kepastian, dari dalam dada esok hari. Katanya
dari gerimis doa-doa, kemudian berjanji membangun
surga untuk kematian manusia.
Menjadi realitas seorang beridentitas Madura yang berasal dari Bangkalan membuahkan tutur yang amat keras dalam dirinya, terutama dalam hal pengeluaran kesan dan sikap. Bukannya Helmy terlibat untuk ikut aksi dalam kekerasan modernitas yang menjadikan rakyatnya beridentitaskan terpecah-pecah dan kehilangan arah. Namun seperti fenomena dibangunnya Suramadu dan sebelum itu terjadi pergeseran nilai cukup membuat perubahan dalam diri penulis dengan cara pengungkapannya, dimana aku lirik puisi cukup satir menyindir masyarakat-masyarakatnya yang mengalami kehilangan dan gagalnya kepercayaan secara masif dan keacuhan akan pertimbangan pengetahuan diri, seperti pada penggalan puisi penyelesaiannya ini:
3)
kami pun percaya, tapi setengah gembira
menanti janji seperti bualan. atau bahkan bualan
yang terdengar seperti janji.
4)
ah! setelah enak,
kita jadi benar. menduga-duga mereka yang ada di dalam
mobil sana, ternyata memang tak tahu pada kami?
Banyuwangi, 2003
Penyair Didik Wahyudi yang berasal dari Surabaya memilih struktur naratif yang demikian dramatik untuk membahasakan puisi-puisinya. Hal itu terlihat dalam petikan tulisannya berikut ini:
Wanita Yang Menenggelamkan Gerhana
Sore menguning di puncak trembesi,
di bawahnya dua orang menggorok
leher ayam jantan
darah lesap di rumput kering,
“ini makan malam kita!”
kata daun luruh
darah menyusuri sungai di depan rumahmu,
riwayat siang yang cemas
mencabik-cabik ketakutan,
langit gemetar kau acungi belati
kerongkonganmu
menyumpah matahari,
“maling ayam!”
kata lancip ujungnya
Ada semacam kesaksian peristiwa yang membuat aku lirik melantangkan bahasa secara verbal dan dramatik. Deskripsi alam yang tiba-tiba tenang terpenggal dengan potongan gambar yang cukup menggugah sisi emotif, selanjutnya deskriptif adalah gambaran emotif dan dramatik peristiwa itu sendiri, serta nilai-nilai yang disampaikan dengan simbolisasi terjadi saat itu pula. Jika dalam puisi Helmy endapan kesan memunculkan sikap batin aku lirik, Didik tampaknya tak hendak ingin berkesan secara batiniah, namun ia meminjam gambaran alam untuk menghantar ke peristiwa, biar permberi kesan keributannya sendiri seperti kesan yang nampak dalam kesaksiannya sendiri.
Sedangkan dua penyair berikut ini, Abimardha dan Lubis Grafura memiliki kesamaan dalam penimbaan masalah kearifan. Seperti cuplikan puisi yang ditulis oleh Abimardha sebagai berikut:
Naila: Ingatan Sepanjang Bukit
1.
sebagaimana tingkap matamu melindap terkurung senyap
–kabut akan datang ke lengan bukit ini,
seketika mimpiku jadi ladang penuh kupu-kupu
sedang gerimis belum sempurna mencipta desember
bagi sunyi yang setia berarak ke ujung november
dingin turun menyulam jiwaku,
menuliskan bahasa samar pada getar riwayatku
namun aku ingin sesederhana rumput itu:
bergoyang-goyang dalam genggam angin
kemudian diam, berdekam menjadi sunyi
tatkala angin menarik langkah dan pergi meninggi
Abi merupakan penulis asli Surabaya namun bahasa yang serupa kultur pedalaman lebih diperlihatkan dalam puisinya. Berbeda dengan kekayaan dramatik dan nada yang menghentak-hentak, yang diwujudkan oleh bahasa Didik Wahyudi, Abi yang memiliki kultur keluarga asal Madiun ini masih terbawa alam narasi santun ala pedalaman yang tentram, tenang dan arif. Sikapnya yang tidak terlalu keluar dan menasbih pada kekaguman alam sebagai analogi peristiwa yang dipikirkannya menjadi kearifan tersendiri bagi penulis. Ada hal yang lebih diharapkan oleh sang aku lirik dalam membaca geletar batin dirinya yang mengarah ke analogi imajis. Namun ada hal yang lebih tak diharapkan lagi oleh si aku lirik, yakni ia tidak usah perlu meminta geletar batin itu dengan keras menyeruak dalam dirinya selain kegelisahannya tertangkap pada bahasa alam, dan seolah-olah alam itulah yang membahasakan yang seharusnya bagaimana ia bersikap dan bertindak.
Sama halnya, Lubis Grafura, namun penyair ini benar-benar berasal dari kultur bahasa yang membingkainya secara tutur dan personalitas sikap, yakni dari Kediri. Barangkali seperti D. Zawawi Imron yang berasal dari tanah Sumenep Madura, Lubis pun sangat menjiwai pemaknaannya yang menjejak sebagai karakter di tempatnya berasal. Kultur pedalaman mataraman yang cukup santun dan simbolik tertata dalam bait puisi-puisinya, sisi emotifnya disembunyikan dalam analogi gambar peristiwa. Lewat tutur bahasa puisinya, Dialog bahasa yang ringan, sederhana namun memadat dalam pemaknaannya. Seperti berikut:
Perjalanan
: buat Ni Kadek Memiarti
Kulihat kerlip cahaya gedung-gedung
Di sepanjang pelabuhan Gilamanuk
Pertanda malam telah runtuh
Menjadi gelap dan menyisakan bayangan
Tapi aku tetap harus mengayuh sampan
Meninggalkan rumah-rumah ber-pura
Meninggalkan gadis-gadis bergelung
dengan kembang kamboja di telinga
dengan stagen membelit pinggul dan dada
semua itu membuatku tak ingin jauh pergi
Dibandingkan dengan Abi, Lubis masih memiliki tatanan verbal dalam pengungkapan kehendak dirinya. Masih ada kejelasan laku dan sikap dalam dirinya dalam menghadapi persoalan meski memiliki kesamaan dengan menganalogikan kegelisahan terhadap alam (bagi Abi) dan peristiwa bagi Lubis.
Lain kearifan yang dibicarakan oleh penulis-penulis di atas. simbolisasi romantik masih menjadi kegemaran para penulis muda. Penggambaran kata-kata untuk pemanjangan peristiwa yang berdampak pada kegenitan bahasa dalam mengungkap alegori kejadian menjadi ciri khas A. Muttaqien dalam puisi-puisinya. Karya-karyanya banyak berkesan tentang perenungan kesan dirinya terhadap yang diperumpamakan sebagai ‘makhluk yang lebih lembut’ sehingga aku lirik terobsesi padanya. Seperti puisi berikut ini:
Gerimis dari Kulit Manggis
Aku mengenalmu dari kulit manggis
ketika senyum kembang-kempis,
dan wajahmu ungu, bagai kubur
menunggu.
Dua tai lalat menggantung mungil
di bibirmu, seperti mengucap ingin
kuncup-kuncup yang tak bakal tumbuh
di mulut garing dan mata kuning, tapi
aku telah menciumimu, penuh,
seperti menyambung umur, seperti
melabur purnama yang tertidur.
Langit jadi ungu, sepi dan menjauh.
Sebuah kaca melukis wajah kita.
Lipat-ganda. Seperti melipatgandakan
kematian dari waktu yang tak pernah
kita kenali, kecuali detik-detik yang
berguguran dari dadamu, dari dadaku.
Jika Abimardha dan Lubis Grafura berangkat dari konteks permasalahan batinnya, analogi kegelisahan yang tertambat pada latar alam maupun peristiwa masih menjadi bagian penghidupan masalah puisi bahwasanya dua penyair dengan sisi empiriknya ini masih mengakui keberadaan realitas seorang subjek yang tak hidup sendiri dalam membahasakan objek, atau individu yang sebenarnya tak individu. Namun dilihat dari cara tutur A. Muttaqien, penyair ini lain dari pada yang lain, karena ia melakukan eksplorasi kedirian yang teramat dalam dan bertatar pada susunan teknis kalimat perpuisiannya. Latar imajis bagi Muttaqien berfungsi sebagai penguat kehadiran permasalahan subjek sehingga latar itupun sebenarnya berlaku menjadi objek, bukan bergerak karena ingatan/ kegelisahan yang parau tapi digerakkan/ dimunculkan oleh kemauan laku kegelisahan (subjek itu sendiri). Kosentrasi aku lirik dalam menggeber keberadaan subjek berlansung terus dan eksploitatif, sehingga memunculkan tak ada ruang pembukaan lain, kecuali jika ruang tersebut terhimpun, mengurut sebagai pengikut dan penguat objek sehingga memunculkan kegenitan bahasa yang bukan kontemplatif selain kedirian yang narsis. Permasalahan Muttaqien dengan aku lirik-aku liriknya berada pada ruang lantun dirinya yang sangat kekal menekuni objek, sehingga kegelisahan batin dijelmakan pada serangkaian teknis yang seolah mengagumkan berulang dan kurang begitu membuka terhadap permasalahan lain, aku lirik lebih bangga melakukan rakitan kata dengan satu objek yang digemari.
Namun bagaimanapun pula, ada hal yang terlupa bahwa membaca kondisi Jawa Timur, kita pernah mengalami generasi emas perpuisian justru beberapa tahun ketika bangsa ini baru saja lahir. Para penulis di masa naungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) telah menorehkan beberapa idenya mengenai latar belakang yang kuat. Terlepas dari anggapan bahwa Lekra sebagian penyairnya memiliki kondisi politis untuk menggembar gemborkan ideologinya sendiri, karena lembaga ini underbow PKI (Partai Komunis Indonesia), atau beberapa penulis LEKRA semacam D.N Aidit misalnya tenar dengan puisi pamfletnya. Sebenarnya penulis-penulis Lekra yang pernah ada di Jatim memiliki kesatuan konsep yang kuat dalam gaya penulisannya. Lekra memiliki dasar kuat dalam pembentukan dan penciptaan kebudayaan rakyat, dalam hal ini karya sastra yang menjunjung nilai artistik yang tinggi dengan tematik terbesar adalah sosialisme, penderitaan rakyat yang tak kunjung sejahtera tengah merambah usai bangsa ini mencecap kemerdekaan. Seperti cuplikan puisi berikut ini:
Hutang Sepanjang Hidup
Entah karena hormat
Karena punya harapan
Pertolongan itu membuat tidak ragu
Kami difihaknya
Melalui segala
Jang kami tidak sanggup kerdjakan
Mereka memberi untuk kami
Mereka lebih kurus dari kami
Kepada kami disuguhkan pisang
Kali ini mesti kita makan
Kami sudah berhutang
Tiada kata dapat kususun
Djasa2 itu sudah sedjumlah bintang
Untuk kami lunasi, kami lunasi
Kami tidak perduli
Apakah njawa ini untuk sambung njawa mereka
Hutang ini harus dilunasi
Sepandjang hidup kami dan mereka
Lekra mengangkat masalah sosialisme dalam hal ini kaum menengah ke bawah, para petani, buruh. Puisi yang ditulis oleh Sukarno A.M di atas mengangkat kisah mengenai kehidupan petani. Kesan gambaran kelompok kaum menengah ke bawah yang secara struktural menganut kemiskinan dan kealpaan dalam perhatian hidup, yakni minimal suara mereka diperhatikan menjadi jalan empati bagi Sukarno untuk menuliskannya. Aku lirik dalam puisi ingin menyuarakan bahwa petani menjadi simbol penting golongan masyarakat tak berdaya namun tanpa sadar golongan masyarakat lain tak memperhatikan kiprahnya dan golongan masyarakat lain sudah seharusnya berhutang budi, hutang ‘kehidupan’, nyawa yang hidup berasal dari jerih makanan yang terberi dari usaha petani. Sepanjang manusia memenuhi kebutuhannya (makan) itulah maka ia berhutang nyawa menyambung hidup terhadap petani.
Adakalanya puisi Lekra mengangkat sesuatu yang bersifat kehidupan pribadi, atau jika merajuk ke dalam buku esai yang ditulis oleh Asep Sambodja tentang Konsep kepenyairan Lekra yang lain selain realisme sosial ataupun puisi-puisi pamflet D.N Aidit, tetapi gagasan mengenai romantik revolusioner, juga tercermin dalam puisi lain Sukarno A.M berikut ini:
Minah
Tentang perkawinan kita jang akan datang
diam-diam, Minah
Antara aku tukang betjak
Dan engkau tukang njalakan api didapur restoran
Dari otak tumpulku
keluar, kalau boleh disebut: harapan
Kelak, bila aku pulang dari mendorong betjak
(engkau tahu kerdjajerasku lebih dari 10 djam)
katakan aku sampai dirumah lebih dulu
Dalam hati selalu khawatir pernahkah engkau diperkosa
Direstoran banjak orang mabok bir
Mengapa uangmu lebih banjak dari punjaku
Sedang aku tertidur menunggu
Engkau masuk tanpa kuakkan pintu
Membawa sebungkus rontokan roti
Untuk makan penghabisan malam nanti
Dengan perut masih melekat
Kita pergi kesungai tjoklat
Bersama merendam tubuh; kita toh takusah malu
Air terlalu keruh, engkau isteriku
Dan penggosok ditanganmu batu merah
Kita mengenakan pakaian djuga ditepi kali
Demikian awal dari sekelumit bahagiaku, dik.
Bertiga kita menghabiskan malam
Aku, engkau dan gelap
Berpeluk menghibur diri
Bahagia berachir pada pagi hari
Barangkali mengenai ide penolakan terhadap neo-kolonialisme– imperialisme dan kapitalisasi yang juga digagas Asep Sembodj, yakni mengenai musuh-musuh Lekra yang tercantum secara tidak lansung dalam puisi ini. Mengisahkan seorang kaum bawah yang tidak memiliki kelayakan hidup yang disebut dengan kemapanan, ia dan istrinya bekerja keras utuk menyambung hidup. Istilah kehidupan rakyat bawah di pedalaman yang identik dengan pembelaan petani dan buruh tak akan dijumpai di sini. Sang aku tokoh bersama dengan istrinya merupakan masyarakat bukan kelas penting yang ditekan dengan latar penghidupan kota, ekonomi adalah milik kejayaan kaum imperialis. Restauran tempat si minah, sang istri bekerja dan kebudayaan senang-senang mabok bir menjadi latar kegelisahan sekaligus sikap tiada pilihan untuk mempertahankan hidup. Namun ironisnya kehidupan sebagai pasangan yang didera kemiskinan, hidup kumuh mandi diumpamakan berkubang lumpur sungai coklat, makan rontokan sisa restauran, serta kegelisahan akan moral jika istrinya bekerja di luar ‘kapasitas’ seorang pekerja restauran biasa dan dilecehkan martabatnya menjadi rambahan tema kaum bawah yang dikejar tuntutan gaya hidup untuk ‘tidak bawah lagi’. Aku lirik melakukan perlawanan sebagai kaum marjinal namun menghadapai imperialisme perkotaan bukanlah suatu tekanan lagi di saat romantika dan kelanggengan tetap terjalin dengan sang istri dalam keadaan bagaimanapun juga.
Lain penyair lain tema yang akan dibawakan. Ketika sebagian besar penyair Lekra Jatim di masa lalu ini kebanyakan mengusung ide sosialisme, realisme sosial, ataupun himpitan kenyataan sosialis diantara romantika mereka, justru penyair Hadi mengusung ide yang amat tersendiri. Permasalahan berangkat dari ikhwal kediriannya sendiri dalam memandang peristiwa. Seperti yang terlihat dalam puisi berikut:
Malam
Jang silam, silamlah—sekalipun hati masih mengenang
Jang datangpun, datanglah – aku bukan orangnja jang
ketakutan menantikan kau.
Dan terlelappun hati karena perpisahan –kutjuplah
aku – perpisahan mejaratkan tjinta dan
membawa kegelisahan
Dimana rindu ditentukan oleh apa jang musti dikerdjakan,
dimana bunga gemetar diwarnaja sendiri.
Tjinta, tjintalah pada jang dikenang, gembira, gembiralah
karena sekitar
Padat oleh hapusnja beda karena kesempatan dan
kebetulan dan sarat oleh persamaan
karena kerdja.
II
Malam ini orangpun tidur diantar harapan
Senjum mengulum ditiap bibir – jang mengutjup leher
kekasihnya atau hilang dipelukan derita
Alangkah indahnja mereka bila tidak tidur – jang tinggal
hanja namaja: manusia.
Berdekapanlah tubuh, jang tadi dibedakan pada hilang
ditelan malam dan akan berlandjut
dipergulatan esok
O kerinduan, alangkah sederhana tapi alangkah keras!
Djalin, djalinlah hati – entah sampai kemana –
tapi djalinlah
Djalinlah aku dengan darahku sendiri – dengan kesetiaan pada kepertjajaan jang aku pilih
Makna menguak hari esok sebagai perwujudan perlawanan kehidupan sebelumnya yang teramat susah masih digaungkan dalam puisi ini. Sebagaimana era penulis masih hidup di jaman pasca kemerdekaan, negeri ini masih belum cukup ajak berdiri di tengah himpitan pembicaraan mengenai kesejahteraan masyarakatnya, penyair Hadi menyuarakan alunan batin dirinya yang cukup tersendiri namun meluas maknanya kepada siapapun, apapun semangat memikirkan negeri ini. Kesan ketangguhan hubungan romantika tercermin di saat justru hati yang kuat untuk mempertahankan hidup. Kesan apa adanya dalam mencinta hubungan antar manusia secara liris pribadi nampak justru dalam pergulatannya menghadapi terpa tantangan yang keras. Ini mungkin mengingatkan dengan kesan pribadi yang pernah tumbuh dalam cupliksn puisi berlatar realisme sosial Prancis milik Guillame Apolinaire dalam “Jembatan Mirabeau” berikut ini:
Di bawah Jembatan Mirabeau mengalir Seine
Dan kasih kita
Mestikah kembali terkenang
Kegembiraan selalu datang sehabis derita
Meski malam datang, jam berdentang
Hari-hari pergi, aku tinggal diam
Tangan dalam tangan, tinggalah kita berhadapan
Sedangkan di bawah
Jembatan lengan kita, mengalir
Alun pandangan abadi begitu lesu
Meski malam datang, jam berdentang
Hari-hari pergi, aku tinggal diam
Cinta pergi bagai air ngalir ini
Cinta pergi
Betapa hidup lamban
Dan alangkah kejamnya Harapan
Mengenai cinta dan kesetiaan untuk bertahan hidup, romantika menjadi latar dan sekaligus berdiri di sisi kesadaran bahwa manusia sebagai pelaku sosial yang hidup di tengah-tengah kejadian dan efek peristiwa revolusioner, juga menghadapi gejolak pertikaian batin (revolusioner) diam-diam dalam dirinya. Jika revolusi prancis membayangi tulisan Mirabeau akan pandangan dan pengalaman hidup yang membatin, aku lirik di situ membiarkan segala kejadian seolah bersikap berlalu untuk diterima begitu saja. Kepasrahan ini beda dengan efek kesan yang ditimbulkan oleh Hadi, bahwa aku lirik masih memberlakukan aturan-aturan dan sikap yang harus dilakukan dalam menyonsong harapan. Bagaimanapun puisi-puisi bertemakan sosialis dan romantik revolusionis LEKRA memiliki ide, latar belakang dan penceritaan yang jelas akan konsep hidup. Ada sikap yang begitu jelas yang disuarakan oleh pelaku-pelakunya yakni penyair yang suaranya terjelma dalam aku lirik-aku lirik puisi lengkap dengan permasalahan, penderitaannya. Ada deskripsi yang lancar dengan kekayaan bahasa dan perumpamaan yang terang yang dihimpun dan dihimbau penulis secara pelan-pelan tentang suara masa depan dan harapan serta keteguhan yang menyarat, maka jelaslah kegelisahan yang dibangun dan terwujud lewat kata-kata dan kekayaan artistik bahasa para penyair di atas. Karena secara empirik, penyair-penyair LEKRA di situ merupakan pelaku yang jelas dan pelibat yang besar dari penderitaan dan cengkeraman kemelaratan bangsa pasca kemerdekaan (orde lama) namun anehnya, membaca tiap puisi-puisi mereka (dibandingkan dengan Guillame Appollinaire yang berlatar pasca revolusi perancis) nada mereka masih jauh optimis.
Seyogyanya kepenyairan Jawa Timur bertolak dari semangat para penulis era Lekra. Konsep dan landasan yang kuat membuat arah kepenulisan mereka menjadi tenggara yang luar biasa bagi khazanah persastraan Jatim. Dewasa ini hampir dimungkinkah para penulis menulis gagasan mereka dalam kondisi keberangkatan yang terpecah. Dalam artian pencarian mereka teramat sendiri-sendiri dan latar kegelisahan mereka kurang berasal dari peristiwa yang dalam atau kesannya mengada-ada dan meneruskan ide-ide yang sudah-sudah. Tentu anggapan ini bukanlah prasangka atau karena bila bertolak pada kepenyairan Lekra, para generasi sekarang sangat rentan buta kesejarahan sastra. Apa yang menjadi beban ataupun pemikiran penulis era dahulu seperti berulang dan sekedar berulang tanpa arah pembelajaran dan evaluasi yang mengarah ke pembentukan khazanah dan inovasi baru. Tentu saja karena pengaruh kondisi geopolitis, penyair muda saat ini lebih leluasa melakukan penuangan dalam bentuk merakit kata-kata tanpa penelusuran lebih terutama dalam hal emotif yang berkaitan dengan pengalaman dan sekali lagi pengetahuan tentang kesejarahan. Kadang-kadang permasalahan berangkat tanpa berasal dari persoalan yang sungguh-sungguh atau sekedar apa yang terkenal dengan sebutan ‘masturbasi’ estetik. Jika rezim Soeharto runtuh, maka kita kehilangan daya untuk dicekam dan semangat diam-diam yang berikutnya menumbuhkan sikap kritis karena kondisi represi tersebut amat rentan jika membahas masalah sosialisme yang bersifat revolusioner. Penulis Lekra memiliki kesatuan himpitan ketidakstabilan bangsa pasca kemerdekaan. Mereka berhadapan dengan permasalahan baru, ekonomi, kemiskinan, rakyat marjinal yakni kaum buruh dan petani, kecintaan yang tinggi akan nasionalisme di dalam deraan bertahan hidup bangsa. Tentu saja kesungguhan untuk mewadahi konsep itu dalam bentuk karya yang tak lupa memperhatikan daya cipta, artistik dan estetika yang tinggi, bukan sekedar rakitan kata-kata tanpa pemaknaan lebih.
Tentu saja membicarakan sikap di atas juga membicarakan mengenai masalah keberanian. Diperlukan keberanian untuk meluruskan dan mempertahankan daya cipta. Belakangan ini generasi sekarang amatlah bergantung dengan adanya fakta dan fenomena pemuatan. Siapapun akan merasa berjaya apabila namanya diakui oleh surat kabar atau media. Siapapun akan merasa dianggap sebagai penyair sungguhan apabila karyanya bermunculan di media. Kondisi ini ditekan dengan pengakuan beberapa penulis senior yang hanya mengganggap generasi di bawah mereka dianggap layak estetik perpuisiannya jikalau telah dimuat berkali-kali dan diakui oleh media. Sehingga generasi terkini betapa sangat dimabukkan oleh pengejaran karyanya akan media dengan melupakan satu hal apakah mereka mungkin juga disetir ide-ide, konsep berpfikir dan teknis oleh media itu sendiri. Apabila tulisan tidak sesuai dengan khazanah yang dianggap estetika oleh pemilik rubrik puisi, sampai kapanpun puisi mereka juga tidak akan dimuat. Bahkan dimungkinkan adanya kubu-kubu dalam khazanah perpuisian, kubu ini akan memuat puisi anggota yang se-kubu serta seterusnya, dengan ‘persyaratan’ atau pengkooptasian sesuai dengan yang dikategorikan ‘standar kelayakan’ kubu tersebut. Bahkan beberapa penulis muda pun rela melakukan apa saja demi karyanya dimuat di media tenar, seperti penjiplakan karya (di harian KOMPAS beberapa bulan lalu oleh seorang cerpenis muda Jawa Timur). Para penulis muda ini memiliki gaya, kesungguhan dan tentu saja keberanian sendiri untuk mengawali, meneruskan, mengembangkan dan mempertahankan penciptaan mereka dengan pembelajaran, endapan pengalaman, diskusi dan pemahaman. Sekalipun tiada dari angkatan sebelumnya yang mengakui keberadaan mereka, itu tidaklah penting. Perjuangan melalui estetika, penggalian kegelisahan dan pembelajaran sejarah serta keberanian untuk mempublikasikan karya-karya sendiri adalah semangat yang harus diteruskan seperti halnya kita memahami keberadaan generasi LEKRA. Hal terpenting adalah mereka memiliki keberangkan semangat kegelisahan yang bukan sekedar dari rakitan kata-kata. Namun banyak peristiwa yang disadari tanpa disadari mampu membangkitkan daya kritis penciptaan, minimal dari ruang terdekat atau pribadi atau internal komunitas mereka sendiri.
Kembali menyinggung keberadaan penyair-penyair muda Jatim yang telah banyak disinggung sebelumnya di awal penulisan makalah ini pun sebenarnya telah jauh memiliki gaya penulisan yang berbeda-beda dalam penuangan karyanya. Kekayaan variasi yang disuguhkan menjadi wacana tersendiri yang justru menarik fenomena alam sastra Jawa Timur. Mereka berasal dari latar daerah, kebudayaan yang berbeda-beda dan melahirkan karakter, sikap yang berbeda-beda pula dalam penuangan peristiwa. Sudah saatnya Jawa Timur tidak menutup mata untuk kemungkinan ini dan membawa wahana sinyal positif ini, paling tidak sebagai aset regenerasi nasib persastraan ke depan. Tentu saja nama-nama penyair muda tersebut yang tertangkap dalam sebagian besar perhatian kita, dan masih banyak usia yang mungkin lebih muda lagi belum terkuak dan minimnya wahana untuk menampung kreativitas mereka, jika dalam hal ini berbicara mengenai komunitas sebagai wadah dan lembaga budaya Jawa Timur sebagai pelaksana besarnya.
***
*) Puput Amiranti, lahir di Jember, 24 April1982. Alumnus Sastra Inggris Fakultas Sastra Unair. Sempat menjadi wartawan penerjemah berita asing di tabloid olahraga Maestro di tahun 2004. Karya-karyanya berupa puisi pernah dimuat di: Surabaya News, Surabaya Post, Surya, Jawa Pos, Media Indonesia, Aksara, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Jurnal Perempuan, Majalah Kidung, Radar Surabaya, Majalah Bende, juga majalah berbahasa Jawa Jaya Baya. Karya-karyanya juga termuat dalam beberapa antologi puisi Permohonan Hijau (FSS 2003), Antologi Penyair Jawa Timur (FSS 2004), Dian Sastro For President #2 Reloaded (On Off, 2004), Pesona Gemilang Musim (Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru, 2004), Malsasa (2005, 2007, dan 2009) dan Temu Sastra Jawa Timur (Taman Budaya Jawa Timur, 2007). Juga termuat di media online Indonesia-Australia, AIAA News dan pernah dibacakan di radio Indonesia-Jerman, Deutsche-Welle (Januari, 2004). Naskah “Sebuah Musim” ditulis dan disutradarainya serta memenangkan penampilan terbaik kedua pada FESTAMASIO II di Makassar (2003), serta mendapat nominasi sebagai sutradara terbaik. Juga pernah menghadiri Pertemuan Penulis Naskah Drama Perempuan se-dunia, di Jakarta (2006). Pendiri UKM Teater Mata Angin Unair, bersama kelompoknya ini, naskah adaptasinya Kantan (dari karya Yukio Mishima) terundang dalam Festival Teater se-Dunia Project Istro-Politana, di kota Bratislava, Slovakia, tahun 2008. Sekarang menjadi guru di SMKN 1 Nglegok Blitar. Di sekolahnya ini, mendirikan Teater Lagung SMKN 1 Nglegok Blitar, dan mementaskan sejumlah pementasan. Buku antologi tunggalnya No Prayer for The Dying (2011).
Makalah Temu Sastra Jawa Timur 2011