Wawan Eko Yulianto *
berbagi-mimpi.info 16 Jan 2009
Jadi, pernah juga ternyata terjadi tren-trenan dalam dunia sastra Amerika. Kejadiannya adalah pada tahun 1850-an. Apa yang nge-trend? Yang ngetrend waktu itu adalah: SASTRA SENTIMENTALIS!!!
Jadi, pada masa itu, kira-kira mulai tahun 1848, mulai muncul cerpen-cerpen di majalah yang ditulis oleh para penulis perempuan. Ceritanya sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan domestik dan percintaan. Bahasanya melambai-lambai, berlebih-lebihan dalam mendeskripsikan, dan lebih banyak menyasar emosi ketimbang memicu pemikiran. Well, singkatnya begitulah.
Sebelum menginjak masa sentimentalisme ini, sebenarnya Amerika baru saja kebanjiran dan kegandrungan karya-karyanya pak Charles Dickens dari Inggris itu. Selain itu, ada juga karya yang disebut-sebut menginspirasi banyak penulis sentimentalis ini, yaitu Jane Eyre karya Charlotte Bronte (1847). Tapi, tetap menurut banyak sumber, karya-karya mereka adalah semacam ekses dari karya-karya Bronte dan Dickens itu… jadi ya… yang namanya ekses kan nggak baik (jadi ingat bang Rhoma, “mengapa semua yang enak-enak… itu diharamkan… mengapa semua yang enak-enak, merusak pikiraaaaaan, ah ah ah aha ha ha ha ha haaaaa… itulah perangkap setan!!!” atau ingat Spice Girls, “too much of something is bad enough”).
Salah satu karya paling awal dari masa Sentimentalisme ini adalah Uncle Tom”s Cabin (1852) karya Harriet Beecher Stowe yang akhirnya meledak gila-gilaan. Nah, dari situlah akhirnya banyak penulis perempuan yang mulai pingin menuliskan kisah-kisah mereka. Dan benar juga, banyak sekali penulis perempuan yang akhirnya menjadi best seller di masa itu. Ada satu nama lagi yang patut disebut di sini: Fanny Fern (nama yang lucu bukan? hehehe… ya iya lah, kan “fern” itu artinya pakis, heheheh… tapi memang sih itu nama pena, aslinya Sarah Payson Willis Parton) yang salah satu karya paling populernya berjudul Fern Leaves from Fanny”s Portfolio. Oh ya, lagi-lagi ini patut dicatat, Sarah Payson Willis Parton (aduh… panjang banget namanya, selanjutnya saya pake nama penanya saja ya) ini adalah kolumnis perempuan pertama di Amerika, dan pada masanya itu dia pernah menjadi kolumnis dengan nilai kontrak termahal… kayak pemain bola, hehehe…
Pada masa ini, terjadi banyak sekali fenomena best seller yang mengejutkan… ibaratnya, buku-buku mereka laku bagai… hmm… bagai… nonton bareng di musim world cup (halah!). Saya malas menyebutkan angka penjualannya, sangat memilukan kalau mengingat trend buku di Indonesia).
Yang jelas, dengan karya-karya mellow nan sentimentil, mungkin sepadang dengan televonela/sinetron lah modelnya (kemarin di kelas kami di suruh pak guru cari majalah2 dari tahun 1850-an (gila bo! di sini majalah2 tahun itu masih terawat dan bisa diakses, dan bahkan boleh dipinjam dibawa pulang oleh teman-teman) dan masing-masing ditugasi baca satu cerpen dan menceritakan isinya di kelas dan menyoroti sisi-sisi sentimentalisme dari cerpen-cerpen itu, para begawan sastra Amerika masa itu jadi kebakaran jenggot. Berikut saya kutipkan langsung beberapa belas kalimat dari buku “The Development of American Short Story: A Historical Survey” karya Fred L. Pattee …
That Hawthorne was conscious of the new feminine invasion we have decisive evidence. In a letter to Ticknor, January, 1855, he expressed himself with no uncertain words:
America is now wholly given over to a d—d mob of scribbling women. I should have no chance of success while the public taste is occupied with their trash–and should be ashamed of myself if I did succeed. What is the mystery of these innumerable editions of The Lamplighter and other books neither better nor worse?–worse they could not be and better they need not be, when they sell by the hundred thousand.
And again, a month later (pak Hawthorne nulis lagi),
Generally women write like emasculated men and are only to be distinguished from male authors by greater feebleness and folly; but when they throw off the restraints of decency, and come before the public stark naked, as it were–then their books are sure to possess character and value. (149)
Sebegitu dahsyatnya ledakan karya-karya sentimentalis itu. Semua orang dibikin galau.
Tapi, ternyata tidak semua orang memandang miring karya-karya sentimental itu. Kalangan pengamat modern, yang sudah diketahui punya kecenderungan suka membaca lebih banyak dari berbagai kacamata telaah yang peka terhadap berbagai elemen dalam sebuah karya (sebenarnya saya cuman pingin ngomong “menggunakan berbagai teori sosial untuk menyingkap isi karya sastra dan sangat suka dengan elemen-elemen ekstrinsik karya sastra ketimbang elemen2 instriksiknya saja”), memandang bahwa karya-karya ini memiliki banyak sisi positif. Well, untuk gampangnya saya persilakan baca artikel web ini. Di situ, Anda bisa melihat bagaimana sebenarnya karya-karya itu “berani” menunjukkan hal-hal yang sebenarnya tidak banyak dibahas para intelektual amerika masa itu. Well, yang dimaksud intelektual Amrik masa itu kan orang-orang “kulit putih, laki-laki”, jadi ya… pandangannya bisa dibilang sangat tidak ramah jender. Lihat saja bagaimana Pak Hawthorne menyebut para penulis itu sebagai “scribbling women” atawa para perempuan yang suka corat-coret saking cepatnya mereka “memproduksi” novel-novel mereka. Atau lihat juga di halaman 149 dalam bukunya Pattee itu, ketika Pattee mengutip dari North American Review masa itu: “A female author puts much of her individuality into her work–being more prone to express emotion than ideas.”
Oh ya, dalam artikel ini tadi, disebutkan bahwa banyak sekali fenomena yang sekarang ini jadi bahan garapannya kaum feminis atau para pendukung cultural studies secara umum, semisal women”s rights dll. Memang, pembahasan yang seperti itu pada masanya dianggap vulgar, tapi para penulis tersebut bisa mengungkapkannya karena mereka hanya berpegang pada “apa yang mereka rasa benar” bukan “apa yang dianggap benar oleh budaya mereka yang merupakan “male-dominated culture”. Makanya, jangan heran kalau ketika orang-orang menganggap perbudakan sebagai hal yang wajar, Ny. Stowe dalam Uncle Tom”s Cabin berani mengatakan bahwa perbudakan itu tidak wajar dan karenanya harus dihapuskan (btw, pasti Anda sekalian sudah bosan mendengar bahwa novel Uncle Tom”s Cabin itu adalah pemicu perang saudara di Amerika … well, biasanya guru-guru sastra akan menyimpulkan dengan sesederhana itu, hehehe…).
Yah, begitulah kenyataannya, para kritikus dewasa ini menganggap, kalau soal kesastraan, kebagusan bahasa, karya-karya sentimental ini sangat lemah (bukan dalam artian bahasanya jelek lho ya, tapi bahasanya tidak pada tempatnya: misalnya selalu berindah-indah tanpa peduli suasana, bahkan katanya dalam karya-karya itu nggak ada yang namanya “turun salju” tapi yang ada adalah “alam membungkus diri dalam selimut putihnya nan tebal” atau nggak ada “matahari terbit” tapi yang ada adalah “aurora menyepuh langit dengan warna tembaganya” semacam itu lah hehehehe), tapi dalam hal konten, karya-karya mereka layak mendapatkan pembacaan yang sepantasnya…
Hokeh… begitu saja sementara ini, semoga nanti bisa lebih luas cakupannya. hehehehe…
Nah, sekarang, pertanyaannya, apakah Anda pernah menemukan tren semacam ini di jagad sastra negara kita tercinta indonesia raya ini?
***
*) Wawan Eko Yulianto, lulusan sastra Inggris dari Universitas Negeri Malang, telah menulis sejumlah cerita pendek, resensi, menerjemahkan tiga novel James Joyce, dan sejumlah novel lain. Bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa penerbit: GPU, Jalasutra, Ufuk Press dan Banana Publisher. Aktif di Bengkel ImaJINASI dan OPUS 275.