SUTAN BAGINDA DI ANTARA PEREMPUAN MELAYU, PAPUA, DAN INDIA

Maman S. Mahayana *

Sastera lahir dari sebuah gagasan, pemikiran, ide. Meski begitu, gagasan, pemikiran, ide pengarang itu, tidak serta-merta tumpah begitu saja sebagaimana adanya. Di sana, ada proses pengendapan, penghayatan, dan evaluasi berdasarkan pengalaman pribadi pengarang. Maka, karya sastera tidak sekadar serpihan sebongkah gagasan, pemikiran atau ide, melainkan wujud sebagai kolaborasi, percampurbauran antara gagasan, pemikiran, dan ide itu dengan segala pengalaman pengarang melalui proses evaluasi dan pemaknaan. Di sinilah, karya sastera berhasil membangun semuanya itu menjadi ideologi. Pengarang lalu menyusupkannya dalam sebuah tempat yang tersembunyi, sebab di sana sudah terjadi pencampuradukan dengan segala unsur intrinsik karya sastera yang berkenaan.

Atas dasar pandangan itu, karya sastera pada hakikatnya bersifat ideologis. Gagasan, pemikiran dan ide pengarang itu mengkristal dan berkelindan menjadi sebuah ideologi. Ketika proses kreatif berlangsung, ideologi yang mengeram dalam diri pengarang, sadar atau tidak, menyeruak dan menjelma menjadi bagian dari unsur intrinsik karya sastera. Oleh karena itu, setiap karya sastera mesti dicurigai menyimpan pesan-pesan ideologis. Jika demikian, karya sastera sesungguhnya dapat pula diperlakukan sebagai ekspresi ideologi pengarang berkaitan dengan pengalamannya dalam menghadapi berbagai persoalan yang menjadi kegelisahannya.
***

Shahnon Ahmad, salah seorang sasterawan Malaysia terkemuka dan penting, tidak hanya karena produktivitasnya dalam menghasilkan buah karyanya, tetapi juga kualitasnya yang hampir selalu mem­perlihatkan usaha eksperimentasi. Banyak karyanya memperoleh berbagai hadiah dan penghargaan. Lantaran itu pula, beliau dianggap pantas memperoleh anugerah Sasterawan Negara, satu peng­hargaan tertinggi bagi sasterawan di Malaysia.

Kiprah Shahnon Ahmad di bidang kesusasteraan meliputi penulisan novel, cerpen, kritik, dan drama. Sungguhpun karyanya yang berupa drama, kurang begitu memperoleh sukses, enam buah cerpennya termasuk pemenang hadiah sastera. Sementara sejumlah novel dan esei kritiknya telah mengantarkannya mendapat predikat sebagai penulis esei kritikan terbaik (1975), Gelaran Pejuang Sastera (1976), Bintang Ksatria Mangku Negara (1977), Gelar Datuk (1977), Profesor (1982) dan Sasterawan Negara (1982).

Sampai setakat ini, karya-karya Shahnon Ahmad telah menjadi referensi penting, berkenaan dengan kumpulan cerpen, naskah lakon (drama), teori sastera, kumpulan esei kritikan, dan teristimewa novel. Novel Sutan Baginda (1989) –konon, kehadirannya telah menimbulkan kontroversi di kalangan pengkritik sastera di Malaysia. Di Indonesia, Sutan Baginda sudah diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta (1992) dan diindonesiakan Amir Sutaarga.

Kiprah lainnya yang patut dicatat di sini adalah gagasannya mengenai konsep sastera Islam. Gagasannya yang pertama kali muncul dalam Dewan Bahasa, Julai 1977 itu ternyata semarak, tidak hanya mendapat sokongan luas dari kalangan intelektual Malaysia, tetapi juga menjadi sebuah kontroversi yang menimbulkan polemik berkepanjangan. Terlepas dari masalah kontroversi dan polemiknya dengan Kassim Ahmad mengenai konsep sastera Islam, Sutan Baginda tampaknya sengaja ditulis Shahnon sebagai pengejawantahan konsep sastera Islam. Dalam pengantar novel itu, Shahnon Ahmad mengungkapkan:

“ … Dan akhirnya di subuh yang bening dalam cuaca yang basah lahirlah novel pendek Sutan Baginda. Dan Sutan Baginda benar-benar licik dengan taktik-taktik dan cekcok-cekcoknya, mengikis segala adab dan susila ketimuran dan keislaman, sehingga buah hati pun hanya dilihat sebagai barang-barang sekadar untuk dieksploitasikan untuk perut dan syahwat sendiri.” (hlm.VII).

Demikianlah isyarat Shahnon Ahmad dalam pengantarnya. Tetapi manakala kita membaca keseluruhan novel itu dan melihat begitu saratnya unsur seks yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur novel itu, maka boleh kita bakal bertanya: Di mana letak makna Islaminya? Apakah pengarang bersengaja menyelimuti—menyembunyikan pesannya? Masih dalam rangka itu pula, di bagian lain pengantarnya, Shahnon Ahmad mengungkapkan:

“… Gaya bahasa tidak menjadi masalah lagi kerana dengan sendirinya gaya bahasa itu menjiwai hati nurani. Ia terus mengulurkan irama-irama yang sesuai, terbit melalui lidah yang tak berkata-kata dan mulut yang langsung tidak berkumat-­kamit.” (hlm. VI).

Jika dikaitkan dengan pandangan bahwa sastra pada hakikatnya bersifat ideologis, maka pertanyaannya kini: ideologi macam mana yang hendak disampaikan Shahnon Ahmad dalam novel Sutan Baginda? Apakah beliau hendak melakukan pembelaan atas ideologi Islam sebagaimana yang tersurat dalam pengantar novel itu, [1] atau ideologi lain berkaitan dengan seksualitas yang secara tersirat banyak dihadirkan melalui metafora: laut, gelombang, pantai, bahkan monyet dan babi? [2]
***

Dengan memperhatikan bentuk penceritaan dalam novel Sutan Baginda, yaitu digunakannya empat penceritaan akuan sertaan (first-­person participant), yaitu pencerita tokoh Uji, Dahlia, Fidah, dan Sutan Baginda sendiri dan pencerita diaan semestaan (third-person omniscient narrator), maka patut pula kita bertanya: apakah Shahnon Ahmad hendak menyampaikan pesan ideologis berkenaan dengan posisi kuasa laki-laki atas perempuan? Bukankah dengan dihadirkannya tiga tokoh perempuan (Uji, Dahlia, dan Fidah) dan satu lelaki (Sutan Baginda) sebagai pencerita akuan, boleh dipandang sebagai persoalan hegemoni jender: superioritas laki-laki atas perempuan? Bukankah itu sebagai kebalikan hujah Nabi Muhammad SAW yang menempatkan posisi ibu (perempuan) berada tiga peringkat di atas ayah (laki-laki) [3] atau justeru hendak mendukung hujah itu?

Ceritanya sendiri berkisar pada diri tokoh Sutan Baginda. Melalui penceritaan tokoh Uji, Dahlia, dan Fidah, maka tokoh Sutan Baginda ditempatkan menjadi pusat penceritaan (focus of narration). Dengan demikian, kehadiran tokoh Uji, Dahlia, dan Fidah semata-mata bertugas untuk menyampaikan cerita tentang diri Sutan Baginda. Gambaran ini kemudian diperkuat dengan penceritaan Sutan Baginda sendiri yang menyampaikan keadaan dirinya, terutama ambisi-ambisi politiknya. Lalu sebagai kesimpulan mengenai nasib Sutan Baginda, muncullah pencerita diaan semestaan yang mengisahkan kegilaan Sutan Baginda terhadap segala yang telah dialaminya. Sutan Baginda akhirnya termakan oleh ambisi politiknya sendiri dan terseret oleh nafsu untuk mengejar kekuasaan yang tak kesampaian. Ia gila akibat kegilaannya sendiri, gila kekuasaan dan gila nafsu syahwat. Sutan Baginda akhirnya masuk sebagai tokoh pecundang.

Di bagian terakhir ini, Shahnon Ahmad tampaknya sengaja menggunakan bentuk pencerita orang ketiga (diaan) untuk memudah­kannya menghukum tokoh Sutan Baginda. Penghukuman pada diri Sutan Baginda itulah sesungguhnya ideologisasi Shahnon Ahmad dapat kita telusuri. Mari kita mulai!

Tokoh Sutan Baginda, boleh jadi dihadirkan sebagai simbolisasi kekuasaan: Sutan—Sang Penguasa, dan Baginda—Sang Raja, yang lalu dikukuhkan melalui ambisinya di bidang politik—yang juga merupakan representasi kekuasaan. Jika kemudian ketokohan Sutan Baginda disampaikan melalui tiga tokoh wanita –Uji, Dahlia, dan Fidah—tentu saja harus dicurigai, bahwa hal tersebut berkaitan dengan perkara jender. Bukankah Uji dapat dianggap mewakili wilayah agama, Dahlia mewakili wilayah dunia ilmiah—intelektual, dan Fidah sebagai yang mewakili wilayah hiburan—kebudayaan populer? Jadi, ketiga perempuan itu datang dari tiga wilayah berbeda, yaitu agama (Uji—ustazah), pendidikan (Dahlia—pensyarah—intelektual), dan Fidah (penyanyi—hiburan). Dengan demikian, penguasaan Sutan Baginda atas ketiga perempuan itu seolah-olah hendak menunjukkan hegemoni dan superioritas jender, yaitu kekuasaan laki-laki (Sutan Baginda) atas tiga pilar aspek kehidupan: agama, pendidikan, dan dunia hiburan. Dalam hal ini, perempuan menjadi objek eksploitasinya.

Pada awalnya, Sutan Baginda memang tampak hegemonik atas ketiga perempuan itu. Dalam kenyataannya, ketiga perempuan itulah yang justeru sebagai pengendali. Kekuasaan Sutan Baginda pada hakikatnya sekadar sebagai pejantan yang pada akhirnya menjadi pecundang. Bukankah Uji yang sebenarnya sebagai penguasa ketika Sutan Baginda memasuki wilayah agama? Perhatikan kutipan berikut ini yang memperlihatkan, inferioritas Sutan Baginda dalam perkara agama dan alasannya mengawini Uji.

“Untung ente kawin sama ana. Urusan kerja ana seharian ini mesti banyak kaitan dengan ayat Qur’an dan hadis. Kalau tak tahu agama, ana tentu kalah. Itulah sebabnya ana cari ente sebagai isteri karena ente ustazah.” (hlm. 4).

Jadi sebenarnya, ada alasan lain mengapa Sutan memilih Uji untuk dijadikan isterinya. Memang terbukti, dalam kehidupan rumah tangganya kemudian, Sutan banyak meminta bantuan isterinya untuk menyiapkan ayat-ayat Quran atau hadis-hadis yang maknanya sesuai dengan rencana pidato atau kampanye politiknya di berbagai pertemuan. Bahkan Sutan Baginda secara sadar belajar memfasihkan semua bacaan itu dari isterinya itu.

Bagi Uji, apa yang dilakukan suaminya tidaklah menjadi persoalan benar. Yang penting baginya, bahwa peran Sutan sebagai seorang suami dapat dirasakan lahir-batin. Di balik itu, pene­rimaan Uji itu tidak terlepas dari “kekuasaan dan kepiawaian” Sutan –sebagai pejantan— dalam memuaskan dahaga isterinya. Perhatikan kutipan berikut ini.

“…Dan malam itu, seperti juga malam-malam yang lain, kami benar-benar karam dalam kelazatan dan keasyikan. Siangnya dalam beberapa hari itu, aku sengaja pula menghadap cermin untuk memastikan kewujudan lesung pipit itu, ternyata lesung pipit sudah tidak ada lagi. Ia sudah pergi, sudah lama tenggelam dalam kekayaan daging dan lemak pipiku. Begitu cepat tubuh berisi.” (hlm. 2)

Perhatikan pula kutipan berikut ini:

Agak lambat juga Sheela datang meskipun kami berdua bekerja keras siang malam memugar tanah dan menanam benih.

Beberapa kali juga Sutan menyalahkan tanah yang meng­ikutinya tanah itu tidak subur, kurang baja dan sering pula gersang. Entah bila Sutan menimbulkan perkara itu beberapa kali. Aku katakan yang tandus dan gersang bukan tanahnya, tapi benihnya. Benihnya mungkin tidak baik, mungkin benih dari Taiwan. Dan kalau benih baik, mungkin cara tanam benih itu tidak kena dan tidak ada gayanya. Sutan geleng-geleng kepala dan tersenyum saja. Kemudian kami berdua pun ketawalah.

“Susah kawin dengan ustazah! Silap-silap rujuk Qur’ an. Silap-silap rujuk hadis.” (hlm. 2-3).

Demikianlah, kekuasaan Sutan Baginda atas Uji, sesungguhnya hanya menyangkut persoalan hubungan suami—isteri. Di luar persoalan itu, Uji menunjukkan keunggulannya.

Tokoh wanita kedua yang mengisi kehidupan Sutan Baginda adalah Dr. Dahlia, pensyarah mata kuliah Political Science. Usianya lebih tua dari Sutan. Parasnya digambarkan tidak cantik. Namun, yang membuat Sutan tertarik pada gadis yang sudah lanjut usia itu adalah tesis doktornya di ANU (Australian National University) yang berjudul “Power of Organization and Power of Individual: A Comparative Study.”

Dalam pandangan Sutan Baginda, penelitian yang dilakukan Dahlia akan sangat menunjang langkah strateginya dalam mencapai kekuasaan dan kelemahan sebuah organisasi (partai) politik. Ia juga mesti memahami potensi yang dimiliki orang per orang. Dalam konteks itulah, Sutan mesti dapat memanfaatkan kepakaran Dahlia. Maka, dengan cara-cara yang begitu halus, jadilah Dahlia menjadi isteri Sutan. Dahlia sendiri bukan tidak curiga pada hasrat Sutan untuk mengawininya. Sememangnya patutlah dicurigai jika Sutan yang rancak dan kemas, tiba-tiba mau mengawini gadis berusia lanjut. Jika tidak ada maksud-maksud tertentu, pastilah Sutan lebih suka mencari gadis muda belia yang cantik dan lebih menggairahkan daripada seorang ilmuwan yang, tidak hanya berparas biasa-biasa saja –tidak istimewa— tetapi juga usianya lebih tua. Maka wajar jika Dahlia berpikir seperti terungkap dalam kutipan berikut ini.

“… Dalam arti kata yang lain Sutan hendak menggunakan aku ini sekaligus dengan dua tujuan. Pertama tubuhku yang barangkali masih boleh dipakai ini dan kedua otakku yang tahu sedikit banyak tentang strategi perjuangan. Memang banyak hal-hal yang terdapat dalam penyelidikan tentang Power of Organization dan Power of Individual, malah taktik Nirwan selama ini pun adalah taktik kekuasaan jenis ini .…” (hlm. 33-34)

Tetapi di balik kesadaran, bahwa Sutan mempunyai maksud tertentu dalam menjadikan dirinya sebagai isteri kedua, Dahlia juga menyadari bahwa dirinya memperoleh keuntungan lain yang tidak akan diperoleh apabila tetap mempertahankan status keperawanannya. Oleh karena itu, dengan suka hati ia membantu perjuangan Sutan, betapapun sebelum itu, ia mengetahui bahwa sebenarnya Sutan sudah mempunyai isteri.

“…, tapi pemberian Sutan benar-benar pemberian jantan. Biar tak usah aku segan-silu menceritakannya. Hatiku senang, kurang mengeluh dan selalu saja terasa puas dalam segala hal dan segala segi.

Ini adalah keadaan sekarang meskipun sudah lama aku tahu Sutan sudah punya isteri. Itu tidak menjadi halangan kerana aku mempunyai peranan lain yang khusus untuk Sutan.”

“… Soalnya nampak bagaikan Sutan memperalat aku ini? Tapi soalnya bukan satu perkara yang manis menuduh siapa alat sekarang ini. Kami sudah bersuami isteri. Aku cintai Sutan, aku rasa. Dan Sutan pun cintanya aku juga, aku rasa.” (hlm. 30-31).

Dalam perjuangan politik, Sutan memanfaatkan kepakaran isteri keduanya, tetapi di pihak yang lain, dalam bidang yang lebih khusus dan sangat pribadi sifatnya, Dahlia memanfaatkan kelelakian Sutan Baginda. Jadi, di sini jelas, siapa memanfaatkan siapa.

Demikianlah, dalam pengetahuan agama, Sutan Baginda sangat bergantung pada Uji, isteri pertamanya, dan dalam hal pengetahuan tentang politik dan kekuasaan, ia mengandalkan kepakaran isteri keduanya, Dahlia. Maka, untuk mencari jalan, ia mencari perempuan lain yang dianggap menguasai bidang itu. Oleh karena itu, pilihan Sutan Baginda pada Dahlia bukan karena keunggulan fisikal (cantik dan muda), melainkan karena keunggulan intelektual Dahlia dalam pengetahuan politik dan kekuasaan. Kembali, superioritas Sutan Baginda pada dasarnya hanya terjadi pada wilayah domestik, dan lebih khusus lagi, dalam hubungan suami—isteri, dan tidak di luar wilayah itu, yakni wilayah publik.

Perhatikan kutipan berikut yang memperlihatkan hal tersebut.

“Ini yang susahnya berkahwin dengan Ph.D. Sambil bermain sambil berteori. Sambil bertelanjang sambil ber­falsafah.”

“… Aku tidak melayaninya sedangkan dia meminta supaya dilayani. Tapi itulah teori naked power pun. Ada tirani. Ada yang agresif. Ada kekasaran. Dan dari kekasaran itulah tumbuhnya nikmat. Tumbuhnya kelazatan bagi yang berkuasa walaupun yang dikuasai tidak mengecapi nikmat dan kelazatan itu. Macam yang sedang Sutan bergelut sekaranglah. Tapi apa yang disunguti oleh Sutan memang betul. Aku menyelam sambil minum air. Aku memberi sambil menerima. Tapi kalau sekaligus boleh hasilkan produktiviti, apa salahnya bermain sambil berteori, bertelanjang sambil berfalsafah. Ah! kasarnya Sutan waktu itu ….”

Sikap Dahlia tersebut telah memaksanya untuk ikut aktif dalam berbagai kegiatan yang dilakukan Sutan dalam kaitannya dengan perjuangan partai politiknya. Itu pula sebabnya, Dahlia kemudian meletakkan jabatannya sebagai pensyarah. Perhatiannya lebih banyak dicurahkan pada perjuangan Sutan Baginda. Lebih dari itu, dalam kenyatannya, Dahlia lebih banyak berperan sebagai sekretaris dan penasihat pribadi Yang Terhormat Sutan Baginda daripada sebagai isteri dari seorang suami yang penampilannya sebagai seorang politikus tulen, tetapi pada hakikatnya, sangat bergantung pada isteri-isterinya. Sutan Baginda, di luar peranannya sebagai seorang lelaki—suami, pada dasarnya tidak mempunyai kemampuan untuk berkuasa apa-apa.

Adapun Fidah, meski tidak terlalu banyak diketahui peranannya dalam dunia hiburan, pada akhirnya Sutan tidak dapat mengendalikan Fidah yang mempunyai ambisinya sendiri sebagai usahanya mencari popularitas. Pada mulanya, Sutan Baginda bermaksud menjadikan Fidah, tidak hanya sebagai alat pelampiasan nafsunya semata, tetapi juga hendak dijadikan umpan bagi Nirwan, saingan politiknya. Niat itu kemudian disampaikan Sutan Baginda kepada Fidah. Bagi Fidah, rancangan itu tentu saja memberi peluang baginya untuk lebih meningkatkan popularitasnya, terutama dalam memperoleh berbagai fasilitas. Nirwan yang menjadi saingan politik Sutan Baginda, tidak lain adalah ketua partai atau orang nomor satu di partai politiknya. Sedangkan Sutan Baginda adalah wakil Nirwan. Inilah rancangan yang disusun Sutan Baginda.

“… Sutan sanggup melepaskan Fidah pergi kalau Fidah boleh menjerat Nirwan … Kalau Fidah boleh menjerat Nirwan, skandal akan meletup di seluruh negara. Habuan Nirwan untuk menjatuhkannya itu tidak lain selain cewek itulah. Melalui cewek, dia boleh pergi. Dan Fidah memang dapat calonnya. Dia genit….” (hlm. 68-69).

“… Dengan serampang tiga mata itu dia yakin, dia boleh meremukkan perjuangan kuku besi Nirwan. Dia ada Uji dan Dahlia untuk memperkemaskan dirinya sebagai ulama dan intelek. Dan dia ada Fidah khusus untuk menskandalkan Nirwan…” (hlm. 73).

Apa yang dirancang Sutan Baginda dan apa yang dibayangkan Fidah dalam hubungannya dengan tokoh Nirwan, ternyata di luar perkiraan mereka. Nirwan terlalu kuat untuk tokoh semacam Sutan Baginda. Dalam hal ini, usaha Sutan Baginda untuk mewujudkan karier politiknya lewat tokoh Fidah, tidaklah semulus apa yang dibayang­kannya. Pada akhirnya. Sutan Baginda tak kuasa mewujudkan ambisinya itu.

“… Sutan Baginda terperangkap dalam perangkapnya sendiri. Dan kini dia berada dalam ciptaannya sendiri itu. Dan dia pun seperti biasa juga. Tak lama disebut orang. Tak lama disimpati orang. Dengan mudah dia dimasuki dalam golongan orang­-orang yang mudah dilupakan.” (hlm. 108).

Demikianlah, Sutan Baginda pada akhirnya tenggelam dalam kegilaannya. Ia tidak dapat mewujudkan ambisinya untuk berkuasa; tidak dapat mmpertahankan eksistensi kekuasaannya, lantaran pada dasarnya ia tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Kekuasaan Sutan Baginda hanya sebatas berada dalam hubungan suami-isteri, hubungan orang per orang, atau kekuasaan dalam wilayah domestik. Manakala Sutan Baginda hendak memasuki wilayah publik, ia harus mengandalkan pengetahuan dan keunggulan ketiga perempuan itu. Dengan demikian, Sutan Baginda pada hakikatnya dalam lingkungan inferioritas, tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, selain sebagai suami atau lelaki yang sekadar berkuasa dalam memuaskan pasangannya.

Sementara itu, Uji, Dahlia, dan Fidah memperlihatkan dirinya sebagai perempuan yang memiliki keunggulan masing-masing. Oleh karena itu, usaha Sutan Baginda lewat tiga tokoh wanita, Uji, Dahlia, dan Fidah, untuk merintis karier politiknya, gagal karena Sutan Baginda pada dasarnya tokoh pecundang. Ambisinya untuk menjadi orang nomor satu di partai politik, tidak didukung oleh kualitas dan kemampuan dirinya, tetapi sekadar mengandalkan keunggulan Uji, Dahlia, dan Fidah. Maka, ambisi itu justeru kemudian menjadi bumerang manakala rencana untuk menjatuhkan ketua partainya, gagal. Sutan Baginda akhirnya tak mampu berpikir waras lagi, ia jadi gila!

Penghukuman Shahnon Ahmad atas tokoh Sutan Baginda –tidak dengan kematian, melainkan dengan menjadikannya gila— menegaskan sikap pengarang untuk tidak memasukkannya sebagai pecundang sempurna, melainkan memberinya kemungkinan untuk sembuh dan kembali ke jalan yang benar. Sementara itu, posisi ketiga tokoh Uji, Dahlia, Fidah sebagai perempuan unggul jelas merupakan pembelaan Shahnon Ahmad pada peranan dan harkat perempuan yang tetap berada di atas Sutan Baginda. Dengan begitu, ketiganya tampil sebagai pemenang, superior, dan terbebas dari hegemoni Sutan Baginda. Bukankah itu berarti pula Shahnon Ahmad sesungguhnya berada dalam posisi membela perempuan? Terlepas dari pencitraan Fidah yang tidak terlalu positif dibandingkan Uji dan Dahlia, pengarang tetaplah menempatkan Fidah lebih kreatif dan superior, di samping juga dengan menimpakan sumber masalahnya pada Sutan Baginda.

Jika hendak ditempatkan dalam konteks sastera Islam, tentu saja Sutan Baginda boleh dianggap sebagai menerjemahkan ideologisasi Shahnon Ahmad yang coba menempatkan posisi perempuan tidak sebagai pecundang dengan segala inferioritasnya, melainkan sebagai sosok makhluk yang sebenarnya lebih unggul—dan karena itu lebih punya kuasa—dibandingkan laki-laki yang tampak berkuasa dalam bentuk luarannya saja. Jika kemudian muncul pertanyaan: apakah tafsir ini cenderung berlebihan mengingat Shahnon Ahmad sendiri sebagai laki-laki sebenarnya bermaksud sekadar menghukum Sutan Baginda dan tidak hendak melakukan pembelaan atas ketiga tokoh perempuan itu? Jawabannya boleh bermacam-macam. Tetapi, bagaimanapun karya sastra adalah teks yang terbuka. Maka, tafsir apa pun diizinkan, sejauh dapat dipertanggungjawabkan.
***

Untuk memperoleh bahan pembanding, eloklah kita coba menyimak novel Syumul (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999) karya Azmah Nordin; sebuah novel eksperimental dengan tokoh utama perempuan yang ditulis pengarang perempuan. Kemudian kita juga akan coba membandingkannya lagi dengan novel Namaku Teweraut (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) karya Ani Sekarningsih. Novel pemenang Hadiah Yayasan Buku Utama ini dianggap sebagai novel antropologis yang secara sangat meyakinkan menyuguhkan sebuah potret sosial masyarakat Asmat, Papua. Selepas itu, kita coba pula melihat sebuah novel karya perempuan India, Kamala Markandaya, berjudul Madu dalam Saringan, (terjemahan Mokhtar Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988).
***

Novel Syumul bercerita tentang persaingan bisnis telekomunikasi yang dihadapi perusahaan Hytech Communication (HC) dan Syumul Teknologi Tinggi (STT). Persaingan itu kemudian bermuara pada acara Seminar Commonwealth Telecommunication Council (CTC), sampai menjelang peluncuran satelit Malsat A-1. Sesungguhnya, persaingan itu muncul lebih disebabkan oleh urusan pribadi elite pegawai-pegawai di perusahaan itu. Terjadinya pemecatan pegawai, perebutan jabatan, dan sikut-menyikut di antara mereka, menyebabkan komunikasi (: manajemen) di lingkungan perusahaan berjalan secara tidak sehat. Bahkan, usaha penyingkiran pegawai yang dipandang dapat menjadi ancaman dan membahayakan kedudukan pribadi, dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan menyebarkan fitnah, sabotase dan usaha pembunuhan. Masalah itulah yang menjadi tema sentral novel ini. Jadi, pada dasarnya, novel ini pun mengangkat persoalan perebutan kekuasaan. Jika Sutan Baginda mengangkat tema persaingan kekuasaan yang terjadi dalam sebuah partai politik, maka dalam Syumul perebutan kekuasaan itu terjadi dalam lingkungan perusahaan.

Tema persaingan itu dalam Syumul ternyata hanya alat pengarang untuk mengungkapkan berbagai karakter, sebagaimana yang ditampilkan pada watak tokoh-tokohnya. Keserakahan, ambisi, arogansi, kelicikan, kemunafikan, percaya diri, rendah diri, egoistik, solidaritas, kearifan, kedewasaan, dan sifat-sifat manusia lainnya, muncul dengan latar belakang dan latar depan kepentingan masing-masing. Akibat terjadinya persaingan yang tidak wajar itu, perusahaan telekomunikasi yang harusnya menciptakan jalinan komunikasi yang baik, justeru menghadirkan keterputusan komunikasi.

Perusahaan telekomunikasi itu ternyata tidak lagi mampu menjalin komunikasi. Hubungan setiap pegawai hampir selalu dihadapkan pada tulalit (miskomunikasi). Puncak segala kekacauan itu kemudian berakhir manakala terjadi usaha pembunuhan yang hendak dilakukan dua orang pegawai perusahaan HC. Akibat peristiwa itu, elite pegawai perusahaan itu kemudian menyadari bahwa ada sesuatu yang salah yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, masing-masing pihak memperbaiki diri dan menjaga komunikasi harmonis, baik dengan sesama anggota keluarga, maupun dengan sesama rekan sekerja. Happy ending!

Di antara persoalan itu, terjadi pula perselingkuhan di antara mereka. Dalam konteks ini, masalah perselingkuhan yang lazimnya menjadi wacana kaum lelaki, justeru menjadi wacana kaum perempuan. Bahkan, dalam masalah ini, yang menjadi objek perselingkuhan itu justeru kaum laki-laki, dan bukan kaum wanita sebagaimana yang terjadi dalam banyak kasus. Jadi, jika dalam Sutan Baginda, laki-laki menempatkan perempuan sebagai objek perselingkuhan, dalam Syumul, justeru sebaliknya. Tidak hanya itu, laki-laki juga menjadi objek yang dapat dibeli perempuan, dapat dikawinceraikan. Sementara itu, dan dalam peranan sosial (di perusahaan itu), kaum lelaki betul-betul berada dalam posisi lebih rendah dari kaum perempuan.

Tampak di sini, novel Syumul coba membalikkan stigma inferioritas perempuan atas kekuasaan laki-laki. Hal tersebut ditunjukkan melalui ketidakberdayaan tokoh-tokoh laki-laki dalam berhadapan dengan tokoh-tokoh wanita. Tokoh Marius Taipun, Jeremy Kay Kay Kiew, Syed Hakim, Hadzim, dalam perusahaan HC, misalnya, berada di bawah kekuasaan Juwairiah. [4] Perselingkuhan Erika Bacia Bahrin yang menempatkan kehidupan laki-laki sebagai objek permainannya memperlihatkan bahwa wacana perselingkuhan, tidak lagi menjadi milik dan didominasi kaum laki-laki. Dalam hal ini, wanita yang lazim menjadi objek perselingkuhan laki-laki, justeru ditempatkan secara sebaliknya; laki-laki yang menjadi objek perselingkuhan wanita. Kaum wanita dalam novel ini menjadi subjek, superior, berada di atas kekuasaan dunia laki-laki.

Erika Bacia Bahrin yang telah enam kali berkahwin dan bercerai dengan lelaki-lelaki tempatan juga lelaki-lelaki dari negara Eropah, sebelum menjadi janda sekarang. Cuma perkahwinan-perkahwinannya itu agak sukar berkekalan; tempoh satu-satu perkahwinan antara dua minggu hingga enam bulan, sebelum Erika kembali ke minat asalnya, Hadzim. (hlm. 145).

Kutipan itu memperlihatkan, betapa tokoh Erika Bacia boleh sesuka hati mempermainkan lelaki. Bahwa Erika kembali ke minat asalnya, Hazdim, makin mengukuhkan peranan yang dimainkan Erika sebagai subjek perselingkuhan, dan Hadzim sebagai objeknya.

Peran superioritas kaum wanita dan inferioritas kaum lelaki, diperlihatkan pula pada ketokohan Juwairiah yang menggantikan kedudukan Farid, suaminya, di dalam keluarga. Juwairiah juga berjaya memainkan peranannya sebagai wanita di dalam kehidupan keluarga dan aktivitas kemasyarakatan. Dengan demikian, ketokohan Juwairiah menunjukkan peranan kaum wanita sesungguhnya tidak kalah dengan kaum lelaki. Perhatikan dialog Juwairiah dengan Wardah yang membincangkan Farid, suami Juwairiah, berikut ini:

“Wardah, bagiku, masalah seperti itu – jika ia benar-benar suatu kenyataan – hanya masalah remeh-temeh … barangkali,” ujar Juwairiah, lembut. Air mukanya sayu pilu.

“Lagipun, aku tak punya kekuatan untuk memulakan hidup baru. Kerana seluruh kekuatan yang ada padaku, aku curahkan untuk menaikkan tarafku di matanya – dengan membina kerjaya yang lebih meyakinkan.”

“Biarpun lelaki itu memandang rendah terhadap kerjayamu?”

“Hah, bukankah itu namanya ‘lelaki’? Ah, aku tak hairan lagi. Aku tak kisah pun. Kebanyakan lelaki sama saja.”

“Kecuali Syed Hakim?” soal Wardah, mengusik.

“Ya, kecuali dia. Tapi sebahagian besar lelaki yang lain – ego melebihi segala-galanya;

tak mahu mengaku kalah, biarpun sudah kecundang,” tingkah Juwairiah, penuh emosi. (hlm. 43–44).

Pada bagian lain dalam novel itu, persoalan dominasi laki-laki sering kali digugat dan dibalikkan. Inferioritas wanita diganti dengan superioritas. Peranan laki-laki dalam kehidupan bisnis perusahaan, kehidupan sosial, dan kehidupan keluarga, dipinggirkan, dan digantikan oleh peranan kaum perempuan. Perhatikan juga kutipan di bawah ini:

“Aku bebas, bebas … bebaaas …!” jeritku, tanpa sedar. Entah mengapa, tiba-tiba terasa tubuhku meruap panas, dadaku dikobarkan oleh nafsur berahi, seolah-olah emosiku sedang dilanda badai asmara yang membara berpanjangan; emosi yang terpenjara akibat sikap ketidakadilan ‘dia’ dan mereka yang sejenis dengan ‘dia’; emosi yang kini bangkit kembali dengan kematian’dia’. (hlm. 125)

Meski pengarang, lewat tokoh-tokoh perempuannya, bermaksud menyampaikan pesan yang menyangkut masalah jender, seperti yang diperjuangkan kaum feminis, ia tidak seekstrem gerakan feminisme radikal. Tokoh Juwairiah masih mau bertolak angsur, melakukan kompromi dan kadangkala mengalah pada suaminya, menunjukkan bahwa pengarang masih toleran menempatkan kedudukan perempuan secara proporsional. Gambaran tokoh Juwairiah yang akhirnya kembali lebih mementingkan keluarga daripada profesinya, dan menghargai suaminya sebagai suami—kepala rumah tangga, boleh jadi merupakan representasi sikap pengarangnya sebagai perempuan Melayu dalam menjaga harmoni adat, tradisi, dan budaya Melayu.
***

Ideologisasi Shahnon Ahmad dalam Sutan Baginda dan Azmah Nordin dalam Syumul, bagi saya, lebih merupakan sebuah potret gagasan kedua pengarang itu dalam coba membalikkan stigma tentang inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki. Sebagai potret gagasan, kedua pengarang itu cenderung mengangkat tokoh-tokohnya sebagai sesuatu yang berasal dari realitas yang abstrak, dan tidak berangkat dari realitas faktual yang terjadi dalam masyarakat bawah. Maka, tokoh-tokoh Uji, Dahlia, dan Fidah dalam Sutan Baginda, atau Juwairiah, Erika Bacia Bahrin, dan Wardah dalam Syumul adalah perempuan elite, kaum terpelajar, dan sesungguhnya juga tidak terlalu menghadapi problem serius dalam menghadapi kekuasaan laki-laki. [5]
***

Berbeda dengan novel Sutan Baginda dan Syumul yang menampilkan tokoh-tokohnya dari kalangan masyarakat elite dan kaum terpelajar, novel Namaku Teweraut dan Madu dalam Saring menampilkan tokoh-tokoh dari kalangan masyarakat bawah. Dalam hal ini, tampak bagaimana usaha Ani Sekarningsih dan Kamala Markandaya sebagai penulis perempuan, mengangkat harkat kaum perempuan suku Asmat, Papua yang terbelakang (Namaku Teweraut) dan perempuan desa di India yang menderita dan miskin (Madu dalam Saringan) teraniaya oleh kemiskinan dan kebodohan? Bagaimana pula nasib perempuan-perempuan itu tidak berdaya oleh legitimasi tradisi, kebudayaan, dan sistem kepercayaan patriakat? Mari kita periksa!

Tokoh Teweraut novel Namaku Teweraut adalah sosok perempuan suku Asmat, Papua yang ingin maju, bertekad menjadi perempuan mandiri dan dapat membantu saudara-saudaranya, khasnya sesama kaum perempuan, terlepas dari kebodohan dan kemiskinan. Tetapi, ia dikepung dan terpenjara oleh dunia laki-laki yang memandangnya rendah. Kebudayaan melegitimasinya dengan menempatkan kaum perempuan sekadar mengurus rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak. Demikian juga, sistem kepercayaan sukunya (Asmat) selalu menuding dan beranggapan, bahwa kaum perempuan sebagai sumber penyebab malapetaka. Maka, meskipun Teweraut bisa bersekolah karena anak perempuan Kepala Suku, ketika seorang pendeta menawarkan agama baru (Kristen), ia tetap berada dalam posisi teraniaya akibat kepungan kebudayaan dan kepercayaan yang berpihak pada kepentingan laki-laki. Segala ucapan Kepala Suku adalah Sabda Tuhan, termasuk dalam soal perjodohan. Teweraut yang masih perawan itu, harus patuh pada keputusan Kepala Suku, nDiwi, ayahnya sendiri, yang akan menjodohkannya dengan Akatpits, Kepala Dusun, meskipun kepala dusun itu sudah mempunyai lebih dari lima isteri. Perhatikan kutipan berikut:

“Kamu cuma perempuan,” suara nDiwi terdengar menggelegar sekarang … “Tidak perlu banyak rencana. Sejak awal leluhur kita telah menggariskan, pekerjaan perempuan itu cukup untuk mengayomi keluarga, melahirkan anak, merawat dan mengasuhnya, dan mencari makanan yang bagus .…”

nDiwi tak dapat digoyahkan. Ia merasa tidak perlu menanggapi keberatanku. Keputusannya berlaku sebagai aturan yang tetap. Sebagaimana kebiasaan yang telah berlaku lama, kata-katanya adalah sabda yang paling benar dan harus dipatuhi. (hlm. 64)

Teweraut akhirnya menjadi isteri ketujuh kepala dusun dan harus mengabdi sepenuhnya kepada suami. Untungnya, ia punya keahlian menari yang memungkinkannya menjadi duta budaya dan berkesempatan mengetahui dunia luar. Teweraut memang kemudian mengikuti misi kebudayaan ke Amerika, tetapi sebagai isteri, ia tetap berada di bawah penguasaan suami (: laki-laki). Setelah suaminya meninggal, penguasaan itu digantikan oleh adik suaminya. Begitulah, Teweraut sebagai representasi perempuan Papua, menjalani kehidupannya dalam keadaan serba tak berdaya. Namaku Teweraut boleh jadi mewakili kondisi nasib perempuan (Indonesia) yang berada di pelosok desa pedalaman. [6] Novel ini cenderung tidak menyerupai novel Indonesia pada umumnya yang ditulis pengarang perempuan, yaitu menampilkan kehidupan wanita terpelajar, kalangan elite, dan hidup dalam dunia modern.
***

Gambaran perempuan yang termarjinalisasikan akibat kepungan adat-istiadat, budaya, dan agama lebih mengenaskan ketika kita mencermati novel Madu dalam Saringan (Nectar in a Sieve) karya Kamala Markandaya. Sebuah potret kepedihan perempuan India yang diterjang kemiskinan dan kebodohan. Tokoh utama novel itu, Rusmani, isteri Nathan, adalah tipikal perempuan India yang menjadi sudra—rakyat jelata—lantaran perkawinan dengan Nathan, lelaki sudra. Meskipun demikian, kesadaran sebagai isteri seorang petani yang jujur dan miskin, membentuk kepribadiannya pantang berkeluh-kesah. Segala harapan harus ditumbuhkan. Ia berusaha tidak kenal putus asa, tak mau menyerah, meskipun hati kecilnya mengatakan lain. Maka, ketika Rukmani belum juga melahirkan bayi laki-laki, ia harus bersabar sambil berdoa agar dikaruniai anak laki-laki. [7]

Dengan segala kesabarannya, di antara kemiskinan dan kelaparan, Rukmani tetap mengurus kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Melayani suami dan membesarkan anak-anaknya. Ia harus pandai berhemat dan menyisihkan hasil jerih-payahnya untuk hari depan. Rukmani hadir sebagai sosok isteri yang dapat melengkapi segala kekurangan suami. “Tempat seorang isteri mestilah di sisi suaminya,” (hlm. 168), begitulah sikap dan pandangan Rukmani. Maka, ia tampil sebagai pelengkap, pendorong, bahkan juga pembela utama suami. Rukmani bagai wanita besi, belahan hati suami, benteng bagi keluarga, pelindung bagi anak-anaknya. Bersama Nathan, Rukmani hidup dalam serangkaian penderitaan. Nathan akhirnya mati ketika suami-isteri itu menggelandang di kota. Rukmani kembali ke kampung halamannya sambil membawa seorang anak angkat.

Meskipun pada akhirnya Rukmani tidak jatuh sebagai pecundang, kita masih dapat mencermati betapa norma sosial (: dominasi laki-laki), agama, dan kebudayaan dibangun sedemikian rupa untuk memposisikan perempuan sebagai makhluk yang paling teraniaya. [8] Di balik gambaran yang sangat mengenaskan tentang kondisi perempuan—sebagaimana tampak dalam novel Namaku Teweraut dan Madu dalam Saringan—tersirat ada semacam penegasan, bahwa perempuan dalam banyak hal lebih tahan banting, lebih tabah, sabar, ulet, dan matang ketika menghadapi persoalan hidup yang begitu gawat.
***

Dari perbincangan sekilas tentang keempat novel tadi (Sutan Baginda, Syumul, Namaku Teweraut, dan Madu dalam Saringan), kita dapat mencermati, bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam Sutan Baginda (Uji, Dahlia, dan Fidah) menunjukkan semangat dan keunggulan yang sama dengan tokoh-tokoh perempuan yang gambarkan oleh para pengarang perempuan. Eksploitasi dan kekuasaan suami (laki-laki), meskipun mendapat legitimasi tradisi kebudayaan dan agama, ternyata tidak membuat para perempuan itu menjadi pecundang. Bahkan sebaliknya, para suami itulah yang menjadi pecundang: Sutan Baginda akhirnya gila; Farid, suami Juwairiah tidak mempunyai kuasa apa-apa, karena lumpuh, duduk di kursi roda dan segala keperluan hidup sehari-hari bergantung pada usaha isterinya, Juwairiah; Akatpits, suami Teweraut akhirnya mati; begitu juga Nathan, suami Rukmani, mati karena kelaparan.

Sesungguhnya kita (: pembaca) masih dapat menemukan citra perempuan dalam banyak novel lain dari khazanah sastra berbagai negara. Dari sana kecenderungan umum yang terungkap mengenai posisi perempuan dalam hubungannya dengan kekuasaan laki-laki adalah adanya perlakuan yang tidak adil yang ditimpakan kepada kaum perempuan atas nama tradisi, budaya, dan agama yang patriakat dan selalu berpihak pada laki-laki.

Tokoh-tokoh perempuan dalam Sutan Baginda, meskipun tidak secara eksplisit digambarkan mengalami keteraniayaan, tetap saja memperoleh perlakuan tidak adil sebagaimana yang diperlihatkan Sutan Baginda. Tokoh-tokoh perempuan dalam Syumul memang tidak mengalami penganiayaan, tetapi gambaran mengenai superioritas mereka lebih merupakan semangat pengarangnya melakukan perlawanan atas dominasi laki-laki. Sementara keteraniayaan tokoh-tokoh perempuan dalam Namaku Teweraut dan Madu dalam Saringan memberi penyadaran kepada kita, bahwa selama ini penindasan dan penganiayaan perempuan terjadi selalu atas nama martabat keluarga, norma sosial, keluhuran budaya, dan doktrin agama. Begitu banyak manipulasi digunakan sebagai kedok untuk menutupi penganiayaan dan penindasan terhadap kaum perempuan. [9] Tokoh Sutan Baginda dalam karya Shahnon Ahmad itu adalah salah satu contoh manipulasi kekuasaan yang berkedok atas nama tugas suami!

Seoul/msm/27/4/2011

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kassim dan Shahnon Ahmad. 1987. Polemik Sastera Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ahmad, Shahnon. 1989. Sutan Baginda. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Bradbury, Malcolm. 1972. The Social Context of Modern English Literature. London: Compton Printing Ltd.

Clement, Rober J. 1978. Comparative Literature as Academic Discipline. New York: The Modern Association of Amerika.

Deraman, A. Aziz. 1992. Tamadun Melayu dan Pembinaan Bangsa Malaysia. Kuala Lumpur: Arena Ilmu.

Gapena, 1982. Kesusasteraan Melayu dan Islam. Kuala Lumpur: Sarjana Enterprise.

Hamdani, Hamzah (Ed.). 1993. Novel-Novel Malaysia dalam Kritikan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hamid, Ismail. 1988. Masyarakat dan Budaya Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Harpuranti, Rindah. 1989. Arus Kesadaran dalam Novel-novel Karya Shahnon Ahmad. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Skripsi Srujana).

Hussein, Ismail, et al. 1995. Tamadun Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Jefferson, Ann & David Robey (Ed.). 1982. Modern Literary Theory. London: Batsford.

Mahayana, Maman S. 1995. Kesusastraan Malaysia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya.

Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.

Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.

Markandaya, Kamala. 1988. Madu dalam Saringan (Nectar in a Sieve). Terjemahan Mokhtar Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Nordin, Azmah. 1999. Syumul. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Remak, Henry H. 1971. “Comparative Literature,” Newton P. Stalltnech and Horst Prenz (Ed.), Contemporarry Literature: Methode & Perspective. Carbondale & Edwardsville.

Ridhwan, Anwar (ed.). Di Sekitar Pemikiran Kesusasteraan Malaysia 1956-1972. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1981.

Sekarningsih, Ani. 2000. Namaku Teweraut. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Storey, Jhon (Ed.). 1996. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. New York: Harvester Wheatsheaf.

Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary Macro-theory. Lisse: Peter de Rider Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

* Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai Pensyarah Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.

[1] Mengenai sikap kepengarangan Shahnon Ahmad dalam hubungannya dengan ideologi Islam, periksa polemiknya dengan Kassim Ahmad dalam Polemik Sastera Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987). Lihat juga hasil pertembungan Kesusasteraan Melayu dan Islam dalam Gapena, Kesusasteraan Melayu dan Islam (Kuala Lumpur: Sarjana Enterprise, 1982).

[2] Meski tidak sedikit yang menganggap bahwa novel Sutan Baginda termasuk sebagai novel pornografi, bagi saya, novel itu tidaklah demikian. Dalam hal ini, Shahnon Ahmad justeru memperlihatkan kualitas kepengarangannya dengan menyajikan unsur seks secara metaforis. Dengan demikian, novel itu sesungguhnya dibangun dengan kekuatan metafora. Periksa Maman S Mahayana, “Sasterawan Negara Shahnon Ahmad dan Novel Terbarunya, Sutan Baginda,” Kesusasteraan Malaysia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 87—115.

[3] Hadis ini begitu terkenal dan ramai dikutip. Saya kutip lagi: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak aku hormati dengan baik?”
Nabi bersabda, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab lagi, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya kembali, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.”

[4] Bandingkan dengan gambaran tokoh Sutan Baginda yang masih memperlihatkan kekuasaannya yang lain sehubungan dengan peranannya sebagai suami Uji, Dahlia, dan Fidah.

[5] Dalam novel Azmah Nordin yang berjudul Pantai Kasih (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1994), problem jender juga dihadapi tokoh-tokoh yang berasal dari golongan elite. Novel ini bercerita tentang kehidupan di rumah sakit (Pusat Rawatan Pantai Kasih). Melalui kisahan dokter Raiha, terungkaplah berbagai kebusukan yang terjadi di rumah sakit itu. Termasuk kebusukan suami Raiha, dokter Wang dan mantan suami Raiha, dokter Sadiz. Dalam novel ini, Azmah Nordin masih menempatkan posisi perempuan sejajar dengan posisi laki-laki. Bahkan juga dalam beberapa peristiwa digambarkan bahwa perempuan harus menghormati peranan yang dimainkan laki-laki.

[6] Gambaran keteraniayaan perempuan desa akibat kepungan kebodohan dan kemiskinan, kekuasaan dan dominasi laki-laki, dan sistem kepercayaan, diangkat dengan sangat baik oleh Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (Jakarta: Gramedia, 2003: Cetakan Pertama 1982). Sejauh pengamatan, inilah novel Indonesia yang mengungkapkan keteraniayaan perempuan desa.

[7] Dalam keyakinan beberapa sukubangsa, seperti misalnya, suku Batak, Cina, atau Papua, melahirkan bayi perempuan dianggap sebagai musibah—malapetaka. Isteri yang baik harus dapat melahirkan bayi laki-laki. Jelas di sini bahwa diskriminasi pada anak perempuan sudah terjadi sejak bayi. Dalam novel ini bahkan diceritakan, Ira, putri Rukmani menikah pada usia 14 tahun (Rukmani sendiri kawin dalam usia 12 tahun). Ketika usia perkawinan mencapai lima tahun dan Ira belum juga melahirkan anak, suaminya kemudian mengembalikan Ira kepada orang tuanya dengan alasan, bahwa putrinya itu mandul. Belakangan, ternyata ia bisa mempunyai anak (hlm. 76—78).

[8] Bandingkan novel karya Kamala Markandaya ini dengan novel Bumi yang Subur karya Pearl S. Buck. Dalam novel itu, Buck menggambarkan tokoh perempuan Cina (Olan) –meski dengan segala keteraniayaannya—justeru tampil sebagai motivator, pendorong yang kelak membawa suaminya (Wang Lung) menjadi tuan tanah yang berpengaruh. Bahkan, Wang Lung kemudian membangun sebuah dinasti Wang yang menguasai sejumlah wilayah di Tiongkok.

[9] Sebagai catatan tambahan, berikut ini disampaikan sejumlah novel yang menggambarkan keteraniayaan kaum perempuan atas nama tradisi, budaya, dan doktrin agama: Tarian Bumi (Oka Rusmini, 2000, Hindu-Bali), Geni Jora (Abidah el Khalieqy, 2004, Islam—Jawa), Pohon Tanpa Akar (Syed Waliullah, Islam, Bangladesh), Istri untuk Putraku (Ali Ghalem, Islam, Aljazair), Perempuan di Titik Nol (Nawal el-Saadawi, Islam, Mesir), dan tentu masih banyak lagi novel lainnya.

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).