Tanjungpinang dalam Bingkai Sastra Indonesia

Judul : Dermaga Sastra Indonesia
Penulis : Jamal D. Rahman,dkk
Penerbit: Komodo Books
Tahun :2011
Tebal:xxx+298
Peresensi: Abd. Rahman *
http://netsains.com/

Pertama kali membaca buku ini, penulis merasa terkejut karena kaum intelektual dari tanjungpinang dan Kepulauan Riau secara umum cukup signifikan mewarnai sastra Melayu dan Nusantara pada umumnya. Sejarah sastra di daerah ini berkembang bukan hanya di tangan Sutardji Calzoum Bachri, tetapi jauh sebelumnya sastra telah berkembang.

Buku ini secara obyektif memaparkan sejarah kesusastraan dalam rentetan perkembangan sastra sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-21,mulai dari Raja Ahmad yang dikenal ‘Sang Pembuka Jalan’ hingga Suryatati A Manan. Secara umum,buku ini membagi sejarah kepenyairan Tanjungpinang ke dalam dua babak atau gelombang.

Babak pertama adalah priode antara tahun 1779 [raja Ahmad] hingga 1924 [Aisyah Sulaima]. Sedang gelombang kedua kepenyairan di Tanjungpinang muncul pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,dimulai dari Hasan Junus hingga Suryatati A Manan.

Penyair sekaligus intelektual yang mampu mewarnai gelombang pertama adalah raja Haji Ali,Haji Ibrahim, Raja Daud, Raja Hasan, Khalid Hitam dan Abu Muhammad Adnan. Sementara penyair modern gelombang kedua yang mampu menghidupkan sastra di bumi Tanjungpinang setelah beberapa tahun mati-terhenti adalah Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah,BM Syamsuddin, Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim,Hoesnizar Hood,Bhinneka Surya Sam dan Junewal Muchtar.

Sastra yang berkembang di Tanjungpinang tidak saja karena daerah ini strategis untuk pertumbuhan kreativitas dan aktivitas intelektual. Tetapi kekuasaan sengaja membesarkan mereka,kerajaan Riau-Lingga. Banyak raja dan anak-cucunya juga menjadi penyair. Dalam konteks ini, kerajaan bersifat akomodatif dan memberi kebebasan untuk berekspresi. Bahkan, kerajaan juga mensupport tradisi intelektual dengan memberi fasilitas percetakan. Salah satu percetakan itu adalah Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba’at al-Riauwiyah di Penyengat [hal.66].

Raja Ali Haji misanya,dia memberi support luar biasa bagi pembentukan semangat kepengarangan. Dengan pena, dia mampu menghentakkan tradisi. Karyanya yang sangat terkenal adalah Gurindam Duabelas.Raja Ali Haji pernah mengatakan,”segala pekerjaan pedang itu boleh diperbuat dengan qalam [pena],adapun pekerjaan qalam itu tiada boleh diperbuat oleh pedang… dan, berapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores qalam [pena] jadi tersarung.”[hal 60]

Raja Haji Ali berkontribusi positif bagi pembentukan bahasa Indonesia. Karena jasa-jasanya, dia diberi gelar Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa Indonesia. Raja Haji Ali berjuang dengan menajamkan pena. Sedang kakeknya Raja Haji fi Sabilillah berjuang dengan fisik melawan penjajahan belanda. Karena kontribusi positif Raja Haji Ali dalam meneguhkan nilai-nilai kebangsaan,Abdurrahman Wahid pernah berkata,”tanpa jasa beliau itu,kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini.”

Buku ini mengulas sejarah masing-masing penulis,baik gelombang kepenyairan tahap pertama ataupun gelombang kedua. Dan tentu saja sejarah dan sepak terjang mereka layak diketahui oleh publik agar dapat menginspirasi banyak orang. Sastra selalu hidup menyejarah dan merespons sejarah. Dalam konteks ini, buku dan sejarah mereka pantas dipelajari, di samping karya sastra yang mereka hasilkan.
_______________
*) Abd. Rahman, Penikmat Sastra dan aktif di Madjid Politika
Dijumput dari: http://netsains.com/2011/08/tanjungpinang-dalam-bingkai-sastra-indonesia/