Thukul, Engkau di Mana?

Wisnu Kisawa,Saroni Asikin
suaramerdeka.com

//Ana wiji ilang, katerak zaman/ana wiji ilang, ketendang kahanan/ilang wiji, thukul/ wiji ilang, thukul.//

TEMBANG itu mengakhiri film bertajuk Wiji Thukul Penyair dari Kampung Kalangan Solo karya Tinuk R Yampolsky. Pemutaran film tersebut menjadi bagian acara yang diselenggarakan Forum Sastra Surakarta bekerja sama dengan TBS Solo. Bersama pembacaan puisi karya Wiji Thukul dan diskusi mengenainya, seolah-olah sosok penyair yang kini masih “raib” itu hadir di Teater Arena TBS Solo, Minggu (15/9) malam.

Malam itu penyair Sosiawan Leak membuka dengan pembacaan tiga sajak karya Wiji Thukul. Penonton menyimak “Kenangan Anak-Anak Seragam”, “Ibunda”, dan “Momok Geyong” yang dibaca Leak dalam keheningan. Begitu selesai, figur Wiji Thukul benar-benar hadir di panggung. Sayang, dia hadir hanya lewat garapan Tinuk.

Pada film itu, sang tokoh utama muncul dalam sosok yang kurus. Dengan sikap khas dan suara cadelnya, dia membaca dengan lantang beberapa buah sajaknya, antara lain “Help Me” dan “Di Bawah Kedalaman Selimut Kedamaian Palsu”.

Tentang Thukul

Maka, cerita kegetiran hidup Wiji Thukul, baik sebagai buruh sebuah pabrik maupun sebagai penyair, tersaji dalam layar. Dia lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen Solo yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh, dari keluarga tukang becak pula. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, dia menamatkan SMP (1979) lalu masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo Jurusan Tari tetapi tidak tamat (1982).

Selanjutnya, dia berjualan koran, sebelum kemudian diajak tetangganya bekerja di sebuah perusahaan meubel sebagai tukang pelitur. Itulah saat-saat Wiji mulai dikenal sebagai penyair pelo (cadel), menyusul seringnya dia mendeklamasikan puisinya untuk teman-teman sekerja.

Dia mulai menulis puisi sejak SD, sedangkan ketika SMP tertarik pada dunia teater. Lewat teman sekolahnya, dia berhasil menjadi anggota Kelompok Teater Jagat (Jagalan Tengah). Puisi-puisinya dimuat di berbagai media cetak dalam dan luar negeri.

Dua kumpulan puisinya Puisi Pelo serta Darman dan Lain-lain, telah diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta. Pada 1989, ia diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di Aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Lalu pada 1991, dia tampil mengamen puisi di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan oleh Erasmus Huis di Pusat Kebudayaan Belanda Jakarta.

Pada 1991 pula Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Belanda. Bersama WS Rendra, penyair cedal itu menerima award pertama sejak yayasan tersebut didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda WF Wertheim.

Sejak peristiwa 27 Juli 1996 yang menghebohkan, Wiji Thukul menjadi salah satu korban “asap” politik Orde Baru. Hingga sekarang, nasibnya belum juga diketahui: masih hidup atau sudah mati?

Penyair malang itu, memang tidak hadir dalam arti nyata. Dalam diskusi yang menampilkan Eko Tunas sebagai pembicara dan moderator MH Zaelani Tammaka, sosok kepenyairan dan pribadinya dibedah.

17 September 2002