Untung, Seorang Penculik atau Boneka Komunis?

Julius Pour *
Kompas, 19 Sep 2008

SOSOK utama Gerakan 30 September adalah Untung. Namanya singkat, satu kata, seperti kebiasaan tokoh Partai Komunis Indonesia menyebut diri; Nyoto, Nyono, Pono. Sebagai sosok utama sekaligus pusat peristiwa, Komandan Dewan Revolusi tersebut akhirnya diringkus di kebun tebu sekitar daerah Tegal, Jawa Tengah.

Sesudah sepuluh hari berkelana seusai gagalnya aksi perebutan kekuasaan yang dia pimpin, Untung mencoba menyelamatkan diri ke Jawa Tengah. Dengan memakai pakaian sipil dia meninggalkan Jakarta, naik bus malam. Menjelang masuk Tegal, bus berhenti karena lewat pos pemeriksaan. Mungkin merasa akan dikenali, Untung malahan turun dan berlari.

Sebuah langkah fatal sekaligus memancing perhatian. Untung segera dikejar, diringkus, dan kemudian diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sesudah melewati persidangan secara maraton, pada Maret 1966 Untung dinyatakan bersalah, dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi oleh regu tembak di daerah Cimahi, Jawa Barat.

Pertanyaannya, apakah dia seorang ksatria yang ingin menyelamatkan Bung Karno dari kudeta Dewan Jenderal, sebagaimana alasan yang dia kemukakan ketika membentuk Dewan Revolusi? Apakah Untung seorang pengkhianat yang menculik sekaligus membunuh atasannya? Atau, sekadar boneka yang dimainkan Biro Khusus PKI pimpinan DN Aidit?

Senang main bola

”Nama aslinya Kusman. Semasa remaja senang main bola, anggota KVC (Keparen Voetball Club) di Kampung Keparen, Kelurahan Jayengan, Solo. Nama ayah angkatnya Sjamsuri, seorang buruh batik. Dia memanggil saya Gus Hardi sebab saya anak juragan tempat Sjamsuri bekerja.”

Sesudah sekian lama membisu, akhirnya Soehardi bersedia membuka misteri Untung bin Sjamsuri, Letnan Kolonel Infantri NRP 11284 dengan jabatan resmi terakhir Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, kesatuan khusus pengawal Presiden Soekarno.

Untung baru setahun bertugas di Tjakrabirawa. Sebelumnya, dia menjabat Dan Yon 454/Para Kodam Diponegoro, pasukan yang populer dengan sebutan Banteng Raider. Kepindahannya ke Jakarta tanpa sengaja karena Bung Karno semula mengharapkan Mayor (Inf) Benny Moerdani, Dan Yon II RPKAD, untuk menjadi Tjakrabirawa. Dalam pandangan pribadi Bung Karno, Benny sosok perwira ideal. Penerima Bintang Sakti, tanda kehormatan tertinggi untuk anggota TNI, dan baru saja berhasil melerai perkelahian massal ketika RPKAD menyerbu asrama Kwini di Senen, asrama Yon II Tjakrabirawa eks KKO (kini Marinir) Angkatan Laut.

Benny menolak tawaran Bung Karno sehingga Untung yang kemudian diperintahkan ke Tjakrabirawa untuk menggantikan Benny. Meski Markas Banteng Raider di Semarang, pasukan tersebut slagorde Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Buku sejarah Kostrad melukiskan, ”Kostrad ditugaskan Angkatan Darat menyiapkan pasukan dalam rangka upacara Hari ABRI 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan Yon 530/Para dari Jawa Timur, Yon 454/Para dari Jawa Tengah, Yon 328/Para dari Jawa Barat, Kesatuan Panser dan Tank dari Bandung serta Artileri dari Cimahi.”

Menjelang tanggal 30 September, Untung bertemu kembali dengan bekas anak buahnya. Maka pada Jumat pagi dia menempatkan Banteng Raider bersama Yon 530/Para di Lapangan Merdeka depan Istana, dengan dalih menjaga Presiden dari ancaman kudeta Dewan Jenderal. Pasukan Kostrad lainnya, Yon 328/Para berikut Kesatuan Panser, tank serta artileri tidak diajak karena Untung tidak punya akses ke sana.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Untung memimpin Gerakan 30 September menculik delapan jenderal Angkatan Darat, namun pada saat terakhir nama Brigjen Sukendro dicoret. Tuduhannya, tujuh jenderal tadi anggota Dewan Jenderal yang akan menggulingkan Bung Karno. Dari tujuh sasaran, enam bisa diculik. Namun sasaran utama, Jenderal AH Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, justru lolos. Dalam kegelapan malam serta tergesa-gesa, para penculik ternyata keliru sasaran. Mereka malah meringkus Letnan I Pierre Tendean, ajudan Nasution.

Tradisi menculik

Melakukan penculikan tentu saja bukan tindakan seorang ksatria, sosok ideal dalam pandangan prajurit TNI. Namun, menculik lawan politik lewat perintah resmi atau tidak, sejak perang kemerdekaan sampai masa pemerintahan Soeharto ternyata bukan hal baru. Kasus menonjol antara lain penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir di Solo (1947) serta penculikan para aktivis demokrasi di Jakarta (1988). Maka ancaman yang dikemukakan Presiden Soeharto untuk menculik anggota MPR demi menyelamatkan UUD 1945 bukan sekadar wacana kosong. Aksi penculikan terbukti bukan sesuatu hal yang tabu, sudah sering terjadi.

Penculikan yang dilakukan Untung berlangsung dini hari tanggal 1 Oktober. Maka Bung Karno memberi nama Gestok, Gerakan Satu Oktober. Tetapi jangan lupa, Untung sendiri menyebutnya Gerakan 30 September. Sedangkan Pusat Penerangan ABRI sengaja pakai istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Meski singkatan semacam ini bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia, tetap dilakukan dengan tujuan agar masyarakat terbawa ingatannya kepada kekejaman Gestapo.

Menurut Untung, sesudah anggota Dewan Jenderal ditangkap, akan langsung dihadapkan kepada Bung Karno. ”Terserah Bapak Presiden, apa hukuman yang akan dijatuhkan.” Skenario ini berantakan karena tiga sasaran telanjur tertembak dan kendali operasi ternyata tidak sepenuhnya di tangan Untung. Semua sasaran akhirnya ditembak. Siapa memberi perintah?

”Bukan saya,” jawab Untung tegas dalam sidang Mahmilub.

Perintah tembak memang bukan datang dari Untung. Perintahnya datang dari warga sipil. Namanya Kamaruzaman, biasa dipanggil Sam, anggota Biro Khusus PKI. Eksekusi tersebut menyebabkan skenario awal lepas kendali. Menyambar ke segala arah dengan ekses berikut derita, yang sampai sekarang belum terpulihkan. Memicu aksi balas dendam berupa pembunuhan massal yang dalam taksiran moderat menghabiskan 500.000 nyawa pengikut komunis atau mereka yang begitu saja dituduh komunis.

Sesama Tjakrabirawa

Semasa peristiwa G30S meletus, Soehardi menjabat perwira provost Tjakrabirawa. Ketika tahun 1966 pasukan tersebut dibubarkan dan tugas mengawal Presiden digantikan Yon POMAD/Para, Soehardi tidak ikut dibersihkan karena memang tidak terlibat. ”Untung menjabat Dan Yon I Tjakrabirawa. Tetapi, hanya satu kompi anak buahnya ikut ke Lubang Buaya.” Anggota Tjakrabirawa lain sama sekali tidak tahu ketika sebagian kecil rekannya meninggalkan asrama di Jalan Tanah Abang II (kini Markas Paspampres), mengikuti petualangan Untung.

Pertemuan kembali antara Soehardi dan Untung berlangsung awal tahun 1965 di tangga Istana Merdeka. ”Lho, Gus Hardi inggih tugas wonten mriki? (Lho, Gus Hardi juga tugas di sini?).”

Menurut Soehardi, ”Saya jawab sambil menghormat, siap Mayor. Saya lebih dulu menghormat karena saya hanya kapten sedangkan dia mayor. Meski saya bekas juragannya dan sudah bertugas di Istana sejak tahun 1954, sementara Untung orang baru, pindahan dari Semarang.”

Pengalaman semasa kecil, jarak sosial, dan hal-hal lain menyebabkan ketika di Jakarta antara Soehardi dan Untung tidak akrab. ”Sebagai pejabat baru di Tjakrabirawa, dia tidak menonjol, tinggal di Jalan Cidurian No 9. Kami tak pernah kontak sebab sejak kecil Untung pendiam.”

Kusman dilahirkan di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, pada 3 Juli 1926. Ayah kandungnya bernama Abdullah, bekerja di toko bahan batik milik warga keturunan Arab di Pasar Kliwon, Solo. Sejak kecil dia diambil anak oleh Sjamsuri, pamannya, buruh batik di rumah orangtua Soehardi. Masuk sekolah dasar di Ketelan, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang. Pelajaran belum selesai, Jepang masuk dan Kusman mendaftar jadi Heiho. Sesudah proklamasi, dia menjadi anggota TKR, embrio TNI.

Meloloskan diri ke Madiun

Semasa perang kemerdekaan Kusman betugas di daerah Wonogiri, sebagai anggota Batalyon Sudigdo. Ketika September 1948 meletus Peristiwa Madiun, Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto memperoleh informasi, batalyon tersebut disusupi komunis, ”Pak Gatot memerintahkan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Komandan Brigade V, membersihkan.”

Soehardi melukiskan, ”Slamet Rijadi menggeser Mayor Soedigdo ke Cepogo, lereng Gunung Merbabu. Tetapi Kusman, pada waktu itu sudah sersan mayor, meloloskan diri ke Madiun, ikut memberontak.”

Mengapa keterlibatan dalam peristiwa Madiun tidak diselesaikan?

”Tanggal 19 Desember 1948 Belanda tiba-tiba melancarkan Agresi Militer Kedua. Peristiwa Madiun tidak tuntas. Hanya sebelas tokoh pemberontak, Amir Syariffudin dan kawan-kawannya, pada tengah malam masih sempat dijatuhi hukuman tembak di Ngalihan, Karanganyar, Solo. Sisanya terpaksa diputihkan karena semua potensi segera bergerak untuk melawan serbuan Belanda.”

Sesudah peristiwa Madiun, Kusman berganti nama jadi Untung, bergabung kembali di TNI, bertugas di Divisi Diponegoro. Tahun 1958, dalam operasi penumpasan PRRI, Letnan I Untung menjabat komandan kompi, bertugas di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat.

Tanggal 14 Agustus 1962, Mayor Untung selaku Dan Yon 454/Para Banteng Raider diterjunkan di daerah Sorong, Irian Barat.

Tanggal 25 Agustus 1962, Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah gencatan senjata karena di New York, AS, sudah ditandatangani persetujuan damai antara Indonesia dan Belanda. Selama sebelas hari bertugas di Irian, Untung belum sempat bertemu, apalagi bertempur, melawan Belanda.

Kapan kenal Soeharto?

Menurut Soehardi, ”Sesudah kembali dari Makassar, selesai menumpas pemberontakan Andi Azis, Pak Harto menjabat Dan Rem Salatiga, Dan Rem Solo, kemudian Panglima Diponegoro. Sesudah itu masuk Seskoad di Bandung, sebelum nantinya ditunjuk sebagai Panglima Mandala. Untung dan Soeharto kenalan lama. Akrab atau tidak, hanya mereka berdua bisa menjawab. Tetapi yang jelas, ketika akhir tahun 1964 Untung melangsungkan pernikahan di Kebumen, Pak Harto rela naik jip dari Jakarta untuk njagong.”

Dari luar rumah azan magrib terdengar jernih. Soehardi minta diri untuk shalat, sesudah selesai saya langsung menemaninya berbuka puasa. Kisah sekitar Letnan Kolonel (Inf) Untung bin Sjamsuri untuk sementara terpaksa harus berhenti dulu.
***

*) Julius Pour, Wartawan dan Penulis Sejarah.