100 TAHUN Sutan Takdir Alisjahbana

Hikmat Darmawan
Majalah Madina No. 3, Tahun 1, Maret 2008

Sutan Takdir Alisjahbana punya sumbangan tak langsung dan langsung pada pemikiran Islam di Indonesia. Seumur hidup tak mau diam, menggugat, mencari ‘yang jelas’.

Pada siang seusai hujan itu, di Desa Tugu, Cisarua, Dian Sastro membacakan puisi Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berjudul Aku dan Tuhanku. Rumput basah dan langit mendung, dan suara muda Dian membacakan pernyataan-pernyataan filosofis STA.

Sedikit ironis, sebetulnya. Kakek Dian, sastrawan Subagio Sastrowardoyo (almarhum) sempat merasa “muak” mendengar ceramah STA di Taman Ismail Marzuki pada 1982. Pangkal soal, STA mencemooh kecenderungan artistik terbaru saat itu. Subagio jengkel karena menurutnya, pemahaman renaisans STA yang jadi ukuran mutlak STA menilai karya-karya saat itu sungguh kabur, dan kasip. Dian (26 tahun—ia lahir persis di tahun kakeknya merasa “muak” pada ceramah STA) membaca puisi dan menabur bunga di makam STA, dalam acara 100 tahun STA, pada Jumat 14 Februari 2008. (Walau persisnya, kelahiran STA jatuh pada 11 Februari 1908, di Natal, Sumatra Utara.)

Pada nisan STA, di halaman villa yang jadi tempat favoritnya menghabiskan waktu ketika tua, tertulis: Perjuangan semata lautan segara, perjuangan semata alam semesta; Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai; Hanya dalam berjuang berkobar, Engkau Tuhanku di dalam dada.

Putri STA dari pernikahan ketiganya dengan Margaret Axer (seorang doktor filologi asal Jerman), Tamalia Alisjahbana sesudah acara tabur bunga itu menerangkan bahwa puisi itu gambaran terbaik tentang ayahnya. STA, kata Tamalia, adalah seorang yang selalu gelisah dan tak betah. “Betul kata syair di nisan itu,” ujar Tamalia, “ayah saya barulah merasa tentram justru ketika sedang berjuang.” Mungkin karena ia terlahir dengan tangan yang cacat, kata Tamalia, maka ayahnya merasa harus melawan banyak hal serta menjadi pengejar keunggulan.

Dalam puisi itu, seperti dalam puisi yang dibacakan Dian, hubungan STA dan Tuhan cukup karib rupanya. Memang, dalam kiprahnya, STA tak terlalu menampakkan hubungan ini. Lebih-lebih lagi, hubungan STA dengan Islam yang seolah terbenam belaka dalam sejarah hidupnya yang selama ini banyak ditulis orang.

STA yang Modernis

Apakah STA seorang modernis Islam? Pertanyaan itu bolak-balik diajukan oleh Deliar Noer dalam esainya pada kumpulan esai menyambut 70 tahun STA, Spectrum (1978), yang berjudul Sutan Takdir dan Islam. STA memang lebih menampakkan sosok pejuang kebudayaan Indonesia. Ia adalah raksasa dalam sejarah sastra dan bahasa Indonesia, tapi orang sering lupa (tersebab membaca gagasan-gagasan STA sendiri) bahwa ia datang dari keluarga berlatar Islam yang kuat.

Kakeknya adalah seorang ulama besar, yang makamnya semasa kecil STA masih sering diziarahi orang. Ayah STA, Raden Alisjahbana Sutan Arbi, juga seorang ulama aktif. Di samping ulama, ayahnya juga adalah seorang penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Dalam sebuah tulisannya, STA mengenang perceraian spiritualnya dengan sang ayah yang berasal dari kubu tradisionalis.

STA menyebut bahwa sebagai orang yang masih muda dan penuh takjub pada ilmu-ilmu yang ia dapat dari sekolah, penuh semangat ia bercerita “pengetahuan baru” itu di rumahnya. Ia tak menyadari, banyak hal dari “pengetahuan baru” itu melukai ayahnya. Suatu hari, saat STA berusia 23, ia bicara bebas dengan sang ayah, tentang berbagai teori dari para filsuf Barat abad ke-19 mengenai soal evolusi serta soal kebangkitan dan kejatuhan berbagai agama besar. Kata-kata penuh semangat yang mengalir deras dari STA langsung menusuk hati ayahnya. Menurut STA, ayahnya paham belaka, bahwa ayahnya tak akan mampu menghapus ide-ide itu dari benak STA. Ayahnya menangis, dan menyatakan bahwa ia dan STA telah terpisah di dunia dan di akhirat.

Kejadian itu jadi petunjuk betapa STA telah memilih jalannya sendiri. Jalan yang penuh gelisah, tapi menjanjikan gelora. Seperti ujar sebuah puisinya yang terkenal, Ke Laut:

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak…

Banyak yang menangkap, termasuk Goenawan Mohamad dalam sebuah esainya dalam Eksotopi, bahwa inilah pernyataan talak STA terhadap dunia lama yang tradisional. STA menganggap, dunia lama itu sebuah “tasik yang tenang, tiada beriak” dan sebuah “mimpi yang nikmat”. STA dengan bersemangat menuju “laut”, dunia baru yang penuh “ombak ria berkejar-kejaran”. Ujar STA lagi:

Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.

Pilihan STA adalah “Berontak hati hendak bebas, menyerang segala apa yang mengadang”. Walau STA sadar “…betapa sukarnya jalan, badan terhempas, kepala tertumbuk…”, ia tetap berkata, “namun kembali tiadalah ingin, ketenangan lama tiada diratap.” Pada usia 20-an itu, STA memang sedang aktif ikut merumuskan Indonesia. Ia terutama terpukau pada Sumpah Pemuda. Dalam hidupnya kemudian, terbukti, ia terobsesi pada bagian persatuan bahasa, Bahasa Indonesia.

STA telah jadi anggota Jong Sumatera pada usia 14. Pada usia 20-an, saat ia bekerja di penerbit buku Indonesia milik Belanda, Balai Pustaka, telah tampak gaya aktivisme STA: seorang budayawan pembawa palu, yang gemar menggetok hal-hal yang ia anggap keliru. Dan menjadi gayanya pula, ia menggetok dengan kata-kata—yang keras, lugas—sehingga ia banyak berpolemik. Palu ia jatuhkan dengan keras untuk mematok batas-batas “dunia lama” dan “dunia baru” itu.

Palu pertama STA, mematok beda “sastra Indonesia lama” dan “sastra Indonesia baru”. Sejak November 1932, di rubrik Memajukan Kesusasteraan majalah Panji Pustaka, STA menulis rangkaian 11 tulisan bertajuk “Menuju Kesusasteraan Baru”. Di situ, STA menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami evolusi di bawah pengaruh Barat. Ia mengurai, masyarakat lama punya tatanan kolektivisme. Masyarakat baru berdasarkan individualisme.

Maka, pertama-tama, kata STA, sastra baru itu harus melepaskan diri semangat kolektivisme. Jika dalam masyarakat lama puisi dibacakan untuk hiburan bersama sehingga keaslian dan kepribadian tak dipentingkan, maka puisi baru haruslah sebaliknya. Dan dalam semangat menggelora pula, STA menekankan perlunya tendensi dalam sastra baru itu. Sastra STA berangkat dari ide, dari kepercayaan bahwa masyarakat modern adalah harapan yang harus diperjuangkan. Sastra, dalam soal ini, harus jadi petunjuk masyarakat. Demikianlah, maka novel-novelnya sejak Layar Terkembang hingga Kalah dan Menang penuh dengan ide melambung (dan, menurut sebagian—termasuk kritikus A. Teeuw—melupakan mutu bercerita).

Ide-ide sastra STA kemudian lebih terwadahi saat ia, bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru pada Juli 1933. Waktu itu STA dan Armijn berusia 25, sedang Amir 22. Majalah ini menciptakan “angkatan Pujangga Baru”, menjadi pemberi dasar bagi sastra Indonesia modern setelah cikal bakal dari puisi-puisi Mohammad Yamin satu dekade sebelumnya.

Palu STA mengetuk lagi, kali ini bagai palu godam, dengan keras dan ribut mematok perbedaan antara orientasi budaya Barat dan Timur pada Polemik Kebudayaan. Polemik penting ini dimulai dari tulisan STA pada Agustus 1935 yang berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru. Segera saja tulisan ini memancing tanggapan keras dari Sanusi Pane, Dr. Sutomo, Adinegoro, Ki Hajar Dewantoro, dan Poerbatjaraka.

Dalam tulisan itu, STA memberi subjudul “Indonesia dan Prae-Indonesia”. Dengan tegas, ia membedakan “Indonesia” dan “pra-Indonesia”: Diponegoro, Imam Bonjol, Majapahit, Sriwijaya, gamelan, adalah bagian dari “pra-Indonesia” itu. Bagi STA, itu semua bukan hanya terjadi pada masa sebelum Indonesia ada, tapi tak akan lagi sesuai dengan (ide) Indonesia yang telah ada saat itu. Seolah itu tak cukup menyengat, STA menegaskan bahwa Indonesia baru harus berorientasi ke Barat.

Tak usah diulang di sini perdebatan keras yang kemudian timbul. Bahkan sampai 50 tahun kemudian, perdebatan soal orientasi kebudayaan ini masih hangat. Pada 1986, Takdir menulis kolom di Tempo tentang polemik tersebut, dan menuai tanggapan dari para pemikir Indonesia saat itu. Pangkal soal, Takdir tetap bersikeras pada idealisme renaisansnya yang “klasik”, sebagaimana pada polemik pertama. Sejak awal, STA menyangsikan kemungkinan adanya sintesa Barat-Timur, apalagi alternatif “murni” dari Timur.

Sebagai budayawan dengan palu, STA seperti karikatur sebuah pepatah dari filsuf Ludwig Wittgenstein: “Jika engkau selalu membawa palu, maka seluruh dunia adalah paku.”

Yang patut dicatat di sini, keteguhan STA yang semakin lama dianggap naif itu, bagaimanapun, memberi pengimbang amat kuat pada angan-angan Indonesia kita. Ia menjadi kutub yang tak bisa kita abaikan. Tentu, ia tak sendiri. Para pemikir budaya, politik, sosial, dan ekonomi sezaman STA menyumbang pelangi kebudayaan Indonesia modern. Namun STA jadi sosok penting dalam menduniawikan kebudayaan Indonesia. Ia berperan penting dalam menciptakan setting budaya Indonesia yang siap menerima kemodernan sepenuh hati.

Dalam setting budaya itu, tak dimungkinkan eksklusivisme keagamaan mengambil porsi berlebih dalam Indonesia. Inilah sumbangan tak langsung STA terhadap Islam di Indonesia.

Jelas-Tak Jelas Islam STA

Sejak 1972, STA urun suara menyumbang pemikiran tentang Islam secara resmi. Sejak saat itu, ia menulis empat makalah tentang Islam yang dianggap penting oleh Deliar Noer: Pembangunan Ekonomi dan Etik Ekonomi Islam (1972), Aspek Etik Agama Islam dalam Perubahan Sosial (1974), The Development of Indonesian Cultural History Viewed from the Aspect of Values (1975), dan Sumbangan Islam kepada Kebudayaan Dunia (1976).

Di samping makalah-makalah itu, STA cukup aktif bicara dan menulis artikel tentang Islam dan agama secara umum. Seperti dicatat Noer, STA menyatakan diri pada 1972 sebagai “pemula” dalam hal kajian Islam. Ini tentu saja agak mengejutkan, bagi yang terbiasa dengan sosok STA yang seolah mengasingkan diri dari Islam sejak awal pemikirannya.

Setelah mematahkan hati ayahnya pada usia 20-an itu, STA bersibuk dengan ajakan melangkah ke Barat. Dalam politik, ia bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia. Dalam beberapa kasus bahasa, ia menampik keras pengambilan sumber kata dari bahasa Arab, sebagaimana pengambilan dari bahasa daerah atau bahasa asing lainnya.

Namun, secara pribadi, STA tak menampik akar religiusnya. Ini terlihat dari karya-karyanya. Noer, misalnya, mengenali beberapa tokoh dalam novel Layar Terkembang (1937) dibuat untuk menyuarakan berbagai pemikiran STA tentang agama/Islam. Tokoh Tuti, misalnya, digambarkan memiliki sikap kritis terhadap praktik keagamaan di kampung tempat cerita terjadi, yang dipimpin sosok kiai. Bagi Tuti, agama mestilah sesuai belaka dengan nalar dan perasaan terdalamnya. Lalu, ada tokoh Jusuf, yang mengingatkan Tuti bahwa tak sedikit orang terdidik yang ingin memahami agama mereka dengan lebih baik melalui studi serius. Dan ada tokoh Maria, yang adalah guru sekolah Muhammadiyah. Noer bertanya, apakah ini mengisyaratkan harapan STA bahwa Muhammadiyah dapat memadukan semangat Islam dan semangat Barat?

Puisi-puisi STA, sebagian, menampakkan penerimaannya pada Tuhan –dengan caranya sendiri. Terutama, ini terlihat dalam kumpulan puisi Tebaran Mega (1936). Dian Sastro cukup tepat menangkap semangat keagamaan STA, saat ditanya makna puisi yang ia baca pada 100 Tahun STA. Sambil mengunyah permen karet, Dian bilang, “Pak Takdir itu menganggap, justru bentuk penghargaannya kepada Tuhan adalah dengan hidup sepenuh-penuhnya.”

Yang dimaksud “hidup sepenuhnya”, atau menyongsong “hidup” secara total, adalah dengan menerima hidup di dunia ini apa adanya, seluruhnya. Dengan kata lain, menjalani anjuran-anjurannya selama ini: menjadi modern sepenuhnya.

Saat STA memikirkan Tuhan, ia kadang menghiba di hadapan kekuasaan Tuhan. Puisinya yang meratapi kehilangan istri pertamanya, misalnya, mengakui kekuasaan Tuhan. Tapi, itu tak pernah mematikan api STA yang selalu mengedepankan sang manusia. Dan sikap dasarnya ini memang dinyatakan dalam sebuah puisi lain tentang keberagamaan: Kepada Kaum Mistik (1937). Dalam puisi pamfletis ini, STA (lagi-lagi), menjatuhkan palu pembedaan.

Bagi STA, kaum mistik “…mencari Tuhanmu di malam kelam”. Sedang STA sendiri, “…bertemu Tuhanku di siang terang”. Katanya kemudian, “Bila dunia ramai bergerak/Bila suara memenuhi udara …Hati jaga, mata terbuka/Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja.” Inilah makna lebih jauh dari “hidup yang penuh” yang didamba STA dalam keberagamaannya.

Sekaligus, inilah “kejelasan” yang dicari oleh STA dalam agama, seperti diungkap putra bungsunya, Mario Alisjahbana kepada Madina. STA agaknya tak menyukai praktik-praktik agama tradisional yang, baginya, penuh tahyul dan hal yang “tak jelas”. Ide, tepatnya ide-ide modern, adalah titik berangkat keislaman STA. Dengan itu, ia enak saja melenggang dalam sebuah peradaban Barat yang ia idealkan.

Semangat renaissans “klasik”-lah yang menjadi semangat utamanya, termasuk dalam memahami Islam. Baginya, Islam pernah memiliki capaian tinggi dalam peradaban. Namun kenyataannya, peradaban Islam telah runtuh, dan saat ini peradaban Baratlah yang maju. Ajaran-ajaran Islam, termasuk ayat-ayat Al-Quran, memiliki potensi positif sebagai etos kebangkitan ekonomi dan budaya di masa modern ini. Namun, umat Islam harus belajar dari Barat yang rasional dan humanis.

Dengan kata lain, pemikiran Islam STA adalah turunan dari pemikiran-pemikirannya semasa Polemik Kebudayaan. Ia tak bisa dengan tepat dikatakan sebagai seorang modernis Islam. Ia modernis, titik. Sumbangan pemikirannya tentang Islam, walau menarik, tidaklah teramat besar. Namun jika kita ingin menjadi Islam dalam Indonesia, kita tak bisa mengabaikan pemikiran-pemikiran budaya STA.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=200126036682936

Bahasa »