Aku Bermain Aktor

Asarpin

Sebelum bukunya terbit, namanya sudah melegenda.Orang mengenalnya sebagai dramaturg besar setelah kepergian dramawan Utuy Tatang Sontani. Bahkan tokoh kita ini seorang pelopor drama kontemporer di tanah airnya, baik ihwal mengenai konsepsi penulisan naskah maupun pementasan. Baginya, seorang belum pantas menerima gelar dramawan hebat bila tak punya konsepsi di bidangnya. Konsepsi-lah yang membedakan seorang dramawan besar dan drawaman ecek-ecek, sebagaimana kredo puisi adalah yang menjadikan puisi dan Sutradji dianggap lebih kuat dan lebih siap dari puisi dan Chairil Anwar.

Pengalamannya di bidang seni teater selama dua dekade, kemudian telah dibukukan dengan judul Aku Bermain Drama (1976). Buku ini adalah himpunan esai yang nyaris tak dibaca lagi kini. Bahkan tidak oleh para aktor, sutradara, bahkan para calon pemain tak pernah tahu ada buku itu. Memang, buku esai yang hanya 95 halaman itu jauh di bawah kualitas literer dari karya dramawan Rusia, yang buku-bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa kita. Tapi yang unik pada dramawan yang satu ini adalah caranya mengolah konflik antara pemain dan sutradara lalu memberikan arah yang tak memaksa. Apa dan bagaimana konsepsinya tentang teater? Bagaimana ia mengolah konflik antara pemain dan sutradara?

Renggani memulai ceritanya dari pertemuan dengan aktor tenama itu di sebuah acara latihan. Waktu itu ia sendirian di salah satu pojok ruangan. Waktu itu Is berlatih dengan gayanya sendiri, tanpa arahan seorang pun. Tak ada naskah teater. Ketika ada yang bertanya, Is hanya menjawab: ”Pemain teater tidak terikat pada naskah. Sebuah pertunjukan bukanlah karya bersama. Gaya pertunjukan hanya ada satu, tak boleh lebih”.

Kata-katanya menyimpan keangkuhan. Tapi di kota ini memang cuma dia yang memiliki bakat sebagai pemain seni pertunjukan. Lain tidak. Sekali pun ada Wis, sarjana seni pentas yang konon dianggap sebagai penerusnya kelak, kehebatannya belum sebanding dengan Wis. Is adalah pemain di Komunitas Teater 1:0 yang paling tidak mau berurusan dengan sutradara. Baginya, sutradara hanya membuat kreaativitasnya di atas panggung menjadi monoton, tidak leluasa, bebas dan jernih. Ia tak mau ambil pusing tentang berbagai macam gaya penyutradaraan, sebagaimana Wis—temannya.

Sutradara Komunitas Teater 1:0 tak cocok dengan Is. Pernah suatu hari, Wawan mengusir Is karena menganggap sutradara tak berguna. Penolakan Is terhadap sutradara tentu punya dasar. Suatu kali ia pernah menonton teater Gogol, Inspektur Jendral, rusak akibat terlalu mengikuti pakem Meyerhold. Oman—pemain teater terbaik di Pasundan—menjadi norak dan hiper yang dibuat-buat karena terlalu mendengarkan arahan sutradara Suman. Hendri gagal menerima hadiah pemain terbaik lantaran pentas terakhirnya hanya mengindahkan apa yang dianjurkan Wendi.

Bagi Is, sehebat apa pun sang sutradara, sekali pun garam telah berubah laut di perutnya, tetap saja punya teknik yang membuat pemain tidak merdeka. Di dalam teknik penyutradaraan, selalu ditekankan pengaturan dan penempatan pemain, sampai bagaimana mengatur gerak-tubuh pemain, watak pemain. Pokoknya, sutradara berkuasa penuh terhadap pemain. Termasuk berkuasa untuk menjadikan pemain menjadi alienasi. ”Aku kan anak alam”, katanya suatu kali. ”Pemain alam mengetahui teknik bermain tanpa ada yang mengajarnya”.

Gejala anti-sutradara macam Is, bukan hal baru yang menancap di kota ini. Sejak munculnya isu Teater Sutradara beberapa dekade lalu, banyak pemain bersikap seperti Is. Sikap semacam itu sah-sah saja, mengingat pemain juga punya otoritas, memiliki otonomi penuh sebagaimana juga sutradara. Kalau pun sampai sekarang masih sering terdengar seorang pemain menolak sutradara, walau konon katanya ini abad ke-21, mungkin bisa dibaca sebagai gejala yang sehat dalam dunia teater.

Is ingin menjadi sutradara bagi dirinya sendiri. Ia ingin memimpin gaya dan caranya sendiri. Is tak ingin didikte, apalagi diarahkan setiap kali latihan oleh sang sutradara. Sutradara mati, katanya sambil menirukan ucapan seorang kritikus sastra. ”Aku ingin seperti John Gielgud, Laurance Oliver, dan ingin jadi pemain sendiri, memainkan monolog seperti Iswadi dan Ari, Fang dan Mei hingga Ruth Draper. Apakah sikap Is memang konsisten untuk tidak didikte orang lain, mungkin patut dipertanyakan. Sebab, Is menolak A untuk mengapresiasi B. Di jagad teater, sikap Is ini sudah cukup untuk mengatakan ada gejala anakronis di tubuh teater hari ini.

Is telah bermain drama sebanyak 49 kali, dan hampir separuh naskahnya ia tulis sendiri. Is benar-benar ingin membebaskan teater masa kini dari penjajahan sutradara. Is bermain mirip pantomim, membeaskan teater dari penguasaan pengarang naskah. Is menamakan teaternya teater tulen. Tapi teman-temannya menyebutnya teater asli. ”Teater asli adalah teater yang pemainnya sendiri; sendiri dalam arti menciptakan adegan gerak sendiri dari naskah yang dihasilkan sendiri. Berteater bagiku adalah memebaskan diri dari penguasaan pengarang naskah dan sutradara”.

Aku sebenarnya ingin bertanya pada Is. Untuk melengkapi berita besok. Dan kebetulan, Is rupanya baru saja selesai latihan bermain. Senja itu aku mengajaknya bercakap-cakap perihal Teater Sutradara, Teater Aktor, Teater Global, bahkan tentang Teater Selebor, sambil minum teh hangat. Salah satu yang menjadi perhatian orang ramai terhadap Is adalah sikap soliternya sebagai pemain teater.

”Tahu dari mana aku di sini?” tanya Is.
”Dari seorang kawan yang kebetulan banyak tahu tentang kamu”.
”Terima kasih. Aku tak perlu tahu kan nama temanmu itu?”
”Oh, apa salahnya.”
”Tak usah”.
Rupanya benar kata orang, Is seorang aktor jumawa. Ia tampak sedang memainkan kedua telapak tangannya, seperti sedang mengusap keringat.

Sayup-sayup lagu Dilema meluncur ke relung telinga. Menggoda. Kami saling bertatap. Dan pada detik itu aku teringat, aku takut rindu bila tak lagi bertemu, haruskah kuterima cinta buah dilema? Buah delima telah merekah sendiri karena masak dan merah api warna luka yang ia buat di badannya sendiri untuk menyenangkan hatiku.

”Aku ingin buah delima itu”.
”Apa?”

”Oh, tidak”. Maksudku. Maksudku, tolong jangkaukan tanganmu dan petiklah buah Delima di atas itu”.
Gawat, aku rupanya melamun. Untung saja Is tidak curiga. Buru-buru aku memperbaiki cara duduk, tak lagi bermuka-muka. Is metik dua buah. Lalu kami makan sama-sama. Ketika punya telah habis, aku mulai bertanya padanya. ”Is, apa memang ada, di abad dua puluh satu ini, teater yang baik tanpa sutradara?”

“Sejak abad lalu sudah sering orang bertanya begitu”.
”Maksudnya?”
”Ya”, sambil berdiri, ”tentu ada. Tapi apa hubungannya dengan abad 21? Kemajuan? Perkembangan?”

”Bukan. Aku hanya ingin memastikan keyakinanku yang meragukan apakah kamu memang konsistens menolak sutradara, menolak naskah, membebaskan teater dari keduanya”.

”Hei, dengar Nona”, katanya dengan lembut. Abad lalu Rendra pernah meledek kami dengan kata-kata begini: ’Mana ada, di abad dua puluh ini, teater profesional yang tanpa sutradara? Dan biar dalam pengertian seni sandiwara macam apapun juga, di abad dua puluh ini, mutu permainan kelompok tidak bisa diremehkan lagi. Oleh karena itu, pemain selalu membutuhkan pimpinan sutradara’.

”Aku mau mengatakan seperti itu. Jika Rendra masih meragukan konsistensi pemain tanpa pimpinan sutradara di abad dua puluh, apalagi di abad dua satu ini, Is”.

”Teater tak punya urusan dengan abad!”

”Maksudnya?”

”Teater kontekstual tidak terikat waktu. Kapan pun ia akan kontekstual. Tidak kontekstual lagi kalau bumi sudah kiamat”.

”Aku mau pergi”, timpal Is. Baca saja buku Aku Bermain Drama, kau akan tahu semuanya. Aku tahu, suatu hari kamu akan membela pendirianku”. Ia benar-benar berlalu. Sikap badan dan geraknya begitu yakin. Tampaknya aku seperti sedang berhadapan dengan seorang aktor terbaik di atas panggung. Hidupnya tak cuma banyak warna, tapi juga irama. Detak jantungnya saat meninggalkan percakapan masih terasa. Tapi ia harus meletakkan irama permainannya di dalam hubungannya dengan percakapan.

Tubuhnya semakin lama semakin sirna ditelan bayang-bayang yang separuh kelam. Pelangi hampir dibalut awan seluruhnya. Sementara pikiran masih terserap oleh sikap aktor yang angkuh itu. Akhirnya kuputuskan berjalan pulang , dengan pikiran yang cemas memkirkan apakah suatu hari nanti Is akan tetap eksis sebagai pemain dari ribuan pemain teater, jika tetap bertahan pada pendiriannya. Mungkin tidak. Mungkin juga Is benar.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/