Antara Sejarah dan Nilai Sakral

Her Suganda*
Kompas, 24 Mei 2008

MASYARAKAT Sunda sudah lama menghadapi persoalan dengan sejarahnya. Di satu pihak mereka menginginkan keberadaan sejarah masa lalunya diakui sebagaimana halnya daerah-daerah lain.

Namun, di sisi lain perjalanan ruang dan waktu sejarah kebudayaan masyarakat Sunda kuno masih banyak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Dua kerajaan besar yang pernah terdapat di wilayah ini, yakni Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda Pajajaran, tidak banyak meninggalkan jejak budaya.

Padahal jika dibandingkan dengan kerajaan sezaman di daerah tetangganya, semangat membangun di daerah ini tidak begitu tampak. Apakah hanya karena masyarakat Sunda merupakan masyarakat peladang sehingga sering berpindah-pindah tempat?

Di daerah-daerah yang dulunya merupakan bagian dari wilayah kerajaan tersebut tidak banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno berupa candi. Masyarakat Sunda lebih mengenal kabuyutan, sebuah tempat yang dianggap suci tetapi bentuk dan struktur bangunannya berbeda dengan bangunan-bangunan suci yang pada umumnya terdapat di masyarakat Jawa kuna.

Kabuyutan berada di suatu lokasi yang letaknya lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Beberapa tempat yang merupakan tempat suci tersebut selain bercirikan tradisi megalitik juga mengandung unsur klasik sebagaimana dijumpai di beberapa situs. Situs-situs megalitik tersebut, misalnya, situs Sanghyang Taraje (Sumedang), Astanagede Kawali (Ciamis), dan Karangkamulyan (Ciamis).

Situs Astanagede Kawali dikenal menyimpan tidak kurang dari enam prasasti yang dibuat pada zaman Kerajaan Galuh Kawali. Namun, dalam bentuk naskah kuno, situs Ciburuy di Kabupaten Garut merupakan salah satu kabuyutan yang hingga kini merupakan tempat sangat penting.

Daun lontar

Naskah-naskah Sunda pada umumnya ditulis di atas daun lontar, nipah, daluang yang terbuat dari kulit kayu saeh, dan yang terakhir kertas. Penggunaan media itu sekaligus memperlihatkan perkembangan dalam kegiatan penulisan naskah di Jawa Barat. Atas dasar itu, Prof Edi Sukardi Ekadjati membaginya dalam tiga periode masa pembuatan. Masa kuno berlangsung sekitar abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Naskah-naskah yang termasuk pada masa ini antara lain Carita Parahiyangan (koropak 406), naskah Ciburuy (MSA), Pantun Ramayana (koropak 1102), Siksa Kanda (ng) Karesian, dan Bujangga Manik.

Masa peralihan yang berlangsung sekitar abad ke-18 Masehi diwakili oleh naskah-naskah Carita Waruga Guru dan Cariosan Prabu Siliwangi. Adapun masa baru yang berlangsung sekitar abad 19-20 Masehi diwaliki naskah-naskah Carios Munada, Wawacan Sajarah Galuh, Sajarah Sukapura, Carita Ukur, Carita Sajarah Lampahing Para Wali Kabeh, dan Wawacan Ahmad Muhamad.

Periodisasi tersebut sekaligus mencerminkan pengaruh-pengaruh yang ada di Sunda saat itu. Jadi jika ditinjau dari bahasa yang digunakan, naskah-naskah tersebut terbagi dalam tiga kelompok bahasa. Kelompok pertama naskah-naskah yang menggunakan bahasa Sunda kuna dan Sunda baru, kelompok kedua menggunakan bahasa Jawa, dan kelompok ketiga naskah-naskah yang menggunakan bahasa Melayu.

Bahasa Sunda kuna digunakan dalam penulisan naskah sekitar abad ke-16, sedangkan bahasa Sunda baru digunakan pada naskah-naskah abad ke-19 dan 20 Masehi. Kecuali naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada abad ke-18 Masehi.

Kelompok kedua memperlihatkan naskah-naskah yang dipengaruhi bahasa Jawa, baik dalam bentuk bahasa Jawa-Cirebon, bahasa Jawa Priangan, maupun bahasa Jawa-Banten. Akan halnya naskah berbahasa Melayu yang merupakan kelompok ketiga, jumlahnya tidak seberapa.

Naskah-naskah itu ditulis menggunakan aksara Sunda kuna, Buddha, Jawa (cacarakan), pegon, dan Latin. Aksara cacarakan, yang selama ini dianggap aksara Sunda, sebenarnya merupakan aksara Jawa ”hanacaraka” yang diadopsi. Adapun aksara pegon merupakan aksara Arab.

Yang menarik, isi naskah-naskah tersebut sangat beragam dan menyangkut hampir semua aspek kehidupan kebudayaan masyarakat Sunda. Dalam hal ini, Prof Edi Sukardi Ekadjati, membaginya dalam 12 kelompok, antara lain, yaitu agama, bahasa, hukum/aturan, kemasyarakatan, mitologi, pendidikan, ilmu pengetahuan, paririmbon, sastra, sastra sejarah, dan seni.

Naskah Jawa

Walau tidak sebanyak naskah Jawa dan Melayu, naskah-naskah Sunda tersebar di berbagai tempat. Hasil penelusuran selama ini menunjukkan, di Museum Nasional Jakarta terdapat sekitar 500 naskah yang ditulis di atas kertas dan daluang, serta sekitar 40 naskah lain ditulis di atas daun lontar.

Di Museum Sribaduga Maharaja, Jawa Barat, terdapat sekitar 150 naskah, di Kantor EFEO, Bandung, sebanyak 50 naskah, di Museum Pangeran, Sumedang, sekitar 15 naskah, dan di Museum Cigugur, Kuningan, sebanyak 25 naskah. Jumlah itu belum termasuk dua peti naskah di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Selain di dalam negeri, masih terdapat naskah-naskah yang tersebar di Perpustakaan Bodlein University (Inggris) dan Australian National University. Namun, yang paling banyak diboyong pada masa penjajahan Belanda, sehingga di Universiteit Bibliotheek Leiden tersimpan sebanyak 239 naskah.

Jumlah ini belum termasuk naskah-naskah yang ada di tangan perorangan yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat dan Banyumas, Jawa Tengah. Bahkan banyak di antaranya yang sudah tidak jelas lagi keberadaannya. Ada yang sudah berpindah tangan atau diserahkan ke orang lain dan tidak diketahui lagi di mana alamatnya. Ada pula yang menganggapnya sebagai sampah sehingga ketika rumahnya direnovasi, naskah-naskah itu ditaruh di kandang ayam.

Sebaliknya ada pula yang secara sengaja dicerai-beraikan karena dianggap sebagai barang warisan yang mengandung nilai sakral. Di daerah Sumedang pernah terjadi, setelah pemiliknya meninggal, naskah-naskah itu dibagikan secara merata pada anak-anaknya, tak beda dengan harta warisan. Karena anggapan ini pula, naskah tidak boleh dilihat oleh orang lain. Apalagi dipinjamkan untuk dibaca dan diteliti.

Kabuyutan Ciburuy yang terletak di kaki Gunung Cikuray, Garut, menyimpan dua peti naskah kuno yang ditulis di atas daun lontar dan nipah. Tempat ini sangat penting keberadaannya karena merupakan sumber keilmuan abad ke-16 Masehi. Walaupun secara umum tempat ini terbuka, terdapat bagian-bagian tertentu dari bangunan di dalamnya yang tidak boleh dikunjungi sembarangan orang. Termasuk di antaranya ruang dan kotak tempat penyimpanan naskah kuno serta benda-benda lainnya yang dianggap sebagai pusaka leluhurnya.

Karena naskah-naskah di sana hanya dikeluarkan pada saat upacara tertentu, naskah-naskah itu tidak pernah diteliti, apalagi diketahui isinya. Bahkan keberadannya terancam kerusakan karena perlakuan dan cara penyimpanan.

Kebudayaan

Sumbangan naskah-naskah tersebut dalam memahami sejarah dan kebudayaan masyarakat Sunda pada masa lalu sangatlah penting artinya. Naskah Siksa Kanda (ng) Karesiyan yang disusun tahun 1518 Masehi merupakan semacam ensiklopedia kebudayaan Sunda saat itu. Dalam naskah Bujangga Manik karya Perebu Jayapakuan yang merupakan salah satu anggota keluarga keraton Pakuan Pajajaran, merupakan acuan dalam menulis sejarah Sunda. Naskah yang ditulis tahun 1511 Masehi itu berisi catatan perjalanannya tatkala mengelilingi Pulau Jawa dan Bali sebanyak dua kali. Dalam catatannya, ia menulis tidak kurang dari 450 nama tempat, termasuk nama gunung, sungai, dan tempat penting lainnya.

Melihat tahun pembuatannya, kedua naskah tersebut disusun sebelum Portugis menguasai Malaka dan Kerajaan Sunda Pajajaran masih berjaya. Kerajaan ini runtuh tahun 1579 Masehi akibat serbuan pasukan Banten dibantu Cirebon dan Demak.

Penelitian terhadap naskah-naskah Sunda kuno, terutama sekali yang terbuat dari daun lontar dan nipah, merupakan hal yang mendesak mengingat tingkat kerusakannya sangat tinggi. Selain itu, karena naskah-naskah tersebut ditulis dengan aksara dan bahasa Sunda kuno, pakar yang bisa membaca dan menerjemahkannya justru makin berkurang. Satu per satu di antara mereka sudah meninggal. Setelah Atja, kemudian menyusul Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, dan yang terakhir Edi Sukardi Ekadjati, dan kini hanya tinggal beberapa orang.

(Her Suganda, Penulis, Tinggal di Bandung)
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/05/teropong-antara-sejarah-dan-nilai.html