Asrul Sani: Puisi Gigantis dan Cerpen Rumah

Eka Kurniawan
Kompas, 31 Mei 2007

Melalui kajian puisi dan cerpen Asrul Sani yang nisbiah jarang jumlahnya dibandingkan dengan esainya, terlihat bahwa cerpen-cerpen Asrul adalah cerpen ide, puisi-puisinya sarat dengan beban ide.

Dalam sepucuk esainya mengenai puisi Angkatan 45, atau dengan ungkapannya disebut sebagai generasi saya sendiri, Asrul Sani menulis: “Kita harus sampai pada puisi ’gigantis’ yang menyeluruh—sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi—yang mempunyai sumber pada serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia. Dalam puisi ini emosi hanya pendorong ’perasaan’ yang dialami penyair untuk dirasakan penikmat.”

Petikan itu terdapat dalam esai “Deadlock pada Puisi Emosi-Semata”, yang pada dasarnya mencoba mengkritik kecenderungan generasi saya sendiri yang terlampau menekankan diri pada emosi, lupa bahwa itu hanya pendorong berpuisi. Asrul menunjukkan bahwa Angkatan 45 pada dasarnya mengulang kesalahan Pujangga Baru. Angkatan 45 terlalu sibuk dengan kebebasan, Pujangga Baru tersuntuk melulu dalam urusan keindahan.

Apa pula yang ia maksud dengan puisi gigantis itu? Bisakah kita menganggapnya sebagai kecenderungan puitik Asrul? Soal ini kita bisa periksa dalam kumpulan puisi Asrul satu-satunya yang pernah diterbitkan, Mantera (1975).

Mari kita ke Utara
Saudara, di sana bukan Utara.
Ah, kalau begitu anakku telah dibawa ke Selatan.

Dari penggalan puisi “Kenanglah Bapa, Kenanglah Bapa” barangkali kita belum juga menemukan maksud gigantis itu. Puisi yang juga muncul dalam kumpulan Tiga Menguak Takdir (bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950) memperlihatkan corak yang berbeda mencolok dengan puisi rekan-rekannya. Jika Chairil kita patok sebagai pelopor Angkatan 45 dan Tiga Menguak Takdir sebagai (sesuai dengan pengakuan mereka bertiga) pandangan hidup (atau tujuan takdir) Angkatan Gelanggang (yang notabene cikal bakal Angkatan 45), kita bisa menemukan kecenderungan Asrul yang agak beda. Ironisnya, ideologi angkatan ini sebagaimana kita kenali dari Surat Kepercayaan Gelanggang justru dikemukakan oleh Asrul seorang.

Untuk lebih jelasnya bisa dikatakan, Asrul Sani merupakan penggagas ideologi Angkatan 45, namun yang kita kenal mengenai angkatan ini barangkali justru tak sebagaimana yang diangankan oleh sang penggagas. Ini pula yang mungkin mendorongnya menulis kritik mengenai angkatannya sendiri.

Perkara ini akan lebih bisa dimengerti pertama-tama jika kita juga bisa memahami pandangan Angkatan 45 atas angkatan sebelumnya, Pujangga Baru. Dalam hal ini, terutama kita akan melihat pandangan-pandangan Asrul Sani dan kemudian bagaimana penulis ini memformulasikan gagasan mengenai apa yang harus dilakukan generasinya dalam rangka mengoreksi Pujangga Baru. Dari titik inilah kemudian kita bisa melihat bahwa dari ideologi Gelanggang yang dikembangkan Asrul Sani ini ke mana Angkatan 45 mengalir. Di dalamnya tentu kita akan temukan Asrul Sani. Di sini pun kita akan menemukan soal apakah Asrul dengan karya-karyanya, terutama puisinya, mengikuti kecenderungan generasinya, ataukah ia berkelas kepala dengan gagasannya sendiri?

Memang benar, STA sebagai salah satu ideolog Pujangga Baru sangat menganjurkan menengok ke Barat, kepada modernisme, kepada kebaruan. Namun, sosok yang kemudian dikenal sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru” tak lain adalah Amir Hamzah. Pada puisi-puisi Amir Hamzah kita akan menemukan suatu dunia puitik yang tegang. Dengan kata lain, memang ada kehendak untuk kebaruan, namun ekornya terlampau kuat dan panjang menjulur ke tradisi sendiri. Pandangannya yang cenderung ke Timur—juga secara bahasa cenderung ke bahasa Melayu—sering membuat Amir Hamzah bahkan dipandang sebagai seorang nostalgis.

Asrul Sani menulis satu puisi untuk penyair ini. “Sebagai Kenangan Kepada Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh:”

Rahsia kita hanya disembunyikan laut
Tiada mungkin di sana hati akan merindu lagi
Sayang engkau tiada kenal gelombang
Gelombang dari rahsia pencalang
Gelombang dari nahkoda yang tiada tahu pulang.

Dari puisi ini Asrul bahkan tampak menunjukkan karakter lain Amir Hamzah: sifatnya yang cenderung melankolis. Baris Sayang engkau tiada kenal gelombang bahkan menyiratkan Amir Hamzah yang teratur dan tertata, tanpa gejolak. Hal lain yang kemudian akan dikenal sebagai karakter Amir Hamzah, dan kemudian Pujangga Baru, tentu saja kecenderungannya berindah-indah.

“Seni yang dihasilkan oleh Pujangga Baru ialah seni yang hendak memperoleh kedudukan sebagai usaha yang menghasilkan keindahan,” tulis Asrul Sani yang menurutnya sangat dipengaruhi oleh kaum ’80 di Belanda. Keindahan ini dibentuk melalui segala bunga kata, royal perumpamaan, dan mengemukakan segala yang puitis. Di sinilah Pujangga Baru terbentuk menganggap keindahan sebagai puisi itu sendiri. Dengan istilah yang agak sarkas, Asrul menyebutkan Pujangga Baru bagaikan menganggap sebuah kamar sebagai rumah.

Angkatan 45 ingin mengubah pandangan ini. Sebagai antipode atas keindahan yang dianut Pujangga Baru, mereka memperkenalkan dogma emosi yang hidup. Namun, itulah yang kemudian dianggap Asrul Sani sebagai “meninggalkan suatu dogma untuk mengambil dogma yang lain.” Artinya, para penyair Angkatan 45 keluar dari kamar yang satu, masuk ke ruang lain, dan menganggap ruang baru itu sebagai rumah. Di sini ia merasakan penting membuka jendela seluas-luasnya dan berhenti menganggap penglihatan sebentar sebagai substansi.

Ahli Waris Dunia

Keyakinan ini ia tulis dalam kalimat pembuka Surat Kepercayaan Gelanggang yang terkenal itu, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Mengikuti kritik Asrul terhadap angkatannya sendiri dan Pujangga Baru di atas, kita akan segera sadar bahwa ideologi Gelanggang itu barangkali bukan milik Angkatan 45, melainkan milik Asrul Sani seorang. Asrul Sani-lah yang menginginkan keluar dari satu dogma, tanpa harus terkubur dalam dogma lain, dengan menjadikan dunia sebagai warisan sahnya sendiri.

Dari sinilah kita bisa melihat puisi-puisinya, kemudian cerpen-cerpennya, dan memandang sejauh apa ia bisa menafsirkan pemikirannya itu ke dalam karya sastranya.

Tampaknya benar, dalam puisi-puisi Asrul kita tak menemukan keindahan dalam arti Pujangga Baru: kalimat yang berbunga-bunga maupun perumpamaan yang berlebihan. Dalam malam biru//Wajahmu di jendela//Senyuman lentera//Hatiku malam gelap (“Wajah”). Perumpamaan yang digunakannya cenderung bersifat paralel (misalnya biru untuk warna malam atau senyuman bagaikan lentera di dalam gelap untuk hatiku). Bandingkan dengan puisi Amir Hamzah “Berdiri Aku” ini:

Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.

Kita juga bisa melihat usahanya untuk tak jatuh ke dalam puisi emosi sebagaimana ia tuduhkan kepada Angkatan 45. Sekali ia pergi tiada bertopi//Ke pantai landasan matahari//Dan bermimpi tengah hari//Akan negeri jauhan. Demikian ia menulis dalam puisi “Anak Laut”. Bandingkan dengan puisi Chairil Anwar yang juga bercerita tentang laut, “Senja di Pelabuhan Kecil”:

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
mengembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Dalam puisi Chairil kita merasakan keterlibatan penyair di dalam puisinya. Barangkali inilah yang dimaksud Asrul sebagai “emosi”, sementara dalam puisi Asrul, ada kesan penyair membuat jarak.

Apakah kita juga bisa menemukan puisi gigantis sebagaimana yang ia anjurkan? Pada dasarnya, sebagaimana ia ungkapkan sendiri, ia tak menolak “keindahan” maupun “emosi” dalam puisi. Baginya, semua itu hanyalah unsur pendukung puisi, selain unsur lain yang menurutnya harus dilengkapi. Dengan cara itulah puisi akan menyeluruh dan menjadi gigantis.

Pada hemat saya, yang kemudian terjadi, puisi-puisi Asrul justru tampak bagaikan puisi yang kepenuhan. Hasratnya untuk menyeluruh membuat tak satu unsur pun di dalam puisinya menonjol. Lihatlah puisi “Kau Begitu Sawo Mateng, Cintaku!” ini: Aku cinta kau//karena kau begitu sawo-mateng cintaku//Sekali aku boleh belai rambut//Kemudian kausuruh aku minta diri. Tak ada perumpamaan yang penuh imajinasi selayaknya Pujangga Baru, juga tak ada aku lirik yang menggelora, berdarah daging, serupa puisi “generasi saya sendiri”.

Sejenak kita coba menoleh pada puisi berikut: Ini cerita manusia//yang punya kelampauan di hari ini//dan pandang keakanan punya batas//dalam ruang kaca jendela//Semoga akan berlaku segala mau//dan ia bebas dari timpaan nasib//seperti Oedipus dari Theba//mengawini ibu membunuh bapa (dari puisi “Buangan”).

Hasrat menyeluruh ini juga membawanya kepada kecenderungan untuk naratif. Ada upaya menjadikan puisi seperti prosa yang diharapkan bisa menampung ide-ide secara bulat. Akan tetapi, alih-alih menjadi puisi naratif atau prosa liris, puisinya malah menemukan bentuk yang tidak ke mana-mana. Dalam puisi di atas, misalnya, daripada menceritakan apa yang terjadi (bukankah ia menulis baris ini cerita manusia?), ia memberikan baris seperti Oedisipus dari Theba (dengan kata lain, jika ingin tahu cerita yang ingin ia sampaikan, cukup tahu cerita Oedipus dari Thebasaja).

Barangkali memang bukan pada tempatnya puisi menanggung beban menyeluruh serupa dengan kehendaknya. Dalam puisi, bukankah kadang-kadang sebuah cacat dan kesederhanaan barangkali merupakan keistimewaan? Barangkali menyadari hal ini, kita tak pernah melihat Asrul menjadi lebih produktif dalam puisi dan namanya sebagai penyair jauh di balik bayang-bayang nama seangkatannya. Namanya malah melambung sebagai penulis esai dan kualitasnya terdapat di dalam cerpen-cerpennya.

Beri Aku Rumah

Kumpulan cerpen Asrul Sani satu-satunya, Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat, terbit pada 1972. Pembaca tentu masih ingat perumpamaan kamar yang dianggap rumah ketika Asrul membicarakan Pujangga Baru. Juga mengenai berpindah dari satu kamar dan masuk kamar lain. Kamar baru itu pun dianggap rumah saat membicarakan Angkatan 45. Secara eksplisit Asrul mengungkapkan hasrat membangun rumah yang sesungguhnya, yang substantif, rumah yang menyeluruh. Tema ini muncul beberapa kali dalam cerpen-cerpennya.

Contoh terbaik barangkali cerpen “Beri Aku Rumah”. Cerita ini mengisahkan seorang tamu yang diperikan sebagai “seorang yang tak punya rumah, seorang prajurit yang tak punya pasukan”. Cerita berisikan dialog antara sang tamu dan yang dikunjungi perihal mencari rumah untuk bernaung. Yang dimaksud rumah tentu saja bukan sekadar rumah harfiah. Maknanya lebih bisa dipahami dari kutipan berikut ini:

Guru-guru besar itu tidak dapat memberikan apa-apa kepada saya. Sedangkan yang saya kehendaki dari mereka sebetulnya banyak.

Itulah pengetahuan menyeluruh. Yang holistik. Pemahaman yang tak sepenggal-penggal dan pandangan yang tak sepintas. Hasrat ini dalam cerpen itu tak hanya tema sentral dialog kedua tokohnya, tetapi juga memengaruhi strategi literer pengungkapannya.

Cerita dibuka dengan dialog antara narator dan kamu: Ada sebuah ceritaku untukmu. Kalimat yang datang di beberapa baris kemudian, Lebih baik kau minum kopimu dahulu selama ia masih panas, menyiratkan bahwa dialog ini bersifat langsung dan bukan dalam makna kamu yang fiktif (misalnya pembaca). Bagian kedua berisi cerita sang narator mengenai datangnya seorang tamu. Dahulu kami sekolah bersama-sama dan diam sekamar. Kalimat ini dengan tekanan pada kami memperlihatkan keterlibatan kamu sebagai pendengar. Jadi, di sini ada tiga tokoh.

Bagian ketiga dalam bentuk paragraf dialog-dialog panjang merupakan kisah si tamu yang diceritakan kepada narator. Sekali di D. pernah saya berkenalan dengan seorang nyonya. (Sang narator menggunakan panggilan aku, sementara saya digunakan sang tamu). Dari dialog mereka kita segera tahu bahwa sang tamu adalah seorang mahasiswa. Cerita ini ditutup dengan pembukaan tabir: karena mahasiswa itu ialah aku sendiri.

Dari sini kita bisa berasumsi bahwa kamu di pembuka cerita juga adalah aku sendiri. Dengan begitu, jelas cerita ini sesungguhnya merupakan monolog interior yang menggunakan tiga-diri yang berbeda. Subyek yang dikenali melalui diri kamu, aku, sekaligus ia. Sebuah strategi literer untuk menjadikan subyek (yang adalah tema cerita ini) menyeluruh yang bisa dibilang istimewa sebab penulisannya mendahului “Yang Lain” karya Jorge Luis Borges (cerita terjadi tahun 1969, diterbitkan tahun 1975) yang kurang lebih menggarap subyek yang sama.

Kita bisa mengatakan bahwa pada dasarnya cerpen-cerpen Asrul Sani merupakan cerpen ide. Gagasan dituangkan ke dalam bentuk cerita. Melihat puisi-puisinya, kita juga mungkin menyadari ada beban ide di dalamnya yang, apa boleh buat, memang menjadi lebih menarik ketika diungkapkan dalam bentuk cerpen.

Dalam esai “Dua Hasil Realisme Italia”, ia menulis: Pengarang-pengarang sekarang, tidak lagi menggambarkan tokoh pahlawan sebagai tujuan, tetapi sebagai alat […] sekiranya kita hendak memasukkan anasir “pikiran” ke dalam kesusastraan sekarang, maka adalah pikiran ini pikiran yang menjawab dalam suasana masyarakat di mana menggeletak filsafat-filsafat akademis yang kandas, di mana berbagai teori kehilangan harganya benar.

Memang benar tulisan itu tengah mengetengahkan ramalan Concourt bersaudara atas kesusastraan abad ke-20. Akan tetapi, anutan tersebut tampaknya juga dipegang oleh Asrul Sani. Namun, segera ia mengingatkan dalam esainya yang lain: Seniman sudah menjadi hanya-intelek, intelek ini kemudian beroleh kecenderungan menjadi orator (“Richard Wright: Seniman yang Jadi Intelektual”). Asrul secara tak langsung menyarankan suatu kesadaran bahwa “kesenimanan” dan “kepujanggaan” terlalu kecil bagi masalah dunia yang begitu besar.

Demikianlah dalam cerita pendek “Bola Lampu”, Asrul tak hanya mengisahkan perjaka yang tergila-gila kepada lampu (dan lupa kepada lampu yang lain). Pada dasarnya cerpen ini berkisah mengenai pertarungan gagasan idealis dan realistis, serta ejekan yang menggelora akan idealisme Platonis. Seorang idealis lain bisa kita temukan dalam “Sahabat Saya Cordiaz”. Tentu saja cerpen ini melampaui sekadar itu. Ini cerpen tentang identitas dan pada titik tertentu juga bisa dikatakan sebagai (lagi-lagi) cerita mengenai “rumah”: Bangsa saya banyak sudah yang menjadi orang Belanda, mengapa pula tidak akan diberi kesempatan kepadanya untuk menjadi orang Spanyol.

Satu hal yang jelas, cerita di dalam buku ini pada umumnya berkisah di masa seputar Revolusi Kemerdekaan. Ini penting dikemukakan untuk melihat watak menyeluruh dalam karyanya. Dibandingkan dengan cerita bertema sejenis dari penulis lain (misalnya karya Idrus atau Pramoedya), Asrul biasanya tak memusatkan ceritanya pada karakter atau sosok tertentu, melainkan pada kompleksitas yang dihadapi karakter-karakter tersebut. Dalam “Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat”, kita menemukan banyak karakter yang ambil bagian sama-rata. Demikian pula dalam “Oktober 1945?.

Di sana memang ada tokoh utama, tetapi yang pokok terutama adalah apa yang terjadi di sekitar tokoh utama. Dengan cara seperti ini, dalam cerita-ceritanya, beragam aspek bisa ditemukan. Sikap narator yang menjaga jarak dengan subyek cerita (bahkan dalam cerita yang mengisahkan aku-diri) menjadi lebih berhasil ketimbang apa yang ia lakukan dalam puisi-puisinya.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/eka-kurniawan-asrul-sani-puisi-gigantis-dan-cerpen-rumah/287265087969030