Agus Sri Danardana
Riau Pos, 28 Nov 2010
FRAGMEN Waktu (Hary B Kori’un [Edt], Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2010) adalah kumpulan sajak pilihan Riau Pos 2010, berisi 74 sajak dari 20 penyair. Antologi 113 halaman itu, dan beberapa buku lainnya, dibagikan secara gratis kepada para undangan yang hadir pada acara Penerimaan Anugerah Sagang dan Anugerah Sagang Kencana di Hotel Labersa, Pekanbaru, pada 29 Oktober 2010.
Berbeda dengan kumpulan-kumpulan Riau Pos pada tahun-tahun sebelumnya, Fragmen Waktu (dan kumpulan Riau Pos 2010 lainnya) tidak diberi kata pengantar oleh editornya. Dengan demikian, 74 sajak dalam antologi itu dibiarkan langsung berdialog dengan pembacanya secara merdeka, tanpa campur tangan siapa pun. Ketiadaan pengantar dalam sebuah antologi tentu bukan keaiban. Ketiadaan itu, oleh sebagian orang, justru dianggap memberikan keleluasaan pembaca dalam menafsir karya. Namun, oleh sebagian orang lainnya, keberadaan pengantar dianggap sangat penting. Di samping dapat menjadi bentuk pertanggungjawaban penyusun (editor), pengantar juga dapat menjadi penyigi yang diharapkan mampu membuka cakrawala tafsir pembaca dalam mengawali pengapresiasiannya terhadap sebuah karya.
Terlepas dari pro-kontra tentang keberadaan pengantar dalam antologi, walau bagaimanapun, kehadiran Fragmen Waktu perlu mendapat apresiasi pembaca. Sebagai langkah awal, judul antologi itu dapat dijadikan pegangan. Dibandingkan dengan tema dan topik, meskipun sering bertumpang tindih, biasanya judul lebih spesifik: ditail dan konkret. Judul, dalam teks tertentu, bahkan menjadi kunci pintu gerbang pemahaman. Dalam analisis wacana, judul diyakini merupakan gambaran tentang sesuatu yang membentuk skema(ta) tertentu.
Pertanyaannya sekarang adalah skema(ta) apa(saja)kah yang tergambar dalam fragmen waktu? Agar tidak liar, jawaban atas pertanyaan itu harus tetap terfokus pada tafsir makna kata-kata pembentuknya: fragmen dan waktu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi IV, 2008: 399 dan 1554), fragmen berarti (1) ‘cuplikan atau petikan [sebuah cerita, lakon, dsb.]’ dan (2) ‘bagian atau pecahan sesuatu’, sedangkan waktu berarti (1) ‘seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung’, (2) ‘lamanya [saat yang tertentu]’, (3) saat yang tertentu untuk melakukan sesuatu’, (4) ‘kesempatan; tempo; peluang’, (5) ‘ketika, saat’, (6) ‘hari [keadaan hari]’, serta (7) ‘saat yang ditentukan berdasarkan pembagian bola dunia’. Dengan demikian, frasa fragmen waktu memiliki banyak tafsir, bergantung arti/makna setiap kata yang dipilih. Jika yang dipilih arti/makna kata pertama, misalnya, fragmen waktu dapat ditafsirkan sebagai cuplikan sebuah cerita/lakon tentang sesuatu (yang sedang) berlangsung. Jika dikombinasikan dengan pilihan arti/makna kata yang lain, fragmen waktu dapat ditafsirkan juga sebagai bagian atau pecahan tentang kesempatan, tempo, atau peluang tertentu. Dengan cara yang paling sederhana, fragmen waktu juga dapat ditafsirkan sebagai fragmen tentang waktu, sebagaimana memaknai fragmen kehidupan sebagai fragmen tentang kehidupan. Begitu seterusnya, tafsir lain dapat ditetapkan sesuai dengan cakrawala pegetahuan pembaca.
Bertolak dari tafsiran itu, apresiasi terhadap Fragmen Waktu dapat dilanjutkan dengan tetap berfokus pada kata pembentuk judul. Meskipun tidak menimbulkan skema(ta) yang persis sama, secara umum setiap kata akan menimbulkan suatu skema(ta) yang bersifat sosial-budaya, yang membantu pembaca memahami apa yang disampaikan penulis. Kata fragmen ‘cuplikan cerita/lakon’, misalnya, menimbulkan skema(ta) sebuah “pentas”. Fragmen waktu, dengan demikian, dapat menimbulkan skema(ta) baru, pementasan “waktu”. Terlepas dari tafsir kata waktu yang masih debatable, dalam pementasan itu seolah-olah terlihat 20 aktor (penyair) sedang beraksi di atas panggung, memamerkan kebolehannya. Mereka sedang melakonkan sebuah/beberapa adegan (entah bersama-sama, entah sendiri-sendiri) sebagai bagian dari sebuah cerita (yang juga entah apa judulnya). Mereka itu adalah (1) Cahaya Buah Hati, 7 kali muncul; (2) Cikie Wahab, 6 kali muncul; (3) Dien Zhurindah, 4 kali muncul; (4) Ellysan Katan, 5 kali muncul; (5) Fakhrunnas M.. Jabbar, 1 kali muncul; (6) Guri Ridola, 4 kali muncul; (7) Hang Kafrawi, 4 kali muncul; (8) Indrian Koto, 4 kali muncul; (9) Isbedy Stiawan ZS, 5 kali muncul; (10) Jefry Al Malay, 2 kali muncul; (11) Kunni Masrohanti, 3 kali muncul; (12) Marhalim Zaini, 1 kali muncul; (13) Mostha Mirthalib, 2 kali muncul; (14) Riki Utomi, 5 kali muncul; (15) Sobirin Zaini, 4 kali muncul; (16) Srikartini Widiya Ningsih, 4 kali muncul; (17) Susi Lunetta, 1 kali muncul; (18) Sugiarti, 2 kali muncul; (19) Taufik Hidayat, 6 kali muncul; dan (20) Taufik Ikram Jamil, 4 kali muncul.
Begitulah, membaca Fragmen Waktu sebenarnya dapat dianalogikan dengan menyaksikan/menonton pementasan bagian sebuah cerita/lakon yang dimainkan oleh 20 pemain (penyair) dalam 74 lakuan (sajak). Dengan penganalogian seperti itu, apresiasi dapat dilanjutkan lagi, misalnya, dengan mengamati dan mengklasifikasi lakuan (sajak) para tokoh (penyair). Cara ini setidaknya akan membantu apresiator menemukan benang merah antarlakuan (sajak): berdiri sendiri-sendiri sebagai adegan atau bersama-sama membentuk adegan. Selanjutnya, atas temuannya itu apresiator dapat meneruskan amatannya untuk mengetahui pula hubungan antaradegan agar mendapatkan gambaran alur ceritanya.
Sebagai salah satu bentuk apresiasi, paparan ini jelas belum menyentuh subtansi Fragmen Waktu. Sekalipun demikian, paparan yang dilatarbelakangi rasa penasaran atas judul antologi itu sekurang-kurangnya telah mengingatkan pembaca akan keberadaan Fragmen Waktu sehingga, dengan demikian, paparan ini pun diharapkan mampu membangkitkan rasa penasaran (baca: memotivasi) pembaca untuk ikut memberikan komentar. Semoga.
***
*) Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau. Menulis esai bahasa dan sastra di berbagai media, dan telah menulis beberapa buku. Tinggal di Pekanbaru.