Fiksi dan Semiotika Umberto Eco

Anwar Holid *
Pikiran Rakyat, 19 Juli 2008

UMBERTO Eco merupakan salah seorang novelis kontemporer paling terkemuka di dunia. Novelnya The Name of the Rose legendaris dan mengukuhkan dirinya sebagai penulis utama sastra posmodern. Sebagai bestseller terbitan 1983 di Italia, buku itu masih mudah dijumpai dan jadi salah satu standar fiksi jenis thriller. Hampir semua kritik mengakui bahwa The Name of the Rose merupakan karya dia yang paling terkenal sekaligus enak dinikmati, sebab novel itu bisa tampil sebagai karya yang bermanfaat dan menghibur pembaca.

Namun bagi sebagian pihak, Eco merupakan filsuf ahli semiotika—sains tentang tanda dan simbol. Di kedua ranah tersebut dia sama-sama terkemuka, hingga sulit menentukan apa dia lebih terkenal sebagai novelis atau cendekiawan. Sebenarnya di luar itu dia juga ahli sastra dari abad pertengahan, kritikus budaya populer yang produktif dan tajam. Namun lebih dari itu, sejumlah karyanya memberi sumbangan amat penting dan karena itu berpengaruh kuat di ranah masing-masing.

The Name of the Rose juga sukses diadaptasi sebagai film pada 1986, arahan Jean-Jacques Annaud, dibintangi Sean Connery sebagai William of Baskerville dan Christian Slater sebagai Adso of Melk. William dan Adso ini, dua tokoh utama upaya pembongkaran misteri rangkaian pembunuhan brutal yang terjadi di biara di abad pertengahan, persisnya tahun 1327. Di zaman yang begitu lama berselang itu, Eco bisa mengubahnya jadi pertunjukan kisah yang mencekam, misterius, sekaligus merupakan petualangan detektif memecahkan persoalan pelik melibatkan masalah iman (ketuhanan), bidah, dan logika. Eco memadukan unsur sejarah, agama, dan sastra sebagai teka-teki berisiko tinggi.

Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 dari keluarga besar di Alessandria, kota kecil di wilayah Piedmont, yang beribu kota di Turin—markas klub sepak bola Italia legendaris Juventus. Ayahnya punya tiga belas saudara. Menurut situs themodernword.com, nama keluarga Umberto, yaitu Eco, merupakan akronim dari ex caelis oblatus, bahasa Latin yang artinya “bingkisan dari surga.” Nama itu berasal dari kakeknya yang lahir tanpa diketahui orang tuanya, dirawat di panti asuhan, dan oleh petugas kependudukan diberi nama demikian. Ayahnya, Guilio, sebenarnya ingin Umberto jadi pengacara, tapi dia rupanya lebih tertarik pada filsafat dan sastra.

Waktu Perang Dunia II berkecamuk, dia dan ibunya, Giovanna, pindah ke desa di kaki Pegunungan Piedmontese, sementara ayahnya dipanggil ikut wajib militer. Di desa itu, Umberto mendapat pendidikan dasar dari ordo Salesian (didirikan oleh Santo Francis de Sales pada 1845), yang mengabdikan diri di bidang pendidikan. Dari sanalah Umberto mula-mula tertarik pada segala yang terkait dengan abad pertengahan. Komentarnya tentang zaman antara akhir Kekaisaran Romawi di abad ke-5 hingga awal 15 itu, “Di sana ada skema/bagan rasional sederhana tentang bagaimana mestinya suatu keindahan hadir, di sisi lain ada kehidupan seni inspiratif dan intuitif dengan bentuk dan kedalaman dialektikanya—seolah-olah kedua-duanya merupakan irisan dari permukaan kaca satu sama lain.” Maka di Universitas Turin dia kuliah jurusan filsafat abad pertengahan dan sastra sampai menjadi doktor pada 1954. Namun suatu krisis iman yang terjadi padanya selama masa itu menyebabkan dirinya keluar dari Gereja Katolik Roma.

Umberto, yang dahulu pernah menggunakan nama alias Dedalus, sebentar bekerja di radio pemerintah, RAI (Radiotelevisione Italiana) sebagai editor program budaya, bareng nyambi sebagai dosen di almamaternya. Selama kerja di RAI, dia berkawan dengan Gruppo 63 yang berisi seniman, perupa, pemusik, dan penulis avant-garde. Gruppo 63 berpengaruh penting dalam karier kepenulisan Umberto, karena di sini dia memantapkan pendalaman terhadap studi abad pertengahan, terlebih ketika dia menerbitkan buku pertamanya Il Problema Estetico di San Tommaso (1956), risalah tentang estetika menurut Thomas Aquinas, yang kelak dia kembangkan sebagai tesis. Begitu lulus jadi doktor, dia memulai karier sebagai dosen, mengembangkan riset serta studi kajian sastra dan penulis.

Dia mengukuhkan diri sebagai ahli abad pertengahan tiada banding berkat Sviluppo dell`estetica Medievale (1959). Dua buku ini membuatnya malang melintang sebagai dosen estetika dan semiotika di berbagai universitas Italia, dan hingga kini kerap diundang jadi dosen tamu di sejumlah universitas Amerika Serikat. Setelah kira-kira 15 tahun mengabdi, dia dilantik jadi profesor semiotika pada 1971 di Universitas Bologna. Menerima lebih dari 30 gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di dunia, kini Umberto Eco jadi Presiden Scuola Superiore di Studi Umanistici, Universita Bologna. Prestasi Umberto membuktikan pada sang ayah bahwa ia tepat memilih sastra.
***

DI akademik, lelaki yang biasa tampil brewok ini mengasah ketajaman pemikiran sebagai eksponen utama semiotika. Buku-bukunya mengalir deras. Boleh jadi nonfiksi dia yang paling terkenal ialah A Theory of Semiotics (1976), Travels in Hyperreality (1986), dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984). Meski sebenarnya kira-kira sudah 25 judul dia tulis, mencakup semiotika, linguistik (kajian bahasa), estetika, filsafat, dan moralitas. Misal In Cosa Crede Chi Non Crede? (1996), sebuah buku berisi dialog antara dirinya dengan kardinal Carlo Maria Martini mengenai orang beriman dan murtad. Nonfiksi terakhirnya terbit tahun lalu, Storia della bruttezza, sebuah kajian estetika mengenai keburukan.

Umberto memberi sumbangan pemikiran orisinal pada semiotika; secara bergurau dia memelesetkan semiotika sebagai “ilmu berbohong.” Tulis dia, “Semiotika ialah studi tentang segala yang bisa diambil secara signifikan sebagai pengganti (tanda) untuk sesuatu yang lain. Yang lain ini tidak perlu ada atau benar-benar di suatu tempat persis ketika sebuah tanda menggantinya. Maka pada prinsipnya semiotika merupakan disiplin untuk mempelajari segala sesuatu yang bisa digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu gagal digunakan untuk menceritakan kebohongan, sebaliknya ia gagal digunakan untuk menceritakan kebenaran—bahkan tentu mustahil ia bisa digunakan untuk bercerita apa pun. Saya pikir definisi sebagai teori untuk berbohong harusnya ditempuh sebagai program yang cukup komprehensif bagi semiotika secara umum.”

Tanda (sign) dan simbol (symbol) merupakan sesuatu yang kompleks dan sulit. Di satu sisi semiotika bukan berarti bisa menyangkut segala-galanya, tanda dan simbol ternyata tidak melulu berupa teks (tertulis), melainkan bisa mulai dari proses alamiah komunikasi spontan hingga ke sistem budaya yang kompleks, kode, komunikasi visual, dan komunikasi massa. Di sinilah karyanya Opera Aperta (1962) menjadi landasan yang mengundang pembaca (pemirsa) agar terlibat lebih aktif menafsirkan dan kreatif.

Di fiksi pun demikian, dia telah menulis lima novel yang semua merupakan pergulatan mental dan pemikiran yang disampaikan dalam dunia fiktif dan imajinatif, namun dengan telak mempertanyakan agama, sejarah, analisis teks alkitab, dan penafsiran tentang kebenaran. Novel keduanya Foucault`s Pendulum (1988), disebut Jane Sullivan sebagai “Da Vinci Code milik orang cerdas”, membahas adanya konspirasi kelompok jahat rahasia berkedok agama yang hendak menguasai dunia dan terkait sisa-sisa peninggalan bersejarah Knights Templar—sebuah ordo militer Kristen di zaman Perang Salib I. Fiksi terakhirnya ialah La Misteriosa Fiamma Della Regina Loana (2004). Umberto bahkan masih sempat menulis cerita anak, bekerja sama dengan ilustrator Eugenio Carmi, antara lain I tre Cosmonauti (Tiga Astronot) dan Gli Gnomi di Gnu.

Pergumulan Umberto yang begitu intens dengan berbagai macam teks dengan baik menggambarkan konsep intertektualitas, yakni keterkaitan segala jenis karya sastra sekaligus menerapkan bangunan gagasan bernama opera aperta (karya terbuka), dipadankan dengan konsep teks tertutup dan terbuka (open and closed texts). Dia mengkaji teks dari zaman pertengahan hingga zaman internet, sementara di rumah dia mengoleksi lebih dari 50.000 judul—yang disimpan di rumah keluarga dan rumah liburan. Keterkaitan teks dalam semua karyanya bisa sangat imajinatif sekaligus kreatif, melibatkan tokoh faktual, tokoh fiktif, termasuk menghadirkan tokoh fiktif dengan karakter berdasar tokoh sejarah.
***

*) Anwar Holid, Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

Bahasa ยป