Baskara T Wardaya SJ
Kompas, 8 Mei 2009
DALAM mengkaji suatu peristiwa historis tertentu yang titik tolaknya adalah kesaksian seorang pelaku sejarah, secara teoretis kita perlu memilah antara ”apa yang terjadi” dengan ”apa yang diingat oleh seorang pelaku sejarah tentang apa yang terjadi”. Perlu memilah antara ”peristiwa” dan ”ingatan akan peristiwa”. Baskara T Wardaya
Dalam kaitan dengan ini tak kalah penting adalah memilah antara pemaparan berdasar ingatan yang dilakukan oleh seorang pelaku sejarah tentang apa-yang-terjadi, dan tinjauan deskriptif-analitis yang dilakukan oleh seorang sejarawan atas apa-yang-terjadi.
Bekal pemilahan seperti itu diperlukan untuk mencermati buku yang ditulis Soemarsono, seorang pelaku sejarah dalam Peristiwa Madiun 1948. Oleh narasi resmi, apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 disebut sebagai sebuah ”pemberontakan”.
Menurut narasi ini, pemberontakan dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia melawan pemerintah pusat Republik Indonesia. Selanjutnya dikatakan, pemberontakan itu dilancarkan karena para anggota partai tersebut ingin ”merebut kekuasaan” dengan cara mendirikan ”negara Soviet” di Madiun dan sekitarnya.
Masih menurut narasi resmi, tentara pemerintah bereaksi dengan bergerak cepat guna memadamkan pemberontakan. Dalam waktu relatif singkat, pemberontakan dipadamkan dan pemimpin-pemimpinnya dihukum mati.
Karena disampaikan oleh pihak ”pemenang”, dengan mudah pemahaman menurut narasi resmi macam itu menyebar ke masyarakat sebagai narasi dominan dan cenderung dianggap sebagai kebenaran tunggal, apalagi penjelasan demikian tentu terasa masuk akal dan mudah dicerna, bahkan kalau beberapa bagiannya masih patut dipertanyakan.
Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno apa yang terjadi pada tahun 1948 itu disebut sebagai ”Peristiwa Madiun 1948”, oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya diubah menjadi ”Pemberontakan Madiun 1948”.
Sebagai konsekuensinya, oleh Orde Baru tindakan eksekusi atas mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan kawan-kawan dipandang ”logis”, ”sah” atau mungkin bahkan ”sudah seharusnya”.
Ini juga dibutuhkan sebagai bagian dari perangkat legitimasi kekuasaan Orde Baru itu sendiri, khususnya dalam tindakan-tindakan anti-kirinya.
Akibat
Paparan menurut narasi resmi tersebut ternyata sangat berbeda dengan apa yang dapat kita baca dari buku ini yang menekankan pada ingatan seorang pelaku sejarah atas apa-yang- terjadi. Sebagai salah seorang pelaku langsung dari apa-yang- terjadi di Madiun pada akhir tahun 1948 itu Soermarsono berusaha menuturkan kembali apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan apa yang ia alami. Hasilnya adalah narasi lain yang berbeda dari narasi resmi.
Ada dua argumentasi pokok yang muncul dari narasi Soemarsono ini. Pertama, Peristiwa Madiun sama sekali bukan merupakan pemberontakan apalagi perebutan kekuasaan. Dengan tegas Soemarsono mengatakan, pada tahun 1948 di Madiun tidak ada coup d’tat (perebutan pemerintahan nasional) maupun coup de la ville (perebutan pemerintahan kota). Pun tak ada maksud memisahkan diri dari pemerintahan RI di bawah Presiden Soekarno. Soemarsono tetaplah seorang pengagum Bung Karno hingga hari ini.
Apa yang terjadi di Madiun lebih merupakan reaksi saja atas provokasi-provokasi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ia sebut sebagai bagian dari ”teror putih” yang sedang merajalela saat itu.
Teror putih itu, menurut dia, sengaja dilancarkan dengan maksud untuk menggilas gerakan-gerakan kiri prorakyat, khususnya para pendukung Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Berbagai tindakan politis yang diambil oleh dia dan kawan-kawannya lebih merupakan langkah-langkah darurat guna membela diri serta upaya untuk menyelamatkan situasi. Hal ini terbukti dengan surat yang dikirim oleh para pemimpin di Madiun kepada pemerintah pusat di Yogyakarta dengan bunyi ”meminta instruksi lebih lanjut”.
Jika maunya berontak, kata Soemarsono, tentu tidak akan ada permintaan akan instruksi lebih lanjut ke pemerintah pusat seperti itu.
Kedua, Peristiwa Madiun lebih merupakan akibat daripada sebab. Pangkal penyebab dari semua yang terjadi itu adalah apa yang disebut sebagai Red-Drive Proposal, sebuah dokumen rahasia berisi rencana yang disusun oleh para petinggi Pemerintahan Kabinet Hatta bersama wakil-wakil dari Amerika Serikat untuk menghabisi kekuatan kiri di Indonesia.
Konteks
Di mata Soemarsono, pidato Bung Karno pada tanggal 19 September 1948 malam memang keras dan emosional, tetapi hal itu terjadi karena Bung Karno sedang ”digunakan” oleh pemerintahan waktu itu, yang notabene sangat anti-kiri dan sedang berniat untuk menghantam unsur-unsur kiri di Tanah Air.
Pidato tanggapan dari Musso pada malam yang sama juga dipandang sebagai keras dan emosional, tetapi hal itu dilakukan karena Musso sedang marah sebab dituduh memberontak, padahal tidak.
Di tengah situasi demikian, sebenarnya pertentangan yang ada masih bisa diselesaikan dengan baik, yakni dengan pencarian suatu solusi politik yang damai. Apa boleh buat, sebelum solusi damai itu ditemukan sudah telanjur ada pihak-pihak tertentu yang buru-buru ingin menggunakan kekerasan militer untuk menyelesaikan masalah.
Di tengah ketegangan yang terjadi di Madiun itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat mengirim seorang utusan khusus dari Yogyakarta guna menilik situasi di sana dan sesampai di Madiun memang didapatinya bahwa tidak ada pemberontakan. Antara sang utusan dan Soemarsono berlangsung percakapan dan relasi yang sangat baik karena keduanya memang telah lama saling mengenal.
Anehnya, sekembalinya dari Madiun ternyata utusan tersebut tidak memberi laporan yang sebenarnya kepada pihak yang mengutusnya. Akibatnya, pemerintah pusat di Yogyakarta memandang apa yang terjadi di Madiun sebagai sebuah perebutan kekuasaan dan memutuskan untuk menggunakan kekerasan guna menguasai kembali kota tersebut. Nama utusan itu Letkol Soeharto.
Meskipun telah dituduh merebut kekuasaan, para pemimpin di Madiun tetap ingin menunjukkan diri bahwa bagi mereka musuh utama bukan Pemerintah RI atau saudara sebangsa melainkan Belanda.
Itulah sebabnya ketika dikejar-kejar oleh tentara pemerintah mereka lari ke arah garis demarkasi dengan Belanda di Jawa Tengah bagian utara. Maksudnya adalah untuk berperang melawan Belanda di sana. Termasuk di antara para pemimpin itu adalah mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Ironisnya, justru ketika sedang berada di garis depan dan menyiapkan diri untuk bertempur melawan Belanda itulah mereka ditangkap untuk kemudian dieksekusi tanpa melalui proses hukum.
Kuatnya ingatan
Tecermin dalam buku ini betapa kuatnya ingatan Soemarsono sebagai seorang pelaku sejarah. Ia tidak hanya mampu mengingat dan menuturkan kembali mengenai apa yang terjadi pada tahun 1948 di Madiun, melainkan juga mengenai jatuh-bangun perjuangan dia dan kawan-kawannya dalam merebut dan mempertahankan Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Dengan jelas dan dengan nuansa keterlibatan pribadi yang tinggi, ia tuturkan kembali bagaimana ia berjuang sejak zaman Jepang, dalam Pertempuran Surabaya bulan November 1945, kegiatannya setelah itu, serta apa yang terjadi dalam hidupnya kemudian.
Tak lupa ia ceritakan pula bagaimana atas keterlibatannya dalam berbagai peristiwa itu ia justru ”diganjar” dengan masa pengasingan selama 14 tahun dan hukuman penjara Orde Baru selama 9 tahun. Bahkan, setelah itu ia harus tinggal di negeri asing, hingga sekarang.
Guna memahami narasi-narasi tentang Peristiwa Madiun secara lebih utuh, perlulah kiranya melihat apa yang terjadi waktu itu di dalam konteks yang lebih luas. Misalnya konteks Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet, yang keduanya memiliki kepentingan besar di Indonesia.
Juga konteks pertentangan antara tentara eks-KNIL dan laskar-laskar rakyat hasil didikan Jepang. Tinjauan dengan melibatkan konteks lebih luas seperti ini penting karena olehnya kita bisa terbantu untuk melihat permasalahan secara lebih utuh dan pada tempatnya. Apalagi, mengingat bahwa narasi resmi disampaikan dengan dorongan kepentingan kekuasaan, sementara narasi pelaku sejarah lebih merupakan tuturan atas apa yang terjadi, tetapi sejauh yang dialami dan diingat oleh pelaku tersebut.
Pemahaman akan konteks lebih luas diharapkan akan membantu menjembatani keduanya. Pada titik inilah tinjauan deskriptif-analitis dari sejarawan menjadi penting. Sekaligus, pada titik ini pulalah buku ini mengandung kelemahan.
Apa pun kelemahannya, oleh buku ini kita disadarkan kembali bahwa baik kelompok-kelompok ”kanan” maupun kelompok-kelompok ”kiri” waktu itu sebenarnya sedang sama- sama ingin mengusir Belanda dari Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan itu masing-masing pihak mengharapkan dukungan internasional. Bedanya, yang satu mengharapkan dukungan itu datang dari Blok Barat, sedangkan kelompok lain berharap dari Blok Timur.
Namun, jelas sekali bahwa baik mereka yang berada di ”kanan” maupun yang berada di ”kiri” sedang sama-sama ingin memperjuangkan kepentingan bersama dan bukan kepentingan-kepentingan pribadi.
Satu hal yang juga terasa kuat dari buku ini adalah tak dapat diragukannya komitmen dan dedikasi Soemarsono sebagai pelaku sejarah dalam usahanya memperjuangkan kepentingan bangsanya sejak muda hingga masa tuanya.
Kiranya komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh banyak orang lain dari generasinya Soemarsono, entah mereka yang berada di ”simpang kiri” ataupun di ”simpang kanan” sejarah Indonesia. Kita berharap, komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh para pejuang rakyat dari generasi-generasi selanjutnya, termasuk generasi sekarang ini.
***
*) Baskara T Wardaya SJ, Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP)/ Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.