Puisi-Puisi Agus R. Sarjono

Republika, 11 Juli 1999

Di Jembatan Mirabeu

Di bawah jembatan Mirabeu,
mengalir cinta Appolonaire juga cemasku.
Kupandangi langit biru
dan terbayang kembali jembatan merah.
Siapa yang mengecatnya dengan warna darah?

Kuteliti pasporku, jejak-jejak gawat
dan kusam tertera di sana,
jejak negeri kerinduan
serupa bimbang dan rindu dendam
luka-luka yang terus dibikin dan dipendam.

Di bawah jembatan Mirabeau, melaju sungai Seini
juga Bengawan Solo di batinku yang rusuh
penuh mayat yang terapung dan mengalir
sampai jauh, bersama darah
yang tak putus-putus tumpah di banyak tempat dan peristiwa.
Amisnya tercium sampai kemari.

1999

Air Mata Hujan

Jangan bidikkan aku, ronta Bedil sambil menggigil. Diam!
Bentak tangan. Aku harus meledakkan anak-anak itu.
Tapi mereka masih belia ! Lihatlah senyumnya yang muda
dan mereka tidak meminta lain selain kesejahteraanmu juga.
Bukankah engkau sering mengumpati gaji yang tak cukup
nafas hidup yang sempit, hingga harus berderap kian kemari
mengutip sesuap nasi

Jangan bidikkan aku, raung Bedil. Diam ! Ini bukan persoalan
bukan persoalan pribadi, hardik Tangan. Ini masalah politik.
Satu dua nyawa
sebagai taktik. Tapi ini bukan soal angka,
bukan soal satu dua
tapi soal ibu meratap kehilangan, soal dimusnahkannya
satu kehidupan
soal masa depan manusia yang dibekam. Soal hal……
Tutup mulutmu barang dinas ! Kamu hanya alat
dan jangan berpendapat. Itu urusan politisi di majelis sana
Tapi mereka hanya bahagia ! Sergah Bedil.
Mereka
tak pernah peduli padamu, pada mereka, pada yang miskin
dan teraniaya. Mereka tak mengurusi siapa-siapa selain
dirinya. Dor !
Bedil itu tersentak. Jangan …… Dor….dor…..dor….
dor……. Selesai sudah

gumam tangan. Bukankah ini sudah berlebihan, isak Bedil.
Entahlah, gumam Tangan, aku tak tahu. Aku penat.
Aku hanya ingin istirahat. Semoga istri dan anak-anakku
di rumah sana semuanya selamat.

Bedil itu menjelma hujan. Tak putus-putusnya
mencurahkan airmata.

1998
(Dibacakan di Trisakti, 18 Juni 1998)

Demokrasi Dunia Ketiga

Kalian harus demokratis. Baik, tapi jauhkan
tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau… Tutup mulut! Soal tinjuku
mau kukepalkan, kusimpan di saku
atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya kamu harus demokratis. Lagi pula
kita tidak sedang bicara soal aku, tapi soal kamu
yaitu kamu harus demokratis!

Tentu saja saya setuju, bukankah selama ini
saya telah mencoba… Sudahlah! Kami tak mau dengar
apa alasanmu. Tak perlu berkilah
dan buang waktu. Aku perintahkan kamu
untuk demokratis, habis perkara! Ingat
gerombolan demokrasi yang kami galang
akan melindasmu habis. Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis.
Awas kalau tidak!

1998

Di Apartemen Erick

Di apartemen tingkat sepuluh,
di pinggiran Utrecht bintang-bintang tak kelihatan.
Tapi lampu-lampu kota berkedipan bagai kunang di jauhan.
Di luar badai salju dan angin kencang.
Kami lepas mantel dan hati yang tegang.
Erick, Inggrid, Nenden, Karen dan Medelin saling berpandangan,
menghirup teh panas
membuka buku puisi dan memetik gitar.

Kami nyanyikan lagu-lagu lama.
Nyiur hijau di tepian pantai yang jauh, desaku
wahai desaku yang kucinta tanah air beta.

Sambil mengusap airmata, seperti mengusap luka
dan sakit yang purba,
Medelin melenguh diam-diam

Sudah berlayar jauh kemari
ooh jauh kemari, tanah Ambon
wahai tanah Ambon selalu saja berdebur dalam ingatan.
Tapi malam telah kelewat dalam.
Di bawah badai salju kami berarak menuju halte sambil berseru
Que sera-sera, apa yang bakal terjadi biar terjadi
Kamipun faham akhirnya.
Tanah air abadi selalu serupa mimpi.
Negeri-negeri yang dicintai,
kenangan-kenangan lama yang enggan mati.
Di dalam kereta kami biasakan diri
menjalani patah hati ini.

1999

Di Sebuah Restoran Indonesia, Juni 1998

Berilah kami sepiring makanan, dengan menu bergizi.
Maafkan kami.
Sudah lama restoran kami tidak menyediakan lagi nasi, apalagi lauk pauk.
Lalu apa yang bisa kami pesan?
Oh, Anda bisa memesan semangkuk isu politik, misalnya.
Persediaan kami lengkap:
isu-isu dingin maupun isu panas.

Berilah kami sepiring nasi dengan lauk pauk seadanya.
Maafkan kami, jangan memesan yang aneh-aneh.
Semua itu barang mewah.
Ingat ini jaman krisis dan reformasi.
Cobalah memesan yang lebih murah:
anarkhisme atau partai politik.
Di sini tersedia berbagai jenis partai
dari yang lunak hingga yang keras.
Kami juga sedia partai atau politisi instan.
Murah dan meriah.
Bisa dibungkus dan dibuka beramai-ramai di dalam rumah.

Sebagai pembuka kami sajikan segelas
anggur reformasi: segar dan penuh semangat.
Kalian bisa berbicara dan mengutuk keadaan sekeras-kerasnya.
Nah, selamat jalan.
Semoga Anda jadi pahlawan.

1998

Bersama para TKW

Aku memandang wajah-wajah saudaraku
dengan mata berembun
berbaris ke negeri orang
ke negeri para majikan.

Apakah yang mereka renungkan?
Wajah para tuan yang memungkinkan mereka naik

pesawat terbang
memperkenalkan peradaban dunia, musim dan bendera

berbeda.
Atau mereka bayangkan
tanah air hamparan negeri dengan berbagai sebutan
dan lagu-lagu yang ditanam guru-guru sekolah ke

dalam batin
Juga potret-potret pahlawan yang mengabur
dan kini digantikan orang-orang berbaju safari

dan pakaian seragam
yang begitu sering mondar-mandir di jalanan nasib

mereka.

Begitu royal para petinggi itu
menghibahkan berbagai perintah, pungutan dan

larangan
hingga tiba-tiba semua orang menjadi akrab
dengan berbagai macam kehilangan

Dari atas pesawat,
kupandangi hamparan tanah air hijau dan lapang,
namun begitu sempit hingga mereka tak mampu
bahkan untuk sekedar menarik nafas dan membangun

kehidupan.
Ketika waktu makan tiba
kulihat begitu lahap mereka santap sajian di

pesawat:

Ikan tuna saus mentega,
nasi gurih panas,
kue coklat krim buah,
segelas sari jeruk.

Seperti hidangan raja-raja,
mungkin begitu batin mereka.
Dan kini kulihat mereka sepenuhnya
siap menjadi sahaya di mana saja di dunia.

***

Bahasa »