Puisi-Puisi Marhalim Zaini

nasional.kompas.com

mitos satu:
indrapura, melayu champa

yang tumbang, saat ia menyerang
dari arah laut
adalah betismu, puteri dai viet

yang tengah rekah meminum embun
dari langit champa
adalah bibirmu, mengucap-ucap
daulat rajaku, daulat tuhanku

bahwa pedang pipih (yang kelak menancap)
pada rahim pantaimu
pada ruas arus di dadamu
darahnya akan jadi sejarah
yang terus berlayar
mengaji sungai merah
mengurai marwah
maka sebagai penunggu laut
aku kenali dikau
lewat isyarat warna langit
seperti warna punggungmu
yang keperakan
berkejaran bagai kaki hujan
di permukaan gelombang
tapi di kedalaman sempadan
pada rahang panjang
ikan-ikan berkulit licin
kutemukan sebutir pasir
berwarna lumut
seperti warna matamu
yang kerap sembab
di lembab batu
didekap rindu
tapi bukankah hanya karena sisik
maka kita dapat saling bertemu
dalam sangkar emas
di kota-kota mati
dari majapahit ke vietnam
(ketakutan itu, katamu
dapat membunuh ingatan
tentang rasa cemburu
melukai keyakinan
iman para pemburu)
lalu apa yang kau tulis
di atas ranjang raja jaya
saat aku kini nakhoda buta
hendak jadi jatnaka
atau hang tuah yang setia
apakah syair cinta itu
yang menggoda malaka
untuk mencium indrapura
tapi aku orang cham
orang cham yang pelupa
bahwa di tahun seribu itu
kau menyerang dari laut
sambil berteriak
todak, todak, todak
(apa yang kau rampas
adalah bendera putih
dari sobekan kelambu
ranjang kayu masa lalu
adalah sakit hati
atas kekuasaan waktu
yang hendak kau pinang
yang hendak kau timang)
tapi bukankah berkali-kali
kita menjauh dari remang
berkali-kali pula jatuh
sebelum terbang

mitos dua:
kampung gelam, melayu singapura

telur itik di singgora
pandan terletak dilangkahi
darahnya titik di singapura
badannya terhantar di langkawi

lihatlah telapak tanganku, puan
dari pasai, garis-garis itu bersilangan
tak ada ujung yang patah, pada pangkal
ia tersadai
mungkin pinang terbelah itu,
bukan sihir di matamu, bukan pada dendam
mestinya dikutuk, tapi sebagai tun,
merantau adalah janji, seperti pantun
sampiran adalah juga isi
aku pernah datang pada maghrib,
saat suamimu raib, di hujung pasar
sebuah kampung pernah gusar, padahal
tak sampai ke ceruk aku bertamu, tak pula
ke lubuk sampaiku di hatimu
apakah ini cinta, atau gelap mata,
kadang orang tumbang di tengah dendang,
saat orang bilang maling pada pendatang,
kadang, aku bimbang pada tumbang,
saat kau telanjang sambil melenggang
alahmak, aduhai, alangkah,
bahwa murka, adakah ia lupa pada tuhan,
sebab wahai, kezaliman ini milik siapa,
jika tertangkap kita, mari selingkuh,
atau dibunuh
maka aku mati, kerismu menusuk
di hatiku, kelak kau luka jika tak berduka,
tapi suamimu raja singapura, tegak berdoa
bagai tak rela, entah kau si penabur bunga,
entah menangis entah menahan tawa
todak, todak, todak, suara siapakah
yang bergelombang itu, nelayan tak melaut
seribu tahun lalu, maka takutlah sejarah,
pada dayung patah, pada sampan terbang,
ikan-ikan yang tak pandai berenang
tapi si gladius menombak,
menyibak air birahimu, ini jantan atau betina,
pada puncak arus ikan-ikan kecil berdansa,
si tuna atau brakuda, tak penting pada siapa
ia memangsa, makan, makan, makan
lalu itukah hening, yang kau ceritakan
pada anak sungai, sehabis badai, setelah kematian
merebak di mana-mana, padahal itulah asin,
anyir darah dari nyeri, rasa sakit pulau-pulau,
itulah sepi, detak jam yang mati
hang nadim, hang nadim, hang nadim,
lalu anak-anak bangkit, orang tua yang pandai
membunuh, yang tumbuh tak mesti api, tapi sirih
merambat di tiang langit, memanjat bagai semut,
dan tengoklah, tangan tuhan siap menyambut
maka jadilah kami batang pisang,
berbaris di sepanjang tanjung, sepanjang tahun,
atau jadilah kami cumi-cumi, yang menanti janji
di akhir hari, sebilah keris akan kami warisi,
setelah jantung dan lambung kami, terburai
di paruh hiu bertulang sejati

mitos tiga:
pulau halimun, pulau laut

yang menyerang, saat tubuh datu’ semedi,
dari arah laut,
adalah ribuan ikan bergigi tajam

kau bertanya, apakah sejarah ikan
adalah sejarah perang,
laut tak pernah bertanya
kenapa tubuhnya bergelombang

beginilah ia, mereka,
percakapan dimulai dari rasa haru
memandang biru sebagai gemuruh
dari dasar hitam matamu

apakah kau berdusta,
pada raja todak, atau pada segala
yang bernama air, bahwa samudra
telah pecah,
dan berkawin dengan tanah

maka terpelantinglah aku,
ke lubuk, mungkin rawa yang dulu
kau cintai, bukan teluk yang buruk
oleh musim abu,
jerebu dari api gambut

dan tengoklah,
yang melompat dari dasar laut,
melepas hama di sekujur tubuhmu,
ini anak-anak kandungku, katamu,
tapi siapa yang mengutuk batu
hingga pulau ini tenggelam,
dan kau tangisi saban malam

padahal wahai,
yang seketika timbul ke bumi,
tumbuh dari kesetiaan adalah
sebuah daratan,
inikah harapan itu,
hujan yang seketika jatuh dari
mata langit, juga matamu,
inikah mitos
pengkhianatan itu

Pekanbaru-Yogyakarta, 2010

Marhalim Zaini lahir di Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Buku puisinya adalah Segantang Bintang Sepasang Bulan (2003) dan Langgam Negeri Puisi (2004). Kini ia tengah mengupayakan penerbitan buku puisinya yang ketiga, Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu.