Judul : Dalam Kasih Ibu
penulis : Triani Retno A., dkk
Penerbit : Glitzy Book Publishing dan Kompas Gramedia Building, Jakarta
Cetak : 2011
Tebal : 90 halaman
Peresensi : Budiawan Dwi Santoso *
lampungpost.com
SIAPAKAH makhluk paling indah yang pernah hadir di dalam hidup semua manusia? Siapakah orang yang pertama harus kita hormati di dunia? Siapakah yang sejak pagi hingga malam menjelang tak kenal lelah menjaga dan merawat keluarga? Maka, jawabnya adalah ibu.
Pertanyaan dan pernyataan itulah, yang memang pantas hadir di dalam buku berjudul Dalam Kasih Ibu (2011). Dalam buku itu juga ibu menjadi tokoh dan pokok dalam kehidupan manusia ini. Kehadirannya memberikan suatu percikan-percikan semangat bagi kehidupan keluarga itu sendiri maupun bagi pembaca. Dan, pembaca secara langsung atau tidak langsung akan mengalami instropeksi dan refleksi diri terhadap sosok ibu.
Proses itu yang memberikan pada kita semua untuk melakukan kritik dan otokritik terhadap sikap dan perilaku ibu dalam kehidupan sehari-hari kita. Kritik dan otokritik terhadap ibu dalam buku ini dilakukan Amalia Husna.
“Mamah adalah wanita karier yang supersibuk…. Kesibukan mamah yang pergi pagi dan pulang sore membuat kami jarang berbincang-bincang. Hari-hari kami lalui begitu saja, monoton. Pagi, siang, sore, malam, mamah sibuk dengan urusannya, dan aku pun sibuk dengan urusanku,” ungkap Amalia Husna. Di sinilah, ibu menjadi sosok yang kurang akrab baginya. Namun, pada akhirnya, Husna mengakui kesibukan ibunya itu justru menjadikan dirinya anak yang bertanggung jawab dan mandiri. Baginya, ibu juga menjadi penghantar keberhasilannya meraih gelar sarjana, dapat membuka usaha sendiri bersama suami, dan keberhasilan lainnya.
***
Fragmen kisah ibunya Amalia Husna juga menjadi sebuah representasi kecil dari buku ini bahwa pergaulan atau hubungan ibu dengan keluarganya selalu memberi ketegangan-ketegangan sendiri. Sikap dan perilaku ibu bisa menjadi pemicu adanya ketegangan dan konflik di dalam keluarga, khususnya dengan si anak.
Dalam sudut pandang lain, sosok ibu selalu menjadi inspirasi bagi si anak. Ia menjadi guru bagi anak. Dan, ia menjadi teman sejati bagi si anak. Itu seperti yang dialami Eka Natassa Sumantri dan Putu Felisia.
Dalam Mama, Kotak Ilmuku, Eka Natassa Sumantri memberikan pengakuan bahwa “mamanya” selalu melibatkan dalam proses kreatif seperti mengesum baju, memasang kancing, belanja kain puring, dan lain-lain. Dan, itulah pembelajaran yang diberikan mamanya. Dan yang lebih penting lagi, mamanya banyak mengajarkan tentang kesetiaan, tanggung jawab, transfer ilmu, ilmu komunikasi dan konsistensi, cara mengelola waktu, bernegosiasi, dan berpikir positif.
bagi Putu Felisia, ibu adalah sahabat terbaiknya. Sahabat yang sangat penyayang. “Mama is the best!” tegasnya.
***
Menariknya, buku yang ditulis lima belas penulis dalam buku ini tak sekadar memberikan penghormatan pada sosok ibu. Mereka ternyata memiliki kepedulian terhadap dunia buku. Dunia yang menjadi simbol pengetahuan sekaligus kemajuan peradaban manusia.
Kepedulian mereka itu akan diimplementasikan dengan cara memberikan seluruh royalti buku ini kepada Rumah Dunia— rumah yang didirikan Gola Gong bersama kawan-kawannya (Tias Tatanka, Toto S.T., dan almarhum Rys Revolta). Konon, royalti tersebut digunakan untuk membebaskan tanah Rumah Dunia seluas 1.873 meter persegi dengan harga Rp200 ribu/m2. Pasalnya, Rumah Dunia itu bukan hanya rumah ilmu pengetahuan (jurnalistik, sastra, teater, rupa, swara, dan film) yang hanya untuk masyarakat di Serang Banten. Namun, juga bagi semua orang yang berasal dari Sabang hingga Merauke bahkan menyeberang ke Amerika, Korea, Prancis, Belanda, dan Jepang.
Pembaca pun akan mengetahui Dalam Kasih Ibu, ternyata ada kasih terhadap buku juga. Ini yang membuat pembaca memberi persepsi lain lagi bahwa ibu itu seolah-olah sama dengan buku. Ia menjadi pembimbing dan pendidik bagi si anak. Ia pula yang menjadikan kita semua terhindar dari kebodohan; yang membuat kita lebih manusiawi; sukses; dan menjadi penentu masa depan yang tenteram, cerah sekaligus sukses. Jadi, ibu, buku, dan anak ibarat busur dengan anak panah. Maksudnya, “anak panah sendiri, tanpa busur (ibu/buku), barangkali tak berarti apa-apa dan tak pernah akan meleset ke mana-mana.”
11 December 2011
*) Budiawan Dwi Santoso, pembaca buku tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah.