MILLENIUM DAN DILEMA MASAKINI

Suryanto Sastroatmodjo

1.
Pada salah satu bagian dari “Serat babad Dipanegara” terurai kisah, bahwa Pangeran yang mencetuskan perang jawa terbesar (antara 1825-1830) ini pernah berkeinginan menciptakan satu legalisme populatif, yang diemban oleh “nilai datu-datu”. Sang Pangeran, yang nama kecilnya adalah Raden Mas antawirya itu pergi bertapa di Gunung rasamuni, pesisir kidul, dan bertapa sedemikian kerasnya, hingga ruhnya sempat berdialog dengan ratu Kidul. ”Apakah sebenarnya yang kaukehendaki lewat tarakbrata ini, nanda Pangeran?” Tanya sang Ratu Kidul. Jawab Dipanegara : “Hamba ingin menjadi juruselamat Tanah Jawa, sepanjang masa, dalam gelar Ratu Adil Herucakra Amurilmukminin. Adapun dengan cara ini, hamba ingin melaksanakan pembebasan rakyat dari kongkongan si kulit putih.” Kalau demikian halnya, maka zaman-zaman Masadatang, suatu Millenium yang dijanjikan, niscaya akan didukung oleh tugas suci yang diwakilinya. Ratu Kidul merestui, dan Dipanegara mengakhiri tapabrata ini. Sejarah kemudian mencatat, bahwa gerakan yang dicanangkan dan diderukan di atas gelombang kemiskinan rakyat, akan diuji situasi. Dan mungkin, ia hanya seorang di antara yang mencobanya!

2.
Berbicara tentang millennium, dapatlah kita ungkap sebagai berikut. Seorang peneliti sosial dari Swedia, Prof. Bernward Joerges dalam tulisannya di harian “Dagens Nyeheter” tahun silam mengatakan, akibat dari kolonialisme dan imperialisme maka kronologi Gregorian kita, yang dimulai dengan tanggal yang diduga sebagai kelahiran Kristus, telah diterima di bagian terbesar dari dunia.” Maka tahun 2000 kelak akan menjadi tanda dari suatu zaman baru seluas dunia bagi bagian terbesar manusia. Dikatakannya, semua orang cenderung dengan peristiwa tersebut.” Ada pihak-pihak meramalkan, millennium yang baru itu akan mengantarkan suatu masa, manakala pertambahan penduduk dunia tidak terkendali dan hancurnya lingkungan hidup kita. Polusi udara akan mengubah atmosfir bumi menjadi rumah kaca yang teramat panas. Puncak-puncak gunung es akan mencair dan permukaan air laut akan naik, membanjiri daerah-daerah produktifdan berpenduduk, namun mengubah jutaan hektar tanah pertanian menjadi padang gurun. Rasanya, para peramal akan punya spekulasi yang panjang, tetapi keyakinan yang pendek sekali bila menyangkut millennium yang sedang mendekat. Apa sebenarnya yang akan ditawarkan oleh tahun 2000, hanya sang waktu yang akan menyingkapnya. Jikalau alkitab bisa dipercaya, limpahan bukti tersedia bahwa kita sudah berada di ambang suatu meillenium yang akan mulai kurang dari satu decade yang akan datang, dan ini akan jauh melebihi pengharapan manusia manapun sepanjang sejarah.

3.
Sejumlah ahli sejarah pernah mencatat perkembangan nasionalisme, yang diawali dari kuatnya golongan menengah dan sistem kapitalisme yang membantu pertumbuhan ilmu pengetahuan, sebagai akibat pengaruh reformasi. Niscayalah Reformasi merupakan salah satu faktor penting yang mendorong gagasan-gagasan berfikir independen yang tidak selalu sejajar dengan pandangan dunia yang resmi, sebagaimana dituntut oleh hirarki Katolik. Hal ini menumpuk kepentingan-kepentingan nasional, yang mendorong usaha-usaha industri dan juga riset-riset keilmuan yang ditopang oleh “gengsi” nasional. Umumnya, sarjana Inggris yang aktif antara abad 16 dan awal abad 17 adalah kaum pendeta. Di sini nampak, kelapangan gerak birokrat gereja yang langsung memasuki persoalan politik, pemerintahan perdagangan, bahkan juga falsafah ilmu pengetahuan. Malah, akibat soal ini, maka kaum imam kemudian cenderung limbung pada pemikiran-pemikiran rasional gaya Descrates dan Newton. Maka intuitif, tokoh-tokoh gereja dipacu pula untuk memberikan sumbangsihnya kepada teknologi, sebagai pangkal tumbuhnya ilmu dan pembangunan bangsa, dari aspek duniawi.

4.
Wejangan-wejangan keIslaman mengatakan, tujuan tasawuf adalah makrifat Tuhan dalam suatu kondisi rohani yang merasakan kemesraan dekat denganNya. Sebab itu, tasawuf juga disebut Irfan, sedang para pengamalnya dinamakan ahlul irfan. Sehubungan dengan itu, Ibn Sina berkata, para pencari Ketuhanan terbagi dalam jenis zahid (asketik) dan abid (pengamal ibadah) dan arif (tingkat tertinggi dalam upaya mencari kebenaran dimaksud). Para ahli tasawuf misalnya, selain shalat lima waktu yang wajib mengenal tata cara zikir (ingat selalu pada Tuhan), yang disampaikan secara “jahar” (suara), juga zikir dengan “khafi” (hatinya), di mana kesejatian iman akan terpelihara lewat kebiasaan ini. Situasi rohani yang terhadap “Kawusanan Ingkang sampurna” (Kasunyatan Akhir). Sebagai upaya mendandani akhlak diri sendiri dan akhlak masyarakkat. Ajaran-ajaran ikhsan kaum sufi misalnya menekankan, bagaimana dia harus menyelamatkan kaumnya, kini dan hari nanti, dalam satu rangkaian-penyelamatan dunia yang intensif-positivistis. Kalau demikianlah tiada mustahil, bagaimana petilasan Wali’ullah, sebagai umumnya tokoh sufi dunia, dihormati hingga setelah dia tiada, dan menjadi mysterium tramendum et fascinosum, yang memiliki daya tarik maha besar bagi mereka yangmerasakan getaran-juangnya.

5.
Betapapun juga, usaha untuk mencari pengertian dalam agama telah menimbulkan penggunaan bahasa dengan lambing-lambang atau simbol, analogi-analogi dan model-model. Lambang-lambang itu misalnya “Raja, Terang, Anak Domba, Api dan Mega”—sebagai istilah-istilah biasa dalam bahasa keagamaan. Lambang-lambang keagamaan itu tentunya tiada setepat istilah-istilah dalam ilmu pasti dan ilmu-ilmu lainnya.Kita misalnya terdorong mengatakan seraya menggunakan istilah-istilah kedalaman dan ketinggian mengenai hakikat Allah atau mengenai transendensiNya, sama artinya dengan menggunakan suatu analogi buat menyatakan sesuatu secara sederhana, tetapi jelas. Ini untuk menghindari bahasa berbelit-belit yang hanya dipahami oleh ahli-ahli teologi professional. Dalam pada itu, lambang-lambang keagamaan punya hubungan yang lebih mesra dengan kejadian-kejadian historic serta pengalaman umum manusiawi.Maka dalam aspek-aspek tertentu, lambing-lambang religious berlaku sebagai perlambang puitis yang bersifat mengajak, memberikan semacam kesan tentang rasa aman dan damai—sedangkan wujud dari cerah-terangnya sinar ini, sedemikian jauh mengajak ummat untuk mecari pola kepemimpinan yang paling tepat.

6.
Dewasa ini, ahli sosiologi makin memperhatikan gejala sosial dari agama sebagai “kefaktaan sosiologis”, dan di mana studi baru-baru ini makin menunjukkan, misalnya bagaimana suatu masjid di tengah perkampungan padat, dapat lebih menyejukkan hati manusia yang hidup berdempet-dempet (yang biasanya lemah secara moral), sehingga mereka terpanggil untuk beribadah secara tetap, dan menahan diri dari perilaku-perilaku yang tercela. Sebuah gereja yang terletak di dekat pabrik rokok misalnya, akan mendorong banyak orang berfikir, bagaimana korelasi antara usaha untuk hidup bersih dan menanggulangi nekotin, dan betapa agungnya ibadah bagi manusia yang tak menyia-nyiakan uangnya untuk sesuatu yang muspra. Di Inggris, diteliti, kenapa belakanagan ini rumah-rumah Tuhan itu makin dibanjiri oleh para pensiunan dan para jompo, dan kenapa justru kaum remaja seperti “kalis” dari percaturan merembug Sabda dan Kalam Illahi ini.

7.
Barangkali alam kerohanian tak boleh dicampuradukkan dengan alam material, tanpa menghidupkan kembali pengertian-pengertian tentang “Allah yang mengisi tiap telempap, tiap lubang, dan tiap sesuatu yang gothang” dalam kehidupan. Gagasan seperti kebebasan insani, termasuk bidang bahasa mengenai pribadi, dan tak termasuk ilmu pengetahuan eksakta. Paham-paham adikodrati niscaya berhubungan pula dengan bidang-bidang adikodrati, yang membuat kita merasakannya sebagai bagian penting dalam filsafat konservatitisme yang seutuhnya. Setiap keadaan determinis dapat dijlentrehkan dengan suatu keterangan ilmiah mengenai pikiran serta tidakan manusia—di mana kerangka empirik merupakan sesuatu yang menekankan fungsinya. Hubungan sebab-akibat dari sesuatu gejala, namun tafsirannya terhadap peristiwa tersebut adalah langkah realistic-konkrit dan bukan dilihat dari tatanilai yang sakral. Lain soal, jika kita berbicara tentang mukjizat-mukjizat dari sang Nabi, termasuk dari kedahsyatan azimat yang diperlihatkan oleh Wali dan Rasul, dengan misteri-misteri yang meliput kesanggupannya dalam dakwahnya. Mungkin, ada benarnya jika katerkaitan daya linuwih semacam ini dengan sinar Yang Maha Rahman-Rahim, yang dari proses kesejarahannya masih dapat kita lacak dari sesuatu yang purbawi.

8.
Dengan menyimak akar budaya yang terdapat pada tarekat-tarekat dan mazhab-mazhab yang dicetuskan, buat penyelamatan kehidupan yang lebih panjang daripada “kesementaraan singgah di dunia” ini, maka dunia ethnologi dan sosiologi harus memahami peranan institusi-institusi masyarakat yang tergolong luwes, longgar, seraya aktif mempercepat perubahan strukturnya. Model ini pada hakikatnya berupa struktur simbolis, yaitu sistem pemikiran serta gagasan umum yang terkandung dalam kata-kata, benda-benda, perilaku, yang lazim di tengah kita. Maka tindakan sosial takkan terpaham, tanpa acuan kepada struktur simbolis semacam ini, yang oleh beberapa pakar disebut sebagai paradigma budaya. Unsur-unsur paradigma ini seringkali ditarik dari masa lalu, dari sistem kuno yang berasal dari kelompok-kelompok yang berdiri sendiri dan bergabung secara longgar pada kawasan distrik, desa dan kampung yang kecil, terisolir. Banyak pengamatan akan tertuju kepada pribadi-pribadi, tokoh penyandang dana, pemilik pusaka, ulama dan pelungguh (tuan tanah) dan kaum ningrat. Manakala perhatian serta aspirasi masyarakat baru datang dari etika yang lebih kuat, bahkan juga nasionalisme radikal, maka nilai kelompok yang tadinya begitu kokoh itupun barubah, bahkan terlumat.

9.
Darimanapun pengamatan itu diletakkan, kita takkan bisa mengelak, bahwa selalu harus ditekankan sumbangan kelompok yang sadar, yang tahu kapan harus menciptakan buhulan baru, simpulan baru, bahkan interpretasi baru. Persoalannya jangan sampai dikaburkan, hanya lantaran orang mulai jenuh untuk menyaksikan adanya perbedaan kepentingan antara si tua dan si muda, dalam deretan tokoh yang ditunjuk dan diurapi. Seraya mengingat tentang Millenium Yang Akan Datang—bukan dengan kecemasan baru, melainkan denngan keperkasaan lama, sesuai dengan nubuat-nubuat yang kita warisi—maka penggunaan ilmu teknologi akan lebih berhasil menyelamatkan dunia seisinya. Faktor menonjol yang abadi ini, misalnya rasa setiakawan, rasa ingin mendukung falsafah yang popular (dan lebih menjamin prospek kemanusiaan) dan juga interpretasi budaya yang tahan cuaca, tahan jaman. Kewigatian yang menyatu dengan aspirasi kaum muda, akan menjadi sumbu dari lillin bernyala terang ini.

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]