Karya Sastra dan Persoalan Media Massa

Renosta
Pikiran Rakyat, 16 Juni 2011

Ada persoalan yang menggelisahkan menyangkut karya sastra dan media massa. Yaitu wacana media massa (mainstream) “tertentu” yang dianggap sebagai representasi dominan terhadap pencapaian estetis sebuah karya sastra. Sebenarnya wacana ini sudah menjadi bahan perbincangan masyarakat sastra Indonesia, namun tidak memberikan tawaran gagasan apa-apa, kecuali hanya polemik wacana saja.

Seperti halnya polemik Sastra Koran versus Sastra Cyber yang sebelumnya berlangsung di berbagai media. Juga gugatan politik sastra Saut Situmorang terhadap dominiasi estetis sastra TUK (Teater Utan Kayu) yang digawangi Goenawan Mohammad. Namun walau demikian, sebenarnya diskursus seperti ini adalah sebentuk usaha mencoba membuka ruang-ruang pilihan sastra yang lebih demokratis. Sebab Sastra bukanlah milik kalangan tertentu saja.

Terlepas dari itu semua, jikalau permasalahan yang terjadi adalah monopoli media massa (mainstream) tertentu terhadap kesusastraan, maka kita perlu mendudukan hal ini pada persoalannya yang sederhana. Yaitu karya sastra dan media massa.

Media massa selalu terkait dengan industri berikut persaingan-persaingannya. Sama halnya dengan industri-industri penerbitan lainnya, yang muara akhirnya adalah pertimbangan ekonomi. Ada selera pasar di sana. Dan ada pihak atau orang yang mengatur arus lalu lintas bisnis di sana. Oleh karenanya ketika sastra masuk dalam ranah media massa, maka yang terjadi adalah ketegangan di antara keduanya. Bahkan dalam hal ini penyair Octavio Paz berpandangan bahwa perdagangan seni sastra dewasa ini didorong dan dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan murni ekonomi.

Oleh karenanya terkait hal di atas, ada dua gagasan sikap yang ingin saya tawarkan di sini. Namun sebelum dua gagasan tersebut saya utarakan, ada paradigma besar yang perlu ditekankan sebagai landasan prinsip. Bahwa setiap media, (apa pun itu baik cetak maupun online) memiliki kemungkinan melahirkan karya yang baik atau pun buruk.

Tentunya kita sering membaca karya-karya sastra yang terbit di koran-koran minggu, dan terkadang tidak kita mengerti alur logika bahasanya (entah karena pertimbangan apa redaktur memuatnya), namun karena belenggu paradigma bahwa karya tersebut telah tembus media massa, sikap kritis kita terbunuh dan terkubur dalam-dalam. Padahal setiap karya terbuka peluang kritik di mana pun itu. Begitu pula dengan media cyber, terkadang kita menemukan karya yang benar-benar menakjubkan di sela-sela ribuan lintas kata dunia maya yang berseliweran dan menghiasi dinding sastra cyber.

Oleh karenanya, media massa (mainstream khususnya) bukanlah tolak ukur dari sebuah karya sastra yang “baik” secara mutlak. Hal ini terkadang yang menjadi belenggu masyarakat sastra kita, terutama mereka yang pemula sehingga mematikan kebebasan proses mereka dalam berkarya.

Saat tulisan mereka tak dimuat di media massa, akhirnya mereka membanting keras-keras kesusastraan dari tubuh mereka, karena sastra sudah mereka anggap tak lagi menerimanya kecuali mereka mereka menghamba pada media massa yang dianggap representatif itu. Lalu bagaimana sikap kesusastraan kita sebenarnya?

Inilah dua gagasan sikap yang akan saya tawarkan itu. Pertama, sikap idealis. Artinya seorang sastrawan, seorang pengarang sastra menulis karya sastra dengan sebenar-benar sebagai bagian dari proses pencapaian estetis. Mereka tidak menghamba pada industri media. Mereka membaca, menulis dan berapresiasi dengan ketulusan hati. Kalaupun karya mereka dimuat media massa, mereka tetap berpegang pada idealismenya dalam berkesusastraan, atau bisa dibilang konsekuensi dari itensitas kebergiatannya dalam menulis.

Dalam proses kreatifnya ini, tentu ada banyak cara toh bagi setiap pengarang sastra dalam menempuh pencapaian estetis. Terutama dalam menemukan ruang-ruang apresiasi. Mereka bisa mengapresiasi dengan cara “silaturahmi” kepada pada para sastrawan, akademisi sastra atau kritikus sastra dalam membahas karya-karya mereka, baik secara personal atau pun komunal. Atau jika di zaman sekarang, banyak media cyber, seperti halnya blog, yang apabila benar-benar digunakan sebagai ruang apresisasi yang efektif, maka akan menghasilkan proses kreatif yang mumpuni juga.

Di lain pihak kini juga tumbuh dan merebaknya media-media alternatif seperti buletin dan jurnal yang diterbitkan oleh komunitas sastra yang memang ingin menghadirkan bentuk-bentuk baru dari corak kesusastraan mainstream. Dengan demikian pluralitas estetika sastra semakin berkembang, dan tidak hanya di monopoli oleh satu pilihan saja, atau satu selera redaktur media massa tertentu saja.

Kita menghidupi sastra, dan bukan hidup dari sastra. Oleh karenanya hasil pencapaian karya sastra tak melulu harus dimuat media. Karena menurut Paz, logika kesusastraan bukanlah logika pasar.

Yang kedua adalah sikap professional. Ini adalah jalur bagi siapa pun yang ingin menjadikan menulis sabagai bagian dari pilihan hidupnya, maka sikap inilah pilihannya. Mereka harus merebut selera pasar. Mereka harus memikat redaktur. Maka orang-orang yang memang ingin menulis dan menjadi penulis sebagai bagian profesinya, ia haruslah bersikap professional. Karena ia menulis untuk pasar.

Bagi yang memiliki motif-motif kepentingan ekonomi, ambisi popularitas, dan tekanan eksistensi maka di sinilah posisinya. Mereka harus bersikap professional sebagaimana seorang pekerja (ekonomi). Silakan tempuh resiko-resikonya.

Oleh karenanya kita tidak perlu pusing dengan perkara media massa tertentu yang dianggap menjadi representasi kualitas karya sastra. Namun yang menjadi pekerjaan rumah dan agenda besar kita sesungguhnya adalah, bagaimana menyelematkan paradigma kesusastraan masyarakat sastra kita yang masih menganggap bahwa media massa (mainstream) tertentu sebagai tolok ukur satu-satunya pencapaian estetis terakhir sebuah karya sastra.

***