Judul : Dari Khazanah Estetika Nusantara
Penulis : Jurnal Kritik
Penerbit : Komodo Books
Cetak : I (2011)
Halaman : 163 halaman
Peresensi : Agus R. Sarjono *
balipost.co.id
BISAKAH dunia sastra hidup sehat dan bermartabat tanpa kritik sastra yang hidup dan sehat? Untuk Indonesia belum ada jawaban pasti atas pertanyaan ini. Kita hanya tahu bahwa di negeri-negeri yang sastranya bergairah dan maju, selalu ada kritik sastra yang bergairah, hidup, dan maju pula. Kemungkinannya adalah: karena dunia sastra hidup dan maju, maka kritik pun menemukan lahan kajian yang segar dan menggairahkan sehingga kritik sastra menjadi bergairah dan maju.
***
Kemungkinan lainnya: karena kajian dan kritik sastra maju dan bergairah lah, maka para sastrawan pun bergairah menulis sebaik-baiknya karena percaya karya-karya mereka tidak dibiarkan luntang-lantung sendiri, melainkan diterima di haribaan kritik sastra, baik untuk dimuliakan maupun dikritik habis-habisan.
Sastra Indonesia modern beruntung memiliki H.B. Jassin, karena sulit dibayangkan bahwa sastra Indonesia modern akan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia jika tidak ada orang seperti dia yang terus-menerus tanpa henti mengabarkan gejolak sastra modern yang baru tumbuh itu kepada khalayak luas. H.B. Jassin lah yang membawa dan menjajakan sastra Indonesia modern sehingga kita mengenal Amir Hamzah sebagai ”Raja Penyair Pujangga Baru” dan Chairil Anwar sebagai ”Pelopor Angkatan 45”. Nama-nama lain, menyusul kemudian, menemui khalayak luas lewat pengenalan yang dilakukannya dengan tekun sepanjang hidupnya. Tentu kita mengenal Taj Mahal sebagai monumen yang melambangkan cinta Syah Jehan pada istrinya, tapi dalam kasus ini, kita harus mengakui bahwa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin merupakan monumen dari kesetiaan dan cinta H.B. Jassin sang kritikus sastra tetap kokoh dan teguh saat imajinasi –jantung terdegup sastra– diadili di depan pengadilan, masyarakat pun mau tak mau dipaksa untuk memberi harga pada sastra karena mereka disuguhi kenyataan bahwa ada seseorang yang bersedia masuk bui untuk membela hasil pekerjaan ”aneh” yang bernama sastra ini.
Kini sastra Indonesia telah berkembang. Karya demi karya terus bermunculan, namun kritik sastra nampaknya tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Banyak pihak mengeluhkan kondisi kritik sastra di Indonesia yang memprihatinkan. Di sisi lain, para kritikus dan pengkaji sastra juga mengeluhkan keterbatasan-keterbatasan yang menghambat mereka. Salah satu keluhan para pengkaji dan kritikus sastra adalah ketiadaan media untuk memuatkan kritik dan ulasan sastra secara leluasa. Mudah difahami bahwa media massa umum tidak akan dapat memuat ulasan dan kajian sastra secara panjang lebar karena terbatasnya halaman. Media massa umum memang tidak diniatkan sebagai media kritik sastra berupa ulasan panjang lebar, karena memang itu bukanlah tugas media massa umum. Kritik sastra, kajian-kajian mendalam, renungan teoretis, adalah tugas sebuah jurnal yang khusus diniatkan sebagai media kritik sastra. Di berbagai negeri yang habitat sastranya sehat, jurnal khusus sastra dan media massa umum berdampingan saling mengisi. Jurnal ibarat laboratorium tempat kajian dan percobaan-percobaan ilmiah dilakukan, sementara media massa umum adalah etalase tempat temuan laboratorium dihidangkan dan dipergaulkan kepada masyarakat luas.
Kritik Sastra
Di sisi lain, kritik sastra bagaimanapun harus dilihat sebagai bagian penting dari khazanah intelektualitas dan khazanah kesarjanaan suatu bangsa. Jika disebut di sini khazanah keseharian, ia tidak selalu bermakna kesarjanaan formal akademis, melainkan kesarjanaan dalam arti luas, bergelar akademis maupun tidak. Khazanah kesarjanaan membutuhkan media yang membuka peluang seluas-luasnya bagi kerja kesarjanaan: meneliti, meng-kaji, berteori dan menguji teori, mempertanyakan, dan mengajukan jawaban-jawaban tentatif bagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Tanpa media berolah kritik, kritikus ibarat pemain sepak bola tanpa lapangan. Tambahan lagi, tanpa kritik sastra, sastra suatu bangsa menjadi pendek umurnya. Para kritikus lah yang membuat karya sastra panjang umur. Homer, Shakespeare, Dostoyevski, Flaubert, Proust, Lu Xun, Kawabata, terus hidup hingga saat ini karena terus-menerus dikaji dan diperbincangkan melintasi batas-batas wilayah negaranya.
Jurnal Kritik adalah sebuah upaya kecil untuk mengisi kekosongan media bagi kritik, kajian, dan ulasan sastra. Ia diharap dapat menjadi ruang untuk menumbuhkan minat dan khazanah kesarjanaan dalam arti seluas-luasnya (tidak hanya kesarjanaan formal akademis) di bidang sastra. Dengan Jurnal Kritik, kita berharap para sarjana setidaknya memiliki sebuah ruang yang cukup leluasa untuk mengekspresikan pemikiran dan tanggapan mereka atas teks-teks sastra, khususnya sastra Indonesia. Oleh sebab itu, Jurnal Kritik membuka ruang seluas-luasnya bagi berbagai jenis teori dan pendekatan kritik sastra, Barat maupun Timur. Jurnal Kritik juga membuka diri seluas-luasnya bagi berbagai jenis kajian teks sastra, baik klasik maupun modern. Kami percaya bahwa jenis pendekatan dan jenis serta waktu sebuah teks sastra bukanlah halangan bagi kritikus dan sarjana sejati untuk mengungkapkan kekayaan teks yang dikajinya, sekaligus kekayaan kritikus yang mengkajinya. Jarak waktu karya sastra klasik Yunani dengan masa hidup Netzsche tidak menghalanginya melahirkan kajian yang menarik dan memberi cahaya baru atas khazanah sastra lama Yunani sebagaimana dilakukannya dalam The Birth of Tragedy, dan jarak waktu lahirnya Madame Bovary Gustave Flaubert di Prancis dengan Mario Vergas Llosa di Peru tidak menghalangi Llosa untuk memberi cahaya baru pada novel itu sebagaimana dilakukannya dalam bukunya The Perpetual Orgy.
Di Indonesia, kita kembali dibuat kagum pada Hamzah Fansuri saat kita membaca kajian-kajian Syed Hussein Al Attas dan Abdul Hadi .M. tentangnya; kita juga kembali tercekam oleh sajak-sajak Sitor Situmorang dan Toto Sudarto Bachtiar saat kita membaca bahasan Subagio Sastrowardojo dalam bukunya Sosok Pribadi dalam Sajak. Bahkan, belum lama ini kita kembali dibuat ngungun oleh Chairil Anwar saat Goenawan Mohamad menggumamkan kembali sajak-sajak Chairil Anwar dalam ”Catatan Pinggir”-nya. Oleh sebab itu, baik sastra klasik maupun sastra modern mendapat tempat yang sama dalam jurnal ini.
***
*) Agus R. Sarjono, pengamat sastra /07 Agustus 2011.