Kritik Derrida atas Strukturalisme de Saussure

Makyun Subuki

1. Pendahuluan

Pascastrukuturalisme, merupakan sebuah aliran pemikiran besar yang tidak memiliki bidang kajian khusus (Ritzer 2003: 57). Lamart (1990), seperti dikutip oleh Ritzer (2003: 202), mencatat awal kelahiran pascastrukturalisme pada pidato Derrida pada tahun 1966, di mana dia memproklamirkan menyingsingnya suatu era baru, era pascastrukturalisme.

Terdapat beberapa hal yang menjadikan usaha saya untuk mendefinisikan pascastrukturalisme (poststructuralism) secara tepat menjadi sangat sulit: pertama, meskipun penggunaan istilah pascastrukturalisme memiliki latar belakang yang lebih jelas dari istilah pascamodernitas dalam dunia intelektual dan juga kata struktur lebih mudah didefinisikan daripada kata modern, awalan post- pada kata poststructuralism memiliki makna yang kurang lebih sama membingungkannya dengan awalan post- pada kata postmodernism (pascamodernisme); kedua, dengan memandangnya sebagai mode intelektual, dan terutama klasifikasi tokohnya yang tumpang tindih, pascastrukturalisme kadang sulit dibedakan dengan pascamodernisme; dan ketiga, berdasarkan pengaruh dan klasifikasi tokohnya, pascastrukturalisme juga sulit dibedakan dari strukturalisme.

Atas dasar ini, saya hendak melihat pascastrukturalisme menurut apa yang ditulis Ritzer (2003: 58), yang mengutip pendapat Spivak (1976), bahwa “pascastrukturalisme biasanya melekat dalam strukturalisme dan pada saat yang sama mereka mengambil jarak dari strukturalisme.” Oleh karena itu pula, saya menyusun makalah ini tidak berdasarkan pergerakan waktu dari strukturalisme menuju pascastrukturalisme ataupun melalui pemilahan tokoh, melainkan melalui komentar Derrida atas beberapa asumsi dasar strukturalisme de Saussure.

2. Pembahasan

2.1 Strukturalisme

2.1.1 Konsep Dasar

Konsep, bahkan kata, struktur, menurut yang ditulis Derrida ((1966) (dalam Rusbiantoro 2001: 22)), berumur sama tuanya dengan sejarah ilmu pengetahuan. Struktur, seperti ditulis Hoed (dalam Christommy 2002: 3), adalah “sebuah bangun abstrak yang terdiri atas sejumlah komponen yang berkaitan satu sama lain untuk membentuk struktur itu.” Struktur, menurut Hoed (dalam Christommy 2002: 3), mempunyai tiga sifat utama, yaitu: (1) merupakan suatu totalitas; (2) dapat bertranformasi; dan (3) otoregulatif atau dapat mengatur dirinya sendiri.

Struktur biasanya dibicarakan bersama sistem, yaitu relasi antarkomponen dalam struktur yang dipandang sebagai sebuah secara keseluruhan (Hoed (dalam Christommy 2002: 3)). Terdapat tujuh kaidah yang biasanya dipakai dalam analisis struktural, yaitu: (1) rule of immanence, analisis struktural melihat struktur dalam dangka sistem dalam perpektif sinkronis; (2) rule of pertinence, analisis struktural melihat makna komponen dalam sebuah struktur dengan mengidentifikasi ciri pembeda (pertinent or distinctive feature) antara satu komponen dengan komponen lainnya (3) rule of commutation, untuk melihat perbedaan ersebut, analisis struktural menggunakan tes komutasi, yaitu tes oposisi pasangan minimal (minimal pairs); (4) rule of compatibility, analisis struktural mempelajari prinsip yang mengakibatkan kombinasi dan, tentu saja, kesesuaian antar komponen; (5) rule of integration, analisis struktural melihat struktur sebagai sebuah kesatuan; (6) rule of diachronic change, analisis struktural melihat analisis sinkonis sebagai dasar bagi kajian diakronis; (7) rule of function, analisis struktural melihat setiap komponen dalam sistem memiliki fungsi tertentu (Noth 1990: 295-296 dan Hoed (dalam Christommy 2002: 4-5)).

Istilah strukturalisme, seperti diungkap Bertens (1985: 386), tampil pertama kali pada kongres pertama tentang linguistik yang diadakan di Den Haag pada tahun 1928. Sebagai sebuah mode pemikiran yang mempengaruhi beragam bidang kajian lainnya, strukturalisme memiliki akar dan pertahanannya yang sangat kuat pada pembaruan di bidang linguistik yang diprakarsai oleh de Saussure (Bertens 1985: 381 dan Ritzer 2003: 52). Melalui kuliah-kuliah yang diberikannya, yang kemudian diterbitkan oleh dua orang muridnya dan diberi judul Course de Linguistique Generale (1916), de Saussure mengemukakan empat konsep penting yang ditampilkan secara dikotomis, yaitu: langue vs. parole; sintagmatik vs. paradigmatik; sinkronik vs. diakronik; dan signifiant vs. signifi?.

2.1.1.1 Langue vs. Parole

Pembedaan bahasa (langage) atas langue dan parole oleh de Saussure mempengaruhi tidak hanya strukturalisme tetapi pascastrukturalisme dan pascamodernisme (Ritzer 2003: 52). Langue adalah sistem dan struktur bahasa yang bersifat abstrak dan dijadikan acuan dalam komunikasi (Hoed (dalam Christommy 2002: 6)). Secara lebih rinci, Kridalaksana (1988), dalam pengantar terjemahan Indonesia Cours de Linguitique Generale (1988: 7), menjelaskan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif, yang memungkinkan para penutur dapat saling memahami. Adapun parole, seperti diungkap Hoed (dalam Christommy 2002: 6), adalah realisasi langue dalam komunikasi. Pembedaan langue vs. parole ini secara lebih sederhana digambarkan oleh Bertens (1985: 383), bahwa langue merupakan “bahasa sejauh merupakan milik bersama” dan parole merupakan “pemakaian bahasa yang individual.”

2.1.1.2 Sintagmatik vs. Paradigmatik

Untuk menjelaskan sifat relasi antar komponen dalam bahasa, de Saussure mengenalkan istilah sintagmatik dan paradigmatik. Relasi sintagmatik, seperti diungkap Hoed (dalam Christommy 2002: 6), merupakan relasi antarkomponen dalam struktur, atau, dalam bahasa Kridalaksana (dalam de Saussure 1988: 16), hubungan antarmata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Adapun relasi paradigmatik atau asosiatif adalah relasi antara relasi antara suatu komponen dalam struktur tertentu dengan entitas lain di luar struktur tersebut.

(1) Budi membeli sapu

(2) Kucing memakan ikan

(3) Wati memasak air

Dalam contoh di atas, hubungan antara Budi, membeli, dan sapu; atau antara kucing, memakan, dan ikan; dan antara wati, memasak, dan air adalah hubungan sintagmatik. Hubungan paradigmatik atau asosiatif dalam contoh di atas menunjuk pada hubungan antara kata yang dapat saling dipertukarkan, misalnya Budi dengan Wati, kucing, sapu, ikan, dan juga unsur lain dalam bahasa yang dapat menggantikannya.

2.1.1.3 Sinkronik vs. Diakronik

Dalam hal penelitian bahasa, de Saussure, seperti diungkap oleh Hoed (dalam Christommy 2002: 7), beranggapan bahwa penelitian sinkronik merupakan dasar bagi penelitian diakronik, yaitu penelitian terhadap bahasa yang melihat perkembangannya dari waktu ke waktu. Penelitian sinkronik terhadap bahasa merupakan penelitian bahasa yang terbatas pada satu lapisan waktu tertentu. Dengan ini, bahasa dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang tetap (Piliang 2003: 48), dan dapat dibebaskan dari unsur ekstra lingual, termasuk waktu (Bertens 1985: 385).

2.1.1.4 Signifiant vs. Signifi?

Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan signifi? merupakan pokok terpenting dari pandangan de Saussure. Dengan ini ia berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier/penanda) (Piliang 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (de Saussure 1973: 146), dengan sesuatu yang abstrak (signifi?/signified/petanda) (Piliang 2003: 47), yang disebutnya sebagai konsep (de Saussure 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik, tetapi psikis (psych?: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (de Saussure 1973: 146). Contoh, citra bunyi pohon merupakan penanda yang petandanya adalah “konsep tentang pohon”. Asosiasi antara bunyi dan konsep “pohon” inilah yang disebutnya tanda.

2.1.2 Perkembangan Strukturalisme

Karena kesuksesannya yang gemilang, strukturalisme kemudian menjadi model bagi ilmu manusia yang lain. Levi-Strauss menerapkan metode struktural dalam menganalisis sistem kekerabatan primitif (kinship system) dengan menyetarakan kekerabatan dengan objek linguistik. Ia mencoba memperlakukan kekerabatan sebagai semacam bahasa dan menemukan kesesuaian antara bahasa dan kekerabatan, bahwa keduanya merupakan sistem komunikasi yang mengandaikan adanya pertukaran, dialog, dan didasari oleh aturan yang tidak disadari (Bertens 1985: 392-393).

Dalam psikoanalisis, Lacan menafsirkan kembali Freud, dan menggabungkannya dengan strukturalisme de Saussure. Dengan ide decentrement Freud dan penanda-petanda de Saussure, Lacan memandang manusia secara anti-humanistik. Lacan berpendapat bahwa, seperti halnya langue yang sistem penandaannya dikuasai oleh difference yang tidak terjangkau oleh manusia, ketidaksadaran yang merupakan sistem yang menguasai kesadaran manusia, struktur yang tidak dapat dijangkau oleh manusia (Bertens 1985: 402).

Barthes, meskipun banyak penggemarnya yang menolak (Culler 2002: 125), selalu diidentikkan dengan seorang strukturalis sejati. Barthes lah yang merealisasikan ramalan de Saussure akan munculnya semiologi. Namun ia bukan hanya semiolog, lebih dari itu ia juga seorang kritikus sastra. Dengan Nouvelle critique Barthes melakukan kritik sastra strukturalisme yang menandai matinya pengarang (Bertens 1985: 406).

Berbeda dengan kebanyakan penafsir Marx yang melihat kontinuitas dalam karya-karyanya, Althusser memberlakukan diskontinuitas dalam menganalisis karya Marx. Menurutnya, karya Marx fase pertama dan dan kedua tidak memperlihatkan kontinuitas. Secara spesifik, ia menilai bahwa ajaran Marx terdapat dalam fase kedua yang menurutnya “anti-humanisme” dan “anti-historisisme”, karena bagi Marx, manusia adalah manusia merupakan produk dari struktur sosio-ekonomis (Bertens 1985: 408)

Foucault menggunakan istilah episteme ‘pengetahuan’ sebagai pengandaian prinsip, syarat, dan cara pendekatan tertentu dalam menganalisis sejarah. Keseluruhan pengandaian tersebut membentuk suatu sistem yang teguh, meletakkan setiap zaman pada episteme-nya masing-masing. Episteme ini menentukan juga cara ilmu pengetahuan dijalankan. Oleh karena itu, dalam arkeologi pengetahuannya, dia tidak menggali macam ilmu pengetahuan yang berlaku bagi masing-masing zaman, melainkan ia menggali episteme bagi masing-masing periode kultural tersebut (Bertens 1985: 410).

2.1.3 Keberatan Strukturalisme atas Pemikiran Sebelumnya

Sebagai sebuah aliran pemikiran yang memiliki beragam corak, secara umum, baik secara eksplisit maupun implisit, strukturalisme menggugat beberapa asumsi yang berkembang dan menguasai sejarah pemikiran Prancis sebelumnya, yaitu fenomenologi Husserl dan eksistensialisme Sartre (Bartens 1985: 413).

2.1.3.1 Subjektifitas

Dengan menolak logika cartesian tentang kesadaran, cogito ergo sum, strukturalisme menolak segala bentuk “filsafat refleksif” (Bertens 1985: 413-414). Dalam strukturalisme, subjek tunduk pada sistem. Subjektifitas merupakan hasil strukturisasi yang tidak dapat dikuasai manusia. Melalui langue, subjektivitas dibongkar dan digeser dari posisi pusat untuk kemudian digantikan bahasa (Bertens 1985: 415). Bahkan Foucault (dalam Bertens 1985: 415) mengatakan bahwa anggapan tradisional tentang manusia harus direvisi secara radikal. Baginya “Aku” sudah terpecah-pecah, dan sistem mendapat prioritas terhadap subjek yang berbicara. Mudahnya, ada yang berbicara dalam “aku”: sistem.

2.1.3.2 Humanisme

Humanisme, yang merupakan pengaruh dari eksistensialisme Sartre, marxisme Prancis, dan personalisme Mounier; mendominasi sejarah pemikiran Prancis sebelum strukturalisme berkembang. (Bertens 1985: 416). Secara mengejutkan, strukturalisme tampil sebagai corak pemikiran yang anti-humanisme. Dalam hal ini, Foucault (dalam Bertens 1985: 416) menegaskan bahwa tugas filsafat sekarang ini adalah melepaskan manusia secara definitif dari humanisme.

2.1.3.3 Sejarah

Bagi historisisme, yaitu pengertian yang didasarkan pada sejarah, mengerti adalah mencari asal-usul, memperlihatkan perkembangan, menunjukkan bentuk yang dahulu, menetapkan sumber-sumber, menetapkan arah evolusi, dan sebagainya (Bertens 1985: 416-417). Namun strukturalisme mengajukan pengertian yang sama sekali lain bagi historisisme. Bagi strukturalisme, mengerti berarti menelanjangi sistem, meneropong relasi-relasi menurut interdependensinya (Bertens 1985: 417). Misalnya dalam kajian-kajian Foucault yang, meskipun ia kurang suka untuk dimasukkan dalam kategori tertentu, banyak bercermin pada pembahasan strukturalisme mengenai bahasa (Ritzer 2003: 67). Dalam analisis sejarahnya, ia selalu berusaha menemukan kondisi dasar yang menyebabkan suatu diskursus tercipta yang berasal dari aturan dasar dan praktik umum yang menentukan pada saat itu. Oleh karena itu, ia menitikberatkan kajian arkeologinya pada objek, artikel yang tersisa, dan monumen. Dengan ini ia menjauhi subjek sebagai pusat (Ritzer 2003: 67-68).

2.2 Pascastrukturalisme: Kritik Derrida atas Strukturalisme de Saussure

Hampir, atau bahkan, semua karangan yang ditulis Derrida merupakan komentar atas pengarang lain, meliputi filosof, ilmuwan, dan juga sastrawan (Bertens 1985: 492). Namun komentarnya merupakan komentar yang khusus, yang oleh Bertens (1985: 493) disebut sebagai komentar yang tidak membatasi diri pada pada praandaian-praandaian dan implikasinya dalam teks yang dikajinya. Derrida melangkah lebih jauh dari itu, ia mengkaji teks, membongkar, dan menyajikannya kembali. Derrida mengatakan sesuatu melebihi apa yang disajikan teks yang dikajinya, ia mendekonstruksi teks. Dalam makalah ini, saya hanya akan membahas dekonstruksi Derrida terhadap beberapa asumsi dasar Strukturalisme de Saussure dan menghindarkan diri dari pembahasan dekonstruksi yang dilakukannya atas tokoh lain.

2.2.1 Fonosentrisme

Dengan menerjemahkan penanda sebagai image acoustique, De Saussure (1973: 146) memang menganggap wicara lebih penting dari tulisan. Ia menganggap tulisan sebagai bentuk bahasa yang dangkal dan rekaan, yang diwujudkan dalam bentuk grafis yang permanen dan kokoh (de Saussure 1973: 94). Bahkan, de Saussure menganggap tulisan, berdasarkan kelebihannya atas bahasa lisan, sebagai hal yang merampas suatu kepentingan yang sebenarnya bukan miliknya (de Saussure 1973: 95). Dalam hal ini, lebih jauh de Saussure (1973: 96) mengungkapkan, sebagai contoh, bahwa sejak abad ke-13 hingga abad ke-19 penulisan roi dan loi tidak berubah; namun kedua kata tersebut dilafalkan secara berbeda. Abad ke-13 dilafalkan dengan roi dan loi, abad ke-14 dilafalkan dengan roe dan loe, dan abad ke-19 dilafalkan dengan rwa dan lwa. Hal ini terjadi, menurut de Saussure (1973: 97), karena kita mempertahankan huruf yang tidak lagi memiliki kesahihan.

Derrida menganggap hal tersebut sebagai fonosentrisme (sond-centeredness), neologisme yang diciptakan sendiri oleh Derrida, yang dapat di definisikan seperti kata etnosentrisme didefinisikan. Dengan istilah ini ia berusaha untuk menunjukkan faktor material yang tersia-siakan dalam bahasa, tulisan (Hobson 1998: 11). Derrida, seperti diungkapkan Spivak (1976: 134), menghubungkan fonosentrisme dengan logosentrisme, yaitu keyakinan bahwa yang pertama dan yang terakhir adalah Logos, Sang Kata, Ruh Ilahi, Tuhan, Subjektifitas tak terbatas, kesadaran diri, dan lain-lain. Oleh karena itu, Derrida, seperti dikutip Hobson (1998: 12), menganggap bahwa pembagian bahasa oleh de Saussure atas wicara dan tulisan tidaklah bersifat seimbang, melainkan hierarkis. Hal ini, menurut Derrida (dalam Hobson 1998: 11), merupakan warisan dari tradisi metafisika dalam filsafat Barat, memahami “Ada” sebagai “Kehadiran” (Bertens 1985: 494) dan men-subordinasi-kan matter atas spirit (Hobson 1998: 11). Derrida, seperti ditulis Al-Fayyadl (2005: 45), beranggapan bahwa dengan mengutamakan wicara atas tulisan dan menganggap tulisan sebagai bentuk turunan dari wicara, de Saussure masih terpengaruh oleh metafisika kehadiran, karena wicara mengandaikan arti kehadiran (Hobson 1998: 11). Dengan demikian, inti kritik Derrida terhadap fonosentrisme dan logosentrisme, seperti dituliskan Spivak (1976: 134-135), berkaitan erat dengan sentrisme sebagai hasrat manusia untuk mendapatkan kehadiran “pusat” yang merupakan warisan dari te(le)ologi Hegelian.

Mengenai tulisan, dengan batasan yang samar, Derrida membaginya dalam dua model: pertama, tulisan sebagaimana ia dipahami secara sempit sebagai notasi grafik terhadap materi yang nyata (trankripsi fonetis); kedua, tulisan yang disebutnya sebagai tulisan yang “hidup”, yang menerima jejak sebuah alteritas perenial (prennial alterity) (Ritzer 2003: 202). Menurut Derrida, seperti diungkap oleh Al-Fayyadl (2005: 113), tidak ada tulisan yang benar-benar fonetis, karena dengan sendirinya tulisan selalu menyuguhkan suatu unsur yang nonfonetik, misalnya spasi, koma, titik, dan beragam tanda baca lainnya. Bentuk saya makan nasi akan terlalu sulit dipahami jika ia dituliskan seperti ia diujarkan, sayamakannasi. Dari situ kita bisa lihat bahwa kita membutuhkan spasi untuk membuat kalimat tersebut dapat dipahami. Spasi adalah teknik diferensi bahasa yang tidak mungkin dihilangkan dalam tulisan (Al-Fayyadl 2005: 113); differance yang mengimbangi hasrat progresif dari kehadiran. Men-spacing berarti mebuat distansi bagi kebenaran atas praandaian metafisik yang mengklaimnya.

Atas dasar ini, untuk dapat melihat usaha Derrida dalam memperlihatkan bahwa tulisan merupakan tanda (sousrature) -sebuah proses tempat tanda diawetkan dan dihapus (Ritzer 2003: 202-203)-, saya perlu membahas apa yang disebutnya sebagai trace ‘jejak’. Jejak merupakan peran yang dilakukan oleh “sang radikal” lain dalam tanda, ia menentukan tanda seperti ketidakhadirannya dalam tanda. Tanda selalu meninggalkan jejak pada tanda yang lain, teks selalu menunjuk pada jaringan teks lain di luar dirinya (Ritzer 2003: 203 dan Bertens 1985: 494). Dengan ini, seperti ditulis Bertens (1985: 494), Derrida ingin mendekonstruksi filsafat barat yang selalu mengandaikan “Ada” sebagai kehadiran dengan menunjukkan bahwa tanda adalah pengganti yang menggantikan kehadiran, karena kehadiran bukanlah suatu instansi independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita.

2.2.2 Difference

Dengan menolak unsur ekstra linguistik dalam bahasa, kita dapat memahami cara penanda bekerja dalam strukturalisme de Saussure. Seperti ditulis Hoed (dalam Christommy 2002: 15) dan Sunardi (2002: 53), dalam konsep de Saussure, makna suatu tanda diperoleh dengan pembedaan (difference, oposisi, komutasi). Hobson (1998: 10) melukiskan diferensiasi dalam konsep de Saussure sebagai “what gives rise to meaning within language.” Lebih jauh ia memberikan contoh bahwa satuan bunyi, seperti halnya satuan arti dalam bahasa aktual, terisolasi oleh proses diakritis, dan oleh karena itu, hanya dapat berarti jika ia disandarkan pada bahasa secara keseluruhan (Hobson 1998: 10).

Menurut Derrida, seperti dikemukakan Hoed (dalam Christommy 2002: 15), difference merupakan konsep yang pasif. Meski demikian, seperti diungkapkan oleh Al-Fayyadl (2005: 62), de Saussure telah menyiapkan lahirnya pascastrukturalisme melalui difference, meskipun jalan ini ia telikung sendiri dengan konsep penandanya yang fonosentris dan, oleh karena itu –dengan sendirinya, mengandaikan sebuah “kehadiran absolut”. Atas dasar ini, seperti diungkapkan Hoed (dalam Christommy 2002: 15), Derrida, seperti ditulis Bennington (2000: 12), meradikalisasi konsep difference menjadi diff?rance, dari sistem penandaan yang pasif menjadi sistem penandaan yang aktif dan dinamis (sesuai dengan sifat asli struktur yang totalitas, otoregulatif, dan dapat bertransformasi), yaitu sebuah milieu bagi proses penandaan yang tidak pernah selesai.

Diff?rance pada dasarnya tidak dapat didefinisikan, sebab mendefinisikan diff?rance berarti menguraikannya dalam situasi kehadiran (Bertens 1985: 501-502, Bennington 2000: 14, dan Al-Fayyadl 2005: 87). Lebih jauh, Al-Fayyadl (2005: 87), dengan mengutip Derrida (1981: 126), menuliskan bahwa “Differance bukanlah konsep atau apapun yang menunjuk pada muatan, isi, ataupun petanda”. Namun, seperti diungkap Bertens (1985: 502), Derrida memberi berbagai penjelasan tentang apa yang dimaksudnya tentang diff?rance, di antaranya, differance menunjuk pada yang menunda kehadiran. Diff?rance adalah proses penundaan yang, aktif sekaligus pasif, tidak didahului oleh suatu keadaan asali (Bertens 1985: 502), sebuah strategi permainan yang mengusik stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk dari oposisi atau hirarki dalam teks (Al-Fayyadl 2003: 87), “pembubaran” yang tidak benar-benar “membubarkan” (Bennington 2000: 12). Diff?rance adalah gerak yang mendiferensiasikan, yaitu akar bersama bagi semua oposisi konsep, misalnya inderawi vs. rasional, natur vs. kultur, dan intuisi vs. representasi: differance memproduksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya makna (Bertens 1985: 502).

2.2.3 Pengetahuan Objektif

Keberatan lain Derrida terhadap strukturalisme adalah hasrat-kuasanya untuk menundukkan objek (Spivak 1976: 115). Strukturalisme masih melakukan oposisi subjek-objek dengan menganggap bahasa sebagai fenomena yang dapat diobjektivikasi ke dalam sebuah sistem diskursif (Al-Fayyadl 2005: 63), misalnya diferensi oposisional. Sebagai contoh, Derrida (1967), seperti dikutip Spivak (1976: 117), mengkritik Foucault yang, menurutnya, berbicara kegilaan demi kewarasan dengan mengatakan “Foucault telah menulis โ€ฆ. Seolah-olah dia telah tahu apa makna kegilaan โ€ฆ. Padahal ia ingin berbicara demi kegilaan itu sendiri”. Derrida, seperti dikutip Spivak (1976: 132), memperjelas kritiknya terhadap strukturalisme dengan mengatakan bahwa

“titik pusat strukturalisme yang dapat ditunjuk, kesadaran terhadap ke-struktur-an segala sesuatu (structurality of things), bukan hanya berasal dari penemuan struktur-struktur “objektif” bahasa, pemberian sifat “ilmiah” pada studi-studi tentang manusia. Namun titik pusat tersebut juga terdapat di dalam setiap upaya yang menyuarakan kembali persoalan hubungan antara struktur “yang subjektif” dengan “yang objektif”, struktur hasrat yang mempertanyakan status kemanusiaan dan status segala perbedaan.”

Dapat dinyatakan di sini bahwa, menurut Derrida, bahwa strukturalisme de Saussure masih dibayang-bayangi oleh fenomenologi Husserl dan eksistensialisme Sartre yang secara represif berusaha mengobjektivikasi fenomena dan menganggap manusia sebagai subjek yang bebas.

3. Penutup

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pascastrukturalisme Derrida merupakan radikalisasi dan kritik atas beberapa asumsi yang mendasari strukturalisme de Saussure, seperti kritiknya terhadap hubungan signifiant-signifie yang fonosentris dan radikalisasi konsep difference menuju differance. Pada akhirnya, dengan membongkar strukturalisme, dan menyatakannya sebagai warisan dari pengetahuan lama yang represif, Derrida tidak memberikan kita sebuah jawaban selain “tidak ada jawaban”. Bahkan menurutnya, tidak perlu mencari jawaban, karena hal ini destruktif dan memperbudak (Ritzer 2003: 209).

Daftar Acuan:

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS.

Bennington, Geoffrey. 2000. Interrupting Derrida. London: Routledge.

Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX (Jilid II): Prancis. Jakarta: Gramedia.

Derrida, Jacques. 1966/2001. Struktur, Tanda, dan Permainan dalam Wacana Ilmu Humaniora. Terjemahan The Structralist Controversy oleh Dadang Rusbiantoro dalam Dadang Rusbiantoro. 2001. Bahasa Dekonstruksi ala Foucault dan Derrida. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Culler, Jonathan. 2002/2003. Seri Pengantar Singkat: Barthes. Terjemahan Barthes: A Very Short Introduction oleh Ruslani. Yogyakarta: Jendela

De Saussure, Ferdinand. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hobson, Marian. 1998. Jacques Derrida. London: Routledge.

Hoed, Benny. H. 2002. Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotik dalam Kajian Budaya: Sebuah PengantarRingkas dalam Tommy Christommy (ed). 2002. Indonesia: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Kridalaksana, Harimurti. 1988. Mongin Ferdinand de Saussure (1857: 1913): Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme. Dalam Ferdinand de Saussure. 1973/1988 Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

N?th, W. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Spivak, Gayatri Chakravorty. 1976/2003. Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar. Terjemahan Translator Preface dalam Of Gramatology oleh Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/strukturalisme.html

Bahasa ยป