Yusri Fajar
__Pelangi Sastra Malang
Mengidentifikasi, menganalisa dan mencipta karya sastra berwarna lokal dalam dunia global yang dipenuhi hibriditas kultural adalah sebuah kerja interdisipliner (sastra dan budaya) dan kreatif yang menantang. Apalagi jika lokalitas selalu diidentikkan dengan berbagai keunikan suatu daerah. Terlebih lagi jika keunikan itu didasarkan pada aspek-aspek budaya tradisional dan identitas masa lampau. Tidak mudah memetakan warna lokal karena seringkali dalam nilai-nilai lokal terdapat muatan nilai universal dan global. Percampuran, pergesekan bahkan kontestasi khasanah lokal dan global inilah yang menyebabkan pembicaraan tradisi lokal tidak bisa dipisahkan dari konstruksi identitas nasional dan global. Lokalitas dan warna lokal[1] di satu sisi bisa dianggap ‘kontra produktif’ dengan integrasi nasional karena dinilai ‘primordial’ dan berpotensi resisten terhadap mainstream global. Namun di sisi lain berbagai khasanah budaya lokal berpotensi memperkaya muatan sebuah karya seni dan menjadi penciri sebuah komunitas di bawah naungan sebuah negeri yang terbentuk dari keragaman etnik, suku dan ras. Lebih jauh, lokalitas dan warna lokal bisa dipandang sebagai kekuatan yang menghindarkan sastrawan dari penciptaan karya yang hanya bertumpu pada isu-isu global dan nasional
Di samping karya sastra bertema universal yang merepresentasikan budaya dalam ruang bangsa dan negara, ada karya sastra etnik, yang menggambarkan budaya etnis tertentu. Di Amerika misalnya, istilah sastra etnik (ethnic literature) digunakan untuk menggambarkan karya-karya sastra yang ditulis oleh para penulis peranakan Asia. Para penulis peranakan dari luar Amerika ini menulis karya sastra yang mengusung budaya ‘oriental’ dari negeri asal mereka yang berbeda dengan budaya orang-orang kulit putih. Lebih dari itu, sastra etnik ini juga menjadikan berbagai lokasi dan rentangan waktu di negeri asal penulis sebagai setting yang didialektikkan dengan ruang dan waktu Amerika. Karya-karya penulis peranakan Asia ini juga dinilai menjadi media untuk merepresentasikan identitas mereka. Pengarang-pengarang peranakan Asia di Amerika seperti Amy Tan, Maxine Hong Kingston, Jhumpa Lahiri, dan Khaled Khusaini memiliki karakteristik tema dan teknik naratif yang berbeda dengan pengarang Amerika asli, meski universalitas tema bisa ditemukan dalam dua kelompok pengarang ini. Eksotika dan entitas esoteris dalam karya-karya mereka, meski menandai warna lokal akar budaya mereka, tetap diterima bahkan digandrungi pembaca sastra dari berbagai negara di dunia. Di Indonesia, selain para sastrawan yang mengusung tema universal-nasional-global, ada kelompok sastrawan yang mengusung warna lokal, seperti Korrie Layun Rampan yang merepresentasikan budaya etnik dayak, Ahmad Tohari dan Umar Kayam yang merefleksikan budaya Jawa, Ajip Rosidi yang membawa warna Sunda, Oka Rusmini yang memasukkan unsur budaya Bali, dan Andrea Hirata yang mewarnai karyanya dengan budaya Melayu, dan beberapa sastrawan lainnya.
Dalam ‘ruang antara’ (in-between space) di mana entitas lokal dan global saling bernegosiasi dan berdialektika, membincang diskursus lokalitas dan warna lokal dalam sastra tetap relevan, asalkan tidak semata sebagai ‘klangenan’. Hal ini penting untuk ditegaskan karena praksis proses kreatif yang bersumber dari warna lokal, jika diwacanakan seharusnya juga perlu direvitalisasikan[2] melalui tindakan nyata. Universal dan lokal saling melengkapi antara satu dan lainnya. Budi Darma menyatakan sastra bersifat lokal karena tema universal tidak mungkin berdiri di awang-awang, tetapi pasti berpijak pada ciri-ciri lokal dan waktu (2003:12). Tema cinta adalah tema universal yang menembus batas daerah dan bangsa. Namun keunikan fenomena percintaan pada masing-masing wilayah membuat narasi cinta dan berbagai peristiwa yang melingkupinya bisa berbeda. Lebih jauh, lokalitas dalam sastra tidak semata berkaitan dengan tema, namun juga latar (setting) yang menjadi ciri khas suatu daerah. Latar pesisir dan agraris misalnya membentuk budaya masyarakat dengan karakteristik berbeda.
Dalam lingkup budaya etnik di Jawa Timur, salah satu sastrawan yang mampu menggali dan membangun citra etnisitas dalam karyanya adalah Zawawi Imron, penyair celurit emas yang dalam pentas nasional dikenal kental memasukkan warna lokal Madura. Dengan demikian perkembangan khasanah sastra lokal di daerah atau kota tertentu di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari konstruksi budaya dan perkembangan yang ada di dalamnya dan yang berkembang di luar dirinya. Apalagi Jawa Timur adalah provinsi multi-etnik. Ayu Sutarto membagi budaya di Jawa Timur dalam sub-sub kebudayaan, seperti budaya Arek, Mataraman, Tengger, Osing, Samin dan Madura (2004:1). Meskipun kategorisasi ini perlu terus diredifinisi karena hibriditas budaya terus berkembang seiring modernisasi, globalisasi, dan migrasi dalam kelompok etnik tertentu ke wilayah etnik lain. Misalnya, ciri khas kawasan budaya arek, yang beberapa wilayahnya meliputi Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo dan Malang, perlu secara simultan dikaji perkembangannya dan dipertanyakan otentisitasnya karena banyak pendatang dari berbagai latar budaya yang menetap di dalamnya, termasuk mereka dari wilayah Jawa Mataraman. Apakah Malang Raya—yang secara historis menyimpan khasanah kepurbakalaan, narasi-narasi kerajaan, dan mengalami transformasi di era penjajahan, serta dihiasi eksotika alam dan lingkungan,—termanifestasikan dalam karya sastra? Apakah identitas-identitas budaya ‘Malangan’ menjadi sumber penciptaan para sastrawan yang hidup di era ketika lokalitas dan warna lokal mulai termarginalkan dari mainstream kebudayaan global?
Sastra Berwarna Lokal dan Lokalitas Malang
Sebagaimana perkembangan sastra di berbagai wilayah di Indonesia, Malang juga menyimpan khasanah sastra mulai dari yang ‘klasik’ hingga yang kontemporer. Cerita Panji adalah khasanah folklor yang ceritanya ditemukan di hampir 20 candi di Jawa Timur termasuk Malang. Cerita Panji juga pernah digunakan oleh Kerajaan Singasari untuk mengobarkan semangat kepahlawanan. Namun minimnya pewaris aktif dan pasif dari cerita rakyat ini menyebabkan cerita Panji tidak banyak diketahui oleh generasi mutakhir. Padahal gaung dan pengaruh cerita Panji ini, menurut Ajib Rosidi, sampai di Campa, Melayu dan Filipina (1986:5). Sementara folklor yang terkait dengan kearifan ekologis juga bisa ditemukan di Malang Raya yang merupakan kawasan yang dikelilingi pegunungan, diperkaya dengan perkebunan apel, sumber mata air, air terjun, dan kawasan pertanian. Misalnya folklor lisan yang terkait dengan sumber air Polaman (berasal dari kata ‘Pa-ulaman yang berarti tempat memelihara air) di Lawang Malang yang dulu merupakan daerah kekuasaan kerajaan Kediri dan Raja Kediri biasanya berkunjung ke sumber air ini; mitos yang dipercaya terkait cerita ini adalah jika ada pasangan yang berpacaran di sekitar kawasan sumber Polaman maka mereka akan menikah (Wurianto, 2009:6). Mitos semacam ini tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan-kepercayaan supranatural yang mengakar dalam masyarakat yang belum banyak tersentuh teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengedepankan logika-logika ilmiah.
Sementara cerita-cerita berlatar kejayaan kerajaan Tumapel (yang kemudian dikenal dengan nama Singhasari) dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Kendedes, Ken Arok dan Tunggul Ametung, telah mengilhami para seniman baik sastrawan, pekerja teater dan sineas. Naskah drama radio, misalnya, yang populer di era 80an salah satunya adalah kisah dari tokoh-tokoh ini. Bahkan cerita Ken Arok dan Kendedes yang menjadi ikon historis Malang juga mengilhami para sineas untuk mengangkatnya ke layar lebar. Khasanah lokal Malang yang dikemas dalam media elektronik ini menjadi menasional. Namun lokalitas pada konteks ini merambah ranah komersial karena telah dikomodifikasikan di pentas nasional demi meraih keuntungan.
Dalam khasanah sastra kontemporer, warna lokal Malang bisa dibilang tidak telalu kental ditemukan dalam karya sastra, jika dibandingkan misalnya dengan warna lokal Dayak yang dinarasikan Korrie Layun Rampan dan nuansa Jawa dalam prosa Darmanto Jatman dan Kuntowijoyo. Ratna Indraswari Ibrahim, prosais Malang, menulis dua buah novel berjudul ‘Lemah Tanjung’ dan ‘Pecinan Kota Malang’. Novel Lemah Tanjung dari segi tema memiliki muatan universal karena menyuarakan krisis lingkungan dan konflik antara aktivis lingkungan di Malang dan pemilik modal. ‘Lokalitas’ dalam novel ini lebih berkaitan dengan Lemah Tanjung yang merupakan hutan kota yang dimiliki Malang dan sebenarnya menjadi salah satu ikon natural yang bisa mendukung citra Malang sebagai kota berhawa sejuk dan dianugerahi berbagai keindahan pemandangan. Fenomena eksploitasi alam yang dilukiskan Ratna tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan global dan kapitalisme. Lebih jauh deskripsi-deskripsi Malang dan superioritas alamnya menjadi bagian dari komitmen Ratna dalam mempertahankan lingkungan. Komitmen ini dibuktikan Ratna tidak hanya melalui karya sastranya yang bernafas lingkungan tetapi juga dengan mendirikan lembaga swadaya Masyarakat Entropic Malang yang berupaya memperjuangkan lingkungan. Novel Lemah Tanjung memiliki dimensi lokal dan universal (nasional bahkan global). Isu lingkungan yang diangkat Ratna memberikan warna bagi diskursus sastra lingkungan di wilayah regional, nasional dan internasional. Persoalan degradasi lingkungan di Malang karena ulah para pemilik modal ini juga dinarasikan oleh Titik Qomariah, cerpenis yang terlibat langsung dalam perlawanan ruislag Lemah Tanjung, dalam cerpennya ‘Senja’ yang dimuat dalam kumpulan cerpen ‘Pledooi: Pelangi Sastra Malang dalam Cerpen’ (Mozaik Books: 2009). Dalam karya-karya yang menyuarakan perjuangan pelestarian lingkungan ini, khasanah alam tidak lagi semata menjelma metafora-metafora keindahan, namun menjadi entitas yang mendorong pergerakan dan perlawanan para aktivis lingkungan sebagaimana tercermin dalam sepak terjang para tokoh yang ada di dalamnya.
Novel ‘Pecinan Kota Malang’ jika dibaca secara seksama, maka yang kental di dalamnya adalah tema universal seperti eksistensi kelompok minoritas, integrasi budaya dan kehidupan keturunan etnis cina, serta hubungan orang pribumi dan peranakan cina yang juga bisa ditemukan di daerah lain. Novel karya Ratna ini menunjukkan bahwa Malang adalah kota multietnik yang dihiasi negosiasi identitas dan budaya masyarakatnya. Diaspora Cina pada umumnya memiliki mainstream budaya yang hampir seragam di berbagai kota-kota di Indonesia. Karakteristik Malang pada tahun 1950an, sebagai salah satu latar novel ‘Pecinan Kota Malang’, dinarasikan dengan baik oleh Ratna.”Kota Malang, pada tahun 50-an betul-betul sejuk. Kota yang dikelilingi gunung ini, kalau pagi masih berkabut. Kota ini ditata cantik oleh Herman Thomas Karsten, seorang arsitek Hindia Belanda” (PCM[3], 2008:1). Sebagai sebuah kota yang dulu menjadi salah satu kota hunian para penjajah Belanda, hawa malang tentu menyenangkan, mirip dengan hawa di negara-negara Eropa yang sejuk. Namun kenyamanan alam Malang di waktu lampau itu telah berubah, dan Ratna juga menceritakannya. “Malang, memang bukan Malang 10 tahun yang lampau. Udara panas menyergap kedatangannya. Anggraeni semakin kecewa, karena Malang seperti kota metropolis mini yang angkuh” (PCM, 2008:13). Transformasi ini tentu makin menghilangkan karakteristik Malang dilihat dari aspek alam dan perkembangan peradaban.
Sepeninggal Ratna Indraswari Ibrahim, jantung sastra di Malang terus berdenyut dan lokalitas serta warna lokal Malang turut serta memompanya. Keberadaan komunitas-komunitas sastra, baik itu di dalam kampus dan luar kampus, mampu membangkitkan semangat para pengarang muda, meskipun yang penting juga untuk dicatat adalah beberapa penulis di Malang tidak berproses melalui komunitas sastra. Dalam kumpulan cerpen Malang Post 2011, Denny Mizhar yang juga pegiat komunitas Pelangi Sastra Malang menulis sebuah cerpen berjudul ‘Air Terjun’. Jika dikaitkan dengan lokalitas dan warna Malang cerpen ini merupakan eksplorasi mitos air terjun Coban Rondo, salah satu lokasi wisata di Malang Raya yang cukup terkenal. Denny berusaha mentransformasikan cerita rakyat daerah Coban Rondo dalam perspektif kekinian. Tokoh Dewi Anjarwati dalam cerpen Denny adalah tokoh yang lekat dalam legenda Coban Rondo. Dalam Cerpen “Air Terjun” Denny ingin menekankan bahwa mitos juga masih masih dipercaya oleh manusia yang hidup di era modern.
Jika Denny berusaha mengangkat khasanah folklor Malang, penulis lain mencipta karya sastra dengan mengusung identitas lokal Malang yang tercermin melalui bahasa. Penyair Chakra Herlaut misalnya menulis puisi berjudul “Tua Kota Tua” untuk melukiskan Malang.”/Di sini aku berdiri/dilalui oskab dan dipayungi asap keramik sore hari/memandang kota tua yang sinis balik memandangi/” (manuskrip antologi puisi ‘Malang’ 2011 hal 7). Kata ‘oskab’ secara arbitrer telah disepakati oleh arek-arek Malang (kera-kera Ngalam) untuk mengacu pada ‘bakso’. Susunan terbalik ini menjadi ciri khas dialek Malang. Nuansa sastra berwarna lokal Malang dari segi bahasa lebih jauh bisa dilihat dalam puisi Ganis Rumpoko yang berjudul ‘Ngalam’ yang juga tertera dalam manuskrip antologi puisi ‘Malang’ 2011 hal 43:
N G A L A M
Ebes-emes
Wanyik-wanyok
Sam-kam
Halak-nganem
Nakam-kubam
Idrek-rudit
Sinam-kipa
Adapes-libom
Halokes-rontak
Utas, aud, agit…ubir
Ledome…sing tail ngingub dan tewur…
Tiap ayas karo nawak-nawak uklam-uklam di Ngalam
selalu dengar bahasa kilaban
Dari mana asalnya genaro-genaro itu bisa beristilah kerakera?!
Kadit itreng, Rulud!!
Mayoritas diksi dalam puisi Ganis di atas merepresentasikan bahasa khas Malang. Dalam konstruksi identitas, bahasa merupakan salah satu unsur penting, selain aspek budaya lainnya. Bahasa dialek Malang tersebut menegaskan lokalitas dan warna lokal. Bahasa tidak sekedar bagian dari struktur bentuk namun telah menjadi ruh identitas dan berkorelasi dengan tema bermuatan budaya. Bahasa juga menunjukkan jati diri penulis dan tokoh-tokoh ciptaannya. Posisi bahasa ‘Malangan’ dalam puisi di atas sama dengan bahasa Jawa dan bahasa etnik lainnya yang digunakan pengarang untuk menandai identitas kultural tokoh dan menegaskan ‘lokalitas’ memiliki ciri khas di tengah dialektika global. Orang dari luar Malang mengenal Malang salah satunya dari bahasanya./Tiap ayas karo nawak-nawak uklam-uklam di Ngalam/selalu dengar bahasa kilaban/ (Tiap saya dengan kawan-kawan jalan-jalan di Malang selalu terdengar bahasa ‘kebalikan’). Di berbagai kota di Indonesia spanduk bertuliskan ‘Ongis Nade’ (Singo Edan) sering berkibar. “Halak-nganem” (Kalah Menang) Aremania tetap memberikan dukungan. Hibriditas lokal dan nasional dalam puisi di atas tak terelakkan. ‘Kadit’ (tidak) adalah petanda dari bahasa Indonesia, sementara ‘Rulud’ (dulur) adalah petanda dari bahasa Jawa yang berarti saudara. Negosiasi warna lokal dan nasional dengan demikian sangat berpotensi melahirkan hibriditas kultural yang termanifestasikan dalam karya sastra.
Persoalan dan Tantangan Proses Kreatif Sastra Malang
Malang Raya terus berkembang menjadi area berbudaya hibrid dan dipenuhi para pendatang dari berbagai latar belakang budaya. Dalam masyarakat multikultural eksistensi warna lokal berpotensi tersubordinasikan bahkan menghilang. Ada beberapa persoalan yang melingkupi upaya menjadikan khasanah budaya lokal sebagai sumber inspirasi penciptaan karya sastra. Pertama, pada situasi di mana budaya-budaya tradisional yang dianggap sebagai pendukung utama nilai-nilai lokal mulai kehilangan penyangga-penyangga utamanya, seperti pewaris aktif dan pasifnya, maka eksplorasi lokalitas dalam proses kreatif sastra juga tidak akan memberikan warna kental dan signifikan karena muatan lokal hanya terkesan artifisial. Para pembaca karya sastra yang tidak mengenali warna lokal pada gilirannya juga akan terasing dengan karya yang mereka baca. Meskipun yang perlu digarisbawahi, lokalitas dan warna lokal bukanlah entitas yang statis, namun terus berkembang karena persentuhannya dengan warna nasional dan global. Penggalian khasanah lokal dengan paradigma bersastra modern mungkin dan perlu dilakukan, sehingga warna lokal tidak dinarasikan dalam perspektif yang ketinggalan zaman. Kedua, generasi sastrawan mutakhir mayoritas adalah generasi yang jauh dari tradisi lokal dan hidup dalam persimpangan berbagai budaya. Sehingga genre dan tema karya sastra yang diangkat juga merefleksikan pengaruh global. Dominasi tema dan gaya bersastra dari Eropa dan Amerika terbukti memengaruhi para sastrawan Indonesia sejak lama. Gaya bersastra barat yang dianggap lebih superior melahirkan konsekuensi negasi tema-tema lokal yang dinilai inferior. Ketiga, warna lokal sebagai sumber penciptaan sastra berwarna lokal tidak lagi lestari. Padahal, entitas dan praktek budaya lokal yang bisa dilihat dan dihayati secara langsung akan mampu melahirkan kedalaman narasi, dari pada hanya mendasarkan penciptaan karya pada eksplorasi teks-teks yang merupakan proyek-proyek dokumentasi budaya daerah. Jika dikaitkan dengan Malang Raya, berbagai fakta dan fenomena yang terjadi di dalamnya ini tidak lepas dari akselerasi pembangunan di Malang yang melahirkan gelombang budaya massa dan ciri khas metropolitan. Dalam transformasi ini posisi sastra berwarna lokal dihadapkan pada tantangan-tantangan, apakah bisa berkembang dan diterima oleh pembaca sastra.
Ruang ekspresif dan praksis budaya lokal masih mungkin terbuka. Proses kreatif sastra berwarna lokal tidak hanya bisa termanifestasikan dalam bahasa sebagai media dan pembentuk identitas, namun juga berbagai ritual dan tradisi yang menjadi ciri khas suatu daerah dan aspek-aspek budaya lokal lain seperti makanan, pakaian. Lokalitas dan warna lokal selama ini didominasi oleh latar budaya dari daerah-daerah yang memang memiliki keunikan dan akar budaya seperti sastra berwarna lokal Dayak, Madura, Jawa, Sunda, dan juga Bali.
Malang memberikan warna pada proses kreatif sastra dari khasanah budaya yang dimilikinya, seperti kisah-kisah berlatar kerajaan dan situs kepurbakalaan, cerita rakyat berbasis kearifan lokal dan lingkungan, fenomena multietnik, dan dialek lokal yang menjadi ciri khas. Jika lokalitas dan warna lokal Malang tidak digali, dipertahankan dan dijadikan sumber inspirasi maka identitas Malang hanya akan tinggal kenangan dan berada dalam angan-angan, sementara ruh kulturalnya termarjinalkan dan terancam hilang dalam pusaran global.
Daftar Pustaka:
Darma, Budi. 2003. “Sastra Kita: Menghadapi Masa Depan”. Dalam Abdul Rozak Zaidan dan Dendy Sugono (ed). Adakah Bangsa dalam Sastra?. Jakarta: Progress dan Pusat Bahasa.
Ibrahim, Ratna Indraswari. 2008. Pecinan Kota Malang. Malang: Human Publishing.
______________. 2003. Lemah Tanjung. Jakarta: Grassindo.
Mishar, Denny. 2011. “Air Terjun”. Dalam Barisan Hujan: Antologi Cerpen Pilihan Malang Post 2010. Solo: Gazzamedia.
Qomariah, Titik. 2009. “Senja”. Dalam Pledooi: Pelangi Sastra Malang dalam Cerpen. Malang: Mozaik books.
Rosidi, Ajib.1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Sutarto, Ayu. 2004. “Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan Untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa Timur”. Dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwono Sudikan (ed). Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda.
Wurianto, Arif Budi. 2009. Aspek Budaya pada Upaya Konservasi Air dalam Situs Kepurbakalaan dan Mitologi Masyarakat Malang. Malang: UMM.
[1] Dalam kamus Collins Cobuild Advanced Learner’s English Dictionary (2003:845), ‘locality’ (lokalitas) didefinisikan sebagai ‘small area of a country or a city’ (bagian wilayah dari negara atau kota), sementara frase ‘Local colour’ (warna Lokal) digunakan untuk mendeskripsikan “customs, traditions, dress, and other things which give a place or period of history its own particular character” (berbagai kebiasaan, tradisi, pakaian dan berbagai khasanah budaya lainnya yang memberi ciri khas suatu daerah atau periode tertentu).
[2] Pertengahan tahun 90an pernah ada upaya revitalisasi ‘sastra pedalaman’ yang merupakan ‘counter’ atas dominasi pusat-pusat sastra. Namun, saya di sini ingin lebih memberikan tekanan pada urgensi mengeksplorasi warna lokal yang bisa memberi ciri dari ‘lokalitas’ sebagai tempat sastrawan berproses kreatif yang tentu bisa memperkuat gaya dan isi karya-karya sastrawan di daerah.
[3] ‘Pecinan Kota Malang’ karya Ratna Indraswari Ibrahim
___________
*) Tulisan Ini pernah di Sampaikan pada Acara Diskusi Sastra “Pemikiran dan Lokalitas dalamb Sastra Jawa Timur” yang diselenggarakan oleh Pelangi Sastra Malang dan Dewan Kesenian Jawa Timur.
**) Sastrawan, Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang, Alumnus Universitas Bayreuth Bayern Jerman.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/pelangi-sastra-malang/malang-raya-dalam-sastra-lokalitas-dan-warna-lokal-di-tengah-dinamika-global/330859616943029