Syaf Anton Wr
publiksastra.net
Mengembangkan kesusasteraan berarti juga membangun keseimbangan dan keselarasan dalam pembangunan kebudayaan. Melalui sastra, manusia dapat menghargai kehidupan. Penghayatan terhadap sastra dan kemajuan teknologi merupakan dua hal yang harus isi mengisi untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan dalam pembangunan kebudayaan suatu bangsa.
Dalam posisi seperti ini, membaca perkembangan kesusasteraan Indonesia tampaknya “dinilai” cukup baik dan mengesankan, meski belum begitu menggembirakan. Di satu sisi, banyak penulis-penulis sastra yang muncul, namun disisi lain masih mengalami penurunan jumlah penerbitan yang berorientasi pada kepentingan kesusasteraan. Tidak banyak majalah-majalah dan surat kabar yang memperhatikan dengan menyediakan rubrik-rubrik sastra. Dan sastra makin tidak dibaca dan dijauhi.
Demikian pula dalam bidang penerbitan buku, pengusaha penerbitan sangat hati-hati mengangkat karya sastra. Buku sastra – barangkali – tidak menguntungkan. Kalaupun ada hanya sebatas sastrawan-sastrawan tertentu, atau “orang dalam” sebagai kompensasi sekedar “menghargai”. Sementara para sastrawan dalam mengikuti perkembangan penerbitan, harus berani bertaruh dengan modal sendiri, dan tidak bisa diharapkan lagi keuntungan (material) dari penerbitan buku-bukunya.
Ironis memang, sebuah negara seperti Indonesia yang konon “kaya raya”, justru amat miskin penerbit-penerbit yang mengangkat budaya bangsa sendiri. Kalaupun ada, jumlahnya tak seberapa dibanding dengan jumlah sastrawan dan karya-karyanya. Akhirnya karya sastra tidak terbaca, tidak sampai pada tujuannya, yaitu apresiasi sastra.
Kecanggihan teknologi diharapkan bisa berpeluang dan bergandengan dengan sastra, namun tampaknya mereka berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada tempat sastra bagi televisi, sedang media radio cuma sepotong-potong membuka lahan sastra, itu pun dalam durasi terbatas. Dunia internet dengan cyber-nya, tampaknya tidak dapat diakses untuk semua orang.
Persoalan-persoalan ini menjadi alasan kuat, mengapa sastra tidak dibaca dan diminati. Pada gilirannya tuduhan akhir dan klasik; masyarakat tidak apresiatif terhadap karya sastra. Memang tampaknya makin melemahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra merupakan salah satu hambatan dalam pengembangan kesusasteraan Indonesia. Kurangnya minat dan apresiasi sastra di kalangan masyarakat adalah persoalan yang amat pelik. Namun demikian untuk menjelaskan persoalan ini perlu kajian dan pemahaman yang arif.
Lalu bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kesasteraan kedalam kondisi yang menguntungkan. Tentu, gampangnya, sedini mungkin yang paling penting adalah segera menumbuhkan kembali apresiasi sastra di kalangan masyarakat. Pengembangan sastra yang wajar adalah bilamana tingkat perkembangan kreatifitas berjalan sejajar dengan tingkat apresiasi sastra masyarakat. Adalah tidak mungkin untuk menurunkan tingkat (mutu) karya sastra untuk sekedar dipahami, tanpa memberi nilai terhadap apresiasi karya sastra.
Bagaimana Sastra (wan) Madura.
Sastra semestinya menjadi bagian hidup, begitu harapan HB. Jassin (1979). Harapan dan pendapat itu tampaknya masih relevan untuk sekarang diangkat kembali, setidaknya untuk membaliknya menjadi pertanyaan. Benarkah sastra sudah menjadi bagian hidup?. Atau lebih spesifik lagi, masihkah sastra (di Madura) masih diminati oleh masyarakatnya?. Idealnya, sastra seharusnya menjadi rohani, dan menerimanya tidak hanya dengan kesadaran otak saja, tetapi dengan seluruh kesadaran perasaan. Sastra mencari obyek pada seluruh pengalaman manusia. Seluruh pengalaman itu masuk dalam kegiatan sastra.
Pada kenyataannya – barangkali – sastra belum menjadi bagian hidup. Siapa peduli. Dan pada akhirnya makin menjadi pembenaran pernyataan klasik, bahwa sastra masih tetap terpencil pada posisinya. Sastra masih menjadi gumam. Sastra masih diawang-awang. Lalu dimana posisi sastra Madura?. Apabila kenyataan itu benar; cukup memprihatinkan. Sebab apabila yang dilukiskan HB Jassin, sungguh suatu perenungan yang luar biasa. Sastra menjadi bagian hidup, artinya sastra menjadi rohani manusia. Sastra menjadi tarikan nafas dan tak lepas dari proses kehidupan manusia
Lepas dari persoalan diatas, dalam satu sisi harus diakui bahwa dalam satu dua dekade terakhir ini, sejumlah pengarang (sastrawan) yang berasal dari sub kultur Madura sangat mencolok. Tak mengherankan apabila karya-karya sastra Indonesia mutakhir pun banyak diwarnai nama-nama sastrawan dari Madura. Paling tidak, sastrawan yang lahir dari bumi Madura telah memberi kontribusi terhadap perkembangan sastra Indonesia. Mungkin saja, makin menaiknya volume jumlah sastrawan dari Madura itu antara lain disebabkan faktor demografis dan kultural; etnik Madura mempunyai kekuatan besar dalam menterjemahkan kebudayaan sendiri.
Langsung atau tidak langsung, “larinya” sastrawan Madura ke percaturan sastra Indonesia disebabkan alasan-alasan kultural, – mungkin saja – mereka terlalu berat menanggung beban perkembangan Madura yang lamban dan tua, statis, rumit, dan kompleks. Ekspansi merupakan bagian yang tak terelakkan dari “kungkungan sosial” yang kurang menunjukkan fenomena perkembangan.
Demikian dengan sastra yang berbahasa Madura. Sastra lokal ini justru terganjal oleh persoalan-persoalan yang lebih rumit. Alasan lingual, salah satu penyebab mereka untuk menolak terjun secara mendalam dalam percaturan sastra daerah. Bahasa Madura yang bertangga (ondhag basa) dan hierarkis menjadi alasan paling kuat, dan cukup menjadi rintangan untuk melahirkan ekspresi, yang sungguh jauh berbeda dengan bahasa Indonesia yang demokratis. Bahasa Madura, sebagai bahasa kedua pun akhirnya menjadi hambatan, terutama dalam pelahiran citra-citra imajener. Tapi rintangan itu sebenarnya tak seberapa dibanding dengan beban budaya Madura yang kompleks. Hal ini bukan tak membawa akibat bagi kehidupan sastra daerah Madura. Sastra Madura kini, hanya ditulis oleh pengarang-pengarang kelas tiga, empat dan lima, sedang pengarang-pengarang kelas dua dan kelas wahid ramai-ramai menyerbu sastra Indonesia. Akhirnya sastra Madura jadi kerdil. Lantas apakah kehidupan sastra di Madura pun akan mengalami hal yang sama sebagaimana terjadi pada sastra daerah.
Apabila benar kerdilnya sastra daerah (Madura) disebabkan pendukungnya, yaitu para penulis/pengarang/sastrawan-nya berbondong-bondong hijrah ke sastra Indonesia, maka tak terkira menyedihkan, karena bagaimanapun bobot penulis menentukan bobot sastra. Dalam keadaan demikian mungkin sastra Madura akan menjadi serpih-serpih dan rintih di tengah muzaik budaya nasional.
Membangun Kekuatan Sastra
Sebagaimana yang dimaksud dalam judul makalah ini, tidak hanya menyangkat karya sastra, juga akhirnya akan berhubungan langsung dengan para sastrawannya. Demikian pula, sebagaimana suku atau etnik bangsa lainnya, Madura juga memiliki kekuatan besar dalam percaturan sastra di Indonesia, yakni sastra daerah Madura, namun perkembangannya banyak mengalami tantangan dan hambatan, alasan klasik yang secara umum terjadi dihampir semua wilayah perkembangan sastra etnik daerah, akhirnya sastra etnik Madura menjadi lumpuh. Meski jumlah penutur bahasa Madura secara kultural jauh lebih luas dari penduduk pulau Madura sendiri, namun perkembangan sastra Madura tidak lagi mampu mengikuti arus perkembangan jaman. Inipun merupakan satu bagian dari fenomena kesasteraan di Madura.
Membangun kekuatan bidang sastra, tidak sekedar seberapa indah menyusun kata-kata dalam karya sastra. Persoalan-persoalan di luar sastra justru lebih dominan dan mampu membangun kekuatan lebih besar lagi. Beberapa gagasan yang barangkali lebih mencair bila disadari, bahwa semua persoalan yang menjadi hambatan dalam menguatkan posisi sastra dan sastrawan Madura, dapat diraih melalui:
1. Pembinaan dan Pengembangan Sastra(wan)
Pembinaan sastra berbeda dari pengembangan sastra. Perbedaan itu terletak pada sasaran dan tujuannya. Yang menjadi sasaran pembinaan ialah manusianya; pengarang/sastrawan, guru, siswa atau masyarakat secara umum yang berperan sebagai kelompok pembaca yang mengapresiasi karya sastra. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada dua kelompok yang menjadi sasaran pembinaan, yaitu kelompok yang menghasilkan karya sastra dan kelompok yang menikmati karya sastra. Adapun pengembangannya adalah (karya) sastra itu sendiri.
Berdasarkan sasaran tersebut, pembinaan sastra bertujuan agar pada satu pihak kelompok penghasil sastra atau kelompok sastrawan memiliki “kegairahan” dalam melaksanakan profesinya dan pada pihak lain kelompok pembaca/penikmat sastra memiliki apresiasi yang makin lama makin meningkat terhadap karya sastra. Pengembangan sastra bertujuan agar keberadaan sastra sebagai salah satu unsur utama kebudayaan nasional tetap mantap dan mutunya makin meningkat sehingga kelompok pembaca tetap dapat merasakan sebagai salah satu jenis kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun kecenderungan yang mungkin terjadi bahwa dinamika perkembangan kehidupan dapat mengakibatkan kelompok pembaca akan berpaling dan mungkin akan menjauhi sastra. Tingkat perkembangan ini seringkali lebih “dahsyat” daripada tingkat pertumbuhan dan perkembangan sastra sendiri.
2. Menggairahkan Kelompok Sastrawan.
Kegairahan kelompok sastrawan dalam menekuni bidang profesinya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkenaan dengan wawasan dan pandangan filosofis yang bersangkutan dengan dunia sastra maupun dengan motivasi yang melatarbelakanginya dan mendorong untuk menghasilkan karya sastra. Adapun faktor eksternal berkaitan dengan sejumlah akibat yang timbul setelah karya sastra itu diterbitkan: seberapa banyak karya sastra itu dicetak (tiras), bagaimana penyebarannya kepada masyarakat pembaca, apakah nominalnya terjangkau atau sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, seberapa jauh tema (kualitas karya) yang disajikan dapat menarik minat para (calon) pembeli atau pembaca dan seterusnya.
Dari rentetan pertanyaan diatas dapat dilihat seberapa jauh korelasi antara minat baca dan tingkat apresiasi masyarakat terhadap karya sastra dengan daya beli masyarakat. Upaya meningkatkan daya beli masyarakat jelas bukan merupakan bagian tujuan pembinaan sastra. Yang relevan dengan upaya pembinaan ialah upaya menumbuhkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra. Kegiatan pembinaan yang paling mungkin dan dapat dilakukan ialah melalui pengajaran di sekolah. Sekolah (siswa) merupakan bagian (unsur) yang paling dekat untuk diberi (diajarkan) tentang apresiasi sastra. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, kerap dihadapkan dalam posisi “gamang”, yaitu lemahnya guru pengajar dalam memahami dan mengikuti perkembangan kesusasteraan Indonesia dan daerah. Akibatnya pengajaran sastra hanya melingkar-lingkar dalam pusaran teks buku pelajaran.
Tentang kegiatan pembinaan yang menyangkut kelompok sastrawan dapat dikemukakan dua hal: pertama, hubungan sastrawan dengan penerbit dan kedua hubungan antara sesama sastrawan sendiri. Menyangkut hal yang terakhir ini dapat diamati melalui pertanyaan ada atau tidak adanya wadah atau organisasi profesi kesasterawanan atau kepengarangan. Dalam menghadapi berbagai urusan atau tuntutan yang menyangkut publisitas karya, organisasi bisa menjadi alternatif jalan keluar dan bahkan mampu menembus media-media diluar batas kemampuan sastrawan sendiri. Demikian pula penghargaan kepada sastrawan, merupakan bagian rangsangan dalam membangun kekuatan karya yang besar lagi, meski hal ini kerap terjadi dualisme pengertian dari masing-masing sudut pandang para sastrawan.
3. Sastra Sebagai Obyek.
Seperti telah disinggung sebelumnya, pengembangan sastra menempatkan karya sastra sebagai sasaran atau obyek kegiatan yang akan diteliti dan dikaji, yang bermanfaat untuk penyusunan, misalnya, kamus sastra, ensiklopedi sastra, sejarah sastra, ataupun buku panduan pengajaran sastra dan sebagainya. Karya sastra yang menjadi sasaran pengembangan itu tidak hanya menyangkut sastra Indonesia, tetapi juga sastra-sastra daerah. Upaya pengembangan tersebut, akan menjadi tanggung jawab para kritikus, pakar sastra, peneliti atau pihak-pihak yang kemungkinan menjadi jawaban persoalan-persoalan sastra dalam berbagai aspek. Demikian pula melalui penerbitan-penerbitan buku yang secara umum menjadi incaran dari kalangan sastrawan, adalah hal yang tidak mustahil bila proses pembinaan dan pengembangan sastra mempunyai tolok ukur yang jelas dan menjadi tanggung jawab bersama.
Kegiatan pembinaan sastra dan pengembangan sastra itu dapat saling menunjang dan saling melengkapi, keduanya perlu dilakukan atas dasar suatu kebijakan yang berencana, terarah dan terpadu. Rambu-rambu seperti ini diperlukan mengingat kondisi sastra daerah dan sastra di daerah yang boleh dikatakan amat heterogen. Saling menunjang dan saling melengkapi sangat penting untuk membangun kekuatan sastra.
Meskipun diniatkan bahkan di rencanakan agar terdapat keseimbangan antara kegiatan pembinaan dan pengembangan, ternyata keseimbangan itu sulit untuk diukur. Hal ini berkaitan dengan mungkin atau tidaknya dilakukan kuantifikasi terhadap hasil kedua jenis kegiatan tersebut. Kegiatan pengembangan sastra yang hasilnya akan menjadi bukti tingkat kuantifikasi karya sastra dengan berbagai ragam dan bentuknya, namun pada kegiatan pembinaan yang bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan apresiasi sastra masyarakat jelas tidak dapat dikuantifikasi, hanya sebatas diamati. Namun gejala-gejala yang muncul akan dirasakan ketika terjadi kepedulian semua pihak ikut terlibat dalam aktifitas sastra.
Semua ini hanya dapat dicapai apabila semua pihak, semua unsur, semua elemen yang “mengatasnamakan masyarakat Madura” merasa berkepentingan membaca dan menguak fenomena sastra Madura (sastra di Madura) ke depan. Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa sastra (wan) Madura merupakan bagian kekayaan Indonesia, yang perlu terus dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang kini jauh dan menjauh dari lingkungan budayanya sendiri.
Daftar Poestaka:
_Sastra Indonesia dan Daerah, Sejumlah Masalah, Kusman K. Mahmud (1987)
_Panorama Sastra Nusantara, Balai Pustaka (1997)
_Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Madura di Era Otonomi Daerah (makalah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Daerah, Unesa), Syaf Anton Wr (2002)
http://publiksastra.net/2011/12/membangun-kekuatan-sastra-wan-madura/