Zulfikar Akbar *
“Papua adalah masyarakat pejuang. Dan pejuang takkan biarkan diri tertinggal dan kelebihan mereka hilang.”
Pembalut kelamin pria yang disebut koteka tergenggam di tangan seorang kenalan yang baru kembali dari tanah Papua. Menyusul cerita-cerita tentang masyarakat di daerah dimaksud, yang lebih menyiratkan kesan bahwa Papua benar-benar masih sangat tertinggal. Kening saya mengernyit, benarkah tepat menyebut mereka masih tertinggal jauh dari masyarakat lain di nusantara ini?
Awalnya, saya mencoba mencari-cari angka–yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan, dlsb, karena termakan pandangan jika tanpa angka, jaman sekarang sulit untuk jelaskan sesuatu. Tapi kemudian, angka yang saya lihat tidak demikian saja membuat saya tertarik untuk menyimpulkan serupa dengan kenalan yang baru bercerita tentang Papua. Kendati, dari beberapa data yang saya temukan, khusus berhubungan dengan pendidikan atau setidaknya kemampuan baca tulis, masih ironis karena lebih dari 80% dari 12.000 jiwa—yang terbagi dalam 66 klan—masyarakat Amungme buta huruf.
Berlogika bahwa dalam kekurangan berada kekuatan. Jadi, tentu dalam kekurangan mereka dalam beraksara, masih ada hal lain yang justru tumbuh sebagai kelebihan. Dan memang, sastra lisan menjadi bagian yang menunjukkan kelebihan dimaksud.
Akhirnya, ya sudah, saya coba untuk bisa memburu berbagai informasi yang berhubungan dengan Papua. Dari sana, lepas dari ketertarikan pribadi terhadap sastra, tetapi memang kemudian saya tertarik untuk menyimak beberapa hal yang berhubungan dengan persoalan sastra di tengah masyarakat Papua. Utamanya di kalangan masyarakat suku Amungme yang dari beberapa sumber disebutkan memiliki kelekatan dengan sastra lisan, sebagai bagian sastra yang hari ini di Indonesia tidak memiliki titik perkembangan, atau bahkan cenderung nyaris terlupakan.
Angaye-angaye wagana nikaro. Morae banago, bao, aa, bao. Antok anu ae anago, bao, bao. Jilki untae bawano, bao, bao. Salah satu ekspresi lisan masyarakat di sana—di kalangan suku Amungme, yang biasanya menghuni Lembah Tsinga, Noemba, Waa, dan Lembah Wea. Itu merupakan salah satu syair yang sudah demikian lama. Syair tersebut sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka—belum terketemukan jejak kapan tepatnya syair itu mulai dikenal masyarakat di sana. Memiliki isi yang kurang lebih seputar pemujaan dan terima kasih kepada alam yang sudah melindungi mereka, berdasar pengakuan masyarakat suku Amungme (Arnold Mampioper, 2000).
Di samping, masyarakat Amungme juga akrab dengan mantra-mantra yang dirapalkan sedemikian rupa oleh tetua-tetua kampung masyarakat dimaksud. (Penelitian Elsam: 2003).
Mereka juga memiliki syair yang sangat dikenal di kalangan masyarakatnya yang berisikan petuah untuk menyatu dengan alam. Bahwa dirinya adalah alam, dan alam adalah dirinya. Diisyaratkan dalam syair “Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh arop napatendak, ib arop nan atendak. Kela arop nap atendak iatong heno! Inak juo onen diamo!” (ibid).
Tentu saja, kendati masih banyak pendukung lainnya untuk menunjukkan sisi kemelekatan masyarakat Amungme dengan sastra. Tetapi beberapa itu, sedikitnya sudah mencerminkan, memberikan gambaran yang bahwa mereka bukan masyarakat yang benar-benar tertinggal. Toh, bicara peradaban, sastra menjadi salah satu tolok ukur yang tidak bisa ditampik untuk juga bisa dijadikan bukti kemajuan mereka, yang dengan begitu mereka tetap bisa disetarakan dengan masyarakat lain di Papua dan bahkan di tengah masyarakat nusantara lainnya.
Sedangkan Papua sendiri, memiliki suku-suku yang dari beberapa catatan disebutkan mencapai jumlah 250 suku. Tentu saja, dalam sekian banyak suku dimaksud, terdapat berbagai hal yang memang menarik untuk ditelusuri. Spesifik berhubungan dengan sastra, andai ke depan sisi sastra yang tumbuh di semua suku itu bisa ditelusuri. Tidak saja khasanah sastra Indonesia akan lebih memiliki kekayaan bahan, tetapi juga bisa menjadi jembatan untuk pelestarian khasanah dimaksud.
Berbalik andai hal demikian bahkan luput menjadi perhatian, dan bahkan dari kalangan intelektual masyarakat Papua sendiri, tak pelak kekayaan itu bisa bergeser, tergerus atau bahkan hilang sama sekali. Apalagi, dari apa yang selama ini tersaji, masyarakat Papua harus diakui juga sudah lama bersentuhan dengan modernitas.
Kecemasan saya, ketika kemudian modernitas yang berarus demikian deras itu benar-benar kian deras hinggap, entah di alam pikiran dan bahkan ke sikap hidup masyarakat Papua, tanpa semacam upaya maksimal untuk menetralisir, kemungkinan semua itu hilang jelas berpeluang sekali.
Persoalan ini, menjadi perhatian saya, karena selama ini mengikuti perkembangan berbagai hal di dunia virtual, media cetak sampai dengan perbukuan. Dari yang saya ikuti tersebut, buku-buku dan sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan budaya Papua, hari ini tergolong kurang—setidaknya dibanding dengan karya tulis berkait yang berasal dari daerah lain di Indonesia. Bahkan, untuk blog pun yang berasal dari masyarakat Papua masih jarang bisa ditemui.
Padahal, ekspresi jiwa semisal sastra itu merupakan penegas seperti apa kelebihan dan ketinggian derajat, bahkan derajat sebuah bangsa.
Jamak kita tahu, saat sesuatu yang baru datang, jika muatan nilainya berbeda, maka kecenderungannya adalah membuat yang telah pernah ada hilang sama sekali. Semoga ini hanya ketakutan saya saja, dan ketakutan tersebut tidak benar-benar terjadi di sana. Apalagi saya percaya, Papua adalah masyarakat yang berjiwa pejuang. Dan, pejuang, saya yakini tidak pernah membiarkan diri mereka tertinggal.
ALSO PUBLISHED IN: PROTAGONI. FOLLOW: @zoelfick
[Untuk Diskusi Seputar Sastra, Gabung di: KOMUNIKASI SASTRA]
12 December 2011
*) Pegiat media. Tertarik pada masalah-masalah sosial, sastra, dan nilai-nilai filosofistik dalam tradisi dan budaya masyarakat nusantara. Selain juga berminat pada filosofi Zen dan Sufistik. “Tidak ada yang bisa kita tuntut untuk berubah menjadi lebih baik, kecuali diri sendiri.”