Edi Purwanto
Membaca Derrida tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah yang melatar belakanginya. Kita juga tidak bisa gegabah dalam memetakan konsep pemikiran Derrida. Sebelum saya memaparkan konsep-konsep Derrida tentang dekontruksi, intertekstualitas, trace dan logocentrisme tentunya saya harus memberikan penjelasan tentang para pemikir yang mempengaruhi Derrida. Dalam pergulatan pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh fenomenologinya Hussrel dan Heidegger, psikoanalisisnya Freud dan genealogi moralnya Nietzstche.
Karya-karya Derrida memang susah sekali untuk diinterpretasikan. Selain dalam penulisnya menggunakan bahasa prancis klasik, Derrida menggunakan bahasa yang seringkali memang susah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan ambigu. Tulisan seperti ini sepertinya sengaja digunakan Derrida supaya tidak terjebak pada logosentrisme. Hal ini banyak diakui oleh para reader Derrida. Barangkali saya juga salah dalam memberikan interpretasi tentang pemikiran Derrida. Tapi saya masih meyakini perkataan Derrida tentang author is dead.
Dengan demikian ulisan-tulisan Derrida masih membuka peluang yang besar untuk dikoreksi kembali. Derrida tidak pernah menganggap tulisanya sebagai karya yang fixs. Dia masih memberikan ruang yang luas dalam meninjau ulang tulisanya. Untuk menjelaskan Derrida, saya berkepentingan untuk memberikan sedikit paparan tentang strukturalisme. Dengan membahas aliran ini, kiranya untuk membahas pemikiran Derrida bisa mudah untuk difahami.
Lahirnya Strukturalisme
Wacana esensialisme dirasa tidak mencukupi lagi untuk memahami suatu keutuhan masyarakat, khususnya ketika ia dihadapkan pada pengetahuan. Strukturalisme lahir dari pergeseran wacana tentang masyarakat dan pengetahuan. Ada yang dilupakan dalam wacana sebelumnya, terutama mengenai fenomena struktural yang pada hakikatnya terdapat dalam relasi perbedaan suatu masyarakat. Oleh karena itu sejarah ilmu bukan merupakan ungkapan pikiran, melainkan suatu konfigurasi epistemologis. Jadi, pada awalnya strukturalisme adalah sebuah gerakan intelektual yang mendasarkan diri pada usaha untuk memahami masyarakat sebagai sistem realitas yang menyeluruh yang ditekankan pada bangunan intelektualnya (Lechte, 2001: 15).
Kelahiran strukturalisme mulai menemukan bentuknya sekitar era 50-an. F.M. de George dalam esainya “Charles Baudelaire’s ‘Les Chats’” (1972), sebagaimana yang dikutip Spivak, mengatakan bahwa kebangkitan strukturalisme berawal dari pertemuan Roman Jakobson, ahli linguistik dan salah seorang anggota Mazhab Formalisme Praha, dengan seorang antropolog Claude Lévi-Strauss di Amerika Serikat. Salah satu peristiwa yang dianggap sebagai tonggak kebangkitan strukturalisme dengan mainstream metode interpretasinya (Spivak, 1976: 111).
Secara umum strukturalisme adalah gerakan intelektual yang mengisolasikan struktur umum aktivitas manusia. Struktur adalah kesatuan beberapa unsur atau elemen yang terdapat dalam relasi yang sama pada “aktivitas” manusia. Kesatuan struktur tersebut tidak bisa dipilah secara terpisah menjadi elemen, karena struktur adalah subtansi dari hubungan antar elemen. Strukturalisme berkembang meliputi berbagai bidang, termasuk sastra, linguistik, antropologi, sejarah, sosio-ekonomi dan psikologi.
Strukturalisme Saussurean mengenalkan sebuah pengertian tentang “struktur”. Saussure menitikberatkan praktek-praktek material adalah cara ditemukannya makna “struktur” yang sebenarnya. Kemudian Saussure melanjutkan proyek strukturalisme pada penyelidikan linguistik, bahwa bahasa harus ditinjau ulang agar linguistik memiliki landasan yang mantap. Saussure menentang anggapan sebelumnya yang menyatakan bahasa bersifat rasional ketika dihadapkan pada sejarah. Para ahli linguistik sebelumnya melakukan pendekatan historis pada bahasa agar didapati nilai intrinsik dalam bahasa tersebut. Bahasa adalah proses nomenklatur (penamaan) keterkaitan antara nama dan objek yang ditentukan secara historis.
Apa yang ditekankan Saussure adalah bukan pada penataan bahasa secara historis yang menemukan nilai intrinsik dalam bahasa, melainkan pada konfigurasi bahasa yang mentolerir kekinian. Yang terjadi kemudian adalah hubungan unsur atau elemen yang tertata dengan cara tertentu melalui sistem atau struktur. Di mana individu tidak akan bermakna ketika melepaskan diri dari struktur. Saussure mencanangkan terma-terma yang berkaitan dengan struktur yang bertautan dengan masa kini. Ia menjelaskan bahwa bahasa (langue) adalah perbedaan, di mana sistem sendiri adalah produk perbedaan tersebut. Dan bahasa hanya bisa bermakna ketika dipahami melalui sistem-sistem bahasa dalam suatu konfigurasi linguistik atau totalitas perubahan sistem-sistemnya. Untuk mendapatkan totalitas tersebut harus dilakukan pendekatan bahasa dengan perspektif sinkronis. Di mana suatu fenomena tekstual hanya bisa ditemukan melalui pendekatan kekiniannya (sinkroni) ketimbang perkembangan historisnya (diakroni).
Derrida membaca gelagat struktur yang bermuatan paradigma metodologis strukturalisme Saussurean semacam ini terdapat pengoposisian, yang kemudian disebut oposisi biner, antara dua terma yang diperlawankan. Para strukturalis mengasumsikan salah satu terma dianggap lebih superior dibanding terma lainnya. Karena dalam terma super tersebut dipercaya sebagai tempat persembunyian metafisika, tempat di mana makna selalu hadir di dalamnya yang disebut Derrida dengan “metafisika kehadiran” (metaphysics of presence).
Lebih luas oposisi biner ini menjangkiti semua pengertian yang terkait, di antaranya: sinkroni/diakroni, sistem bahasa (langue)/tindak bahasa (parole), aktivitas/pasivitas, tuturan (speech)/tulisan (writing), penanda (signifier)/petanda (signified), waktu/ruang, dan sebagainya. Apa yang dilupakan para strukturalis adalah mereka lupa meletakkan “tanda silang” (sous rature) dan tidak mempersoalkan oposisi biner tersebut.
Lebih lanjut oposisi biner ini akan dipermasalahkan grammatologi dan différance. Demikian halnya ketika pemaknaan bahasa hendak dicapai, tuturan (speech) lebih diprioritaskan dari pada tulisan (writing). Sebab dalam tuturan, individu yang notabene bentukan dari sistem budaya tertentu mampu mengartikulasikan bahasa sekaligus menyuguhkan maknanya secara langsung dalam kekiniannya. Terutama melalui tuturan, peran dan fungsi objek yang terbahasakan mampu diperlihatkan oleh subjek yang merekonstruksi objek tersebut, yang secara aktual struktur berperan sebagai simulakrum objek (Spivak, 1976: l12).
Berbeda dengan tulisan sebagai ekspresi derivatif yang lemah, yang senantiasa menutup diri dari artikulasi yang langsung tersebut, sehingga maknanya menjadi kabur karena berbagai interpretasi. Tulisan adalah “suplemen” berbahaya yang menjebak bahasa jauh dari keotentikan aslinya dalam tuturan dan kehadiran-diri. Untuk mengikat pikiran seseorang kepada tulisan berarti untuk menyerahnya kepada wilayah publik, yang beresiko salah dimengerti oleh semua tipu muslihat akibat campur-aduknya penafsiran. Tulisan adalah “kematian” yang menghadang pikiran, agen licik pembusukan yang kerjanya menjangkiti seluruh sumber kebenaran.
Derrida membaca oposisi serupa juga berlaku pada Lévi-Strauss, tuturan sebagai kehidupan dan vitalitas, dan tulisan sebagai kegelapan yang berkonotasi pada kekerasan dan kematian. Husserl juga membedakan dua macam tanda yang memiliki perbedaan pokok, antara tanda indikatif dan tanda ekspresi. Tanda ekspresi telah diberi makna yang merepresentasikan tujuan makna atau kekuatan intensional yang “memberi nyawa” bahasa. Sebaliknya tanda indikatif adalah tanpa ekspresi yang “tak bernyawa” dan sistem rasa yang abritrer.
Dengan palu différance Derrida meruntuhkan sistem oposisi tersebut. Oposisi yang menempatkan terma pertama pada kedudukan superior yang diasumsikan melalui strukturnya memiliki makna yang hadir yang bersembunyi di balik teks. Derrida meruntuhkan oposisi ini dengan menghancurkan “hierarki”-nya, melawan kekerasan dengan kekerasan, pembalikan terma, dan terma pemenang harus diletakkan di bawah tanda silang. Sehingga memberi ruang pada “konsep” baru yang tidak dipahami dengan cara pandang oposisi.
Keterjebakan Barthes
Secara umum semiologi adalah ilmu atau teori tentang tanda, yang berupaya mencari keontentikan makna bahasa melalui hubungan pertandaan. Semiologi telah di mulai oleh Saussure. Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang realitas telah ditentukan secara acak karena ragam perbedaan oleh bahasa yang representatif dari pengetahuan tersebut. Bahasa yang arbitrer menyebabkan Saussure menghapus hubungan alami antara kata (word) dengan benda (thing).
Saussure menyediakan pengganti hubungan alami tersebut dengan bahasa yang merefleksikan jejaring pertandaan dalam sistem kode dan konvensi.Menurut pembacaan Derrida, semiologi Saussure bisa ditunjukkan melalui tuturan. Makna atau petanda selalu bisa dihadirkan dalam sebuah tuturan, dan melalui tuturan pula roh metafisis bisa dihadirkan. Lain halnya dengan tulisan yang menutup diri pada roh tersebut. Tuturan tempat persembunyian makna-makna ini bisa ditelusuri pada sang empu linguistik strukturalis Roman Jakobson. Ia mengenalkan dengan istilah “fonologi”, yakni adanya keterkaitan antara bunyi dan makna. Gagasan fonologi pertama kali muncul dari studinya atas puisi Ceko dan Rusia, keduanya terdapat perbedaan dalam iramanya (Lechte, 2001: 110).
Sehingga makna bisa diderivasikan dari perbedaan bunyinya. Maurice Merleau-Ponty, seorang Husserlian, juga mengamini adanya makna di balik yang pra-eksis. Dengan gaya fenomenologi, ia menyatakan bahasa bisa dikenali apabila adanya makna dalam proses pertandaannya. Spesies-spesies “metafisika kehadiran” logosentrisme, fonosentrisme dan phalosentrisme Lacan yang dianggap sebagai struktur fundamental strukturalisme kemudian juga akan di bongkar satu per satu oleh Derrida.
Kritik Baru adalah turunan strukturalisme yang muncul atas pembacaan sastra secara kritis dengan wajah retorika metodis. Secara umum Kritik Baru mengupayakan sastra tidak dengan jalan rasional, namun dengan pendekatan metodis yang disadari cara kerjanya tidaklah sama dengan objek yang diupayakannya. Singkatnya, metode pendeskripsiannya tetap menjaga kesakralan sastra. Jonathan Culler, Geoffrey Hartman, Paul de Mann, J. Hillis Miller, W.K. Wimsatt adalah di antara nama-nama para Kritikus Baru tersebut.
Salah satu para Kritikus Baru itu adalah Roland Barthes.Pemikiran Barthes lanjut mulai melepaskan diri dari strukturalisme. Barthes pun mulai menginsyafi semiologi yang selalu dibayangi strukturalisme dan menemukan kelemahan proses pertandaan yang diterapkan melalui analisa yang terlalu rigorous.
Kemudian ia menyimpulkan bahwa strukturalisme merupakan aktivitas, praktek pembacaan teks yang open-ended dan bukan dengan pengetatan “metode”. Maka dalam karya-karya Barthes selanjutnya membiarkan teks berbicara sendiri dari pada harus menunjuk pada sang author. Baginya teks harus dibiarkan dimiliki bahasa, bukan oleh author. Barthes mulai meninggalkan pendekatan semiologi strukturalisme yang sistematis dan ilmiah, serta mengubah total gaya tulisannya, seperti yang tergambarkan melalui The Pleasure of the Text (1973) (Sunardi, 2002: 233-234).
Barthes mengenalkan istilah teks jouissance (kesenangan; kenikmatan; pelupaan) yang mendekatkannya pada teks-teks sastrawi dan mulai tercebur dalam kritik sastra ketimbang analisa-analisa formal. Walaupun Barthes mulai melepaskan diri dari pengaruh Saussure, namun kesan positivistik ala strukturalistik Barthes masih terasa.
Memang Barthes mulai mempertanyakan keotonoman subjek dengan gaya narasi orang ketiga tunggal, seperti ketika ia menulis autobiografinya sendiri. Tapi Barthes tidak sepenuhnya melepaskan teks dari author, ia tidak sepenuhnya meninggalkan sikap yang berlawanan dengan otonomi subjek author. Pembacaan yang tepat terhadap Barthes menunjukkan tingkat di mana konsep-konsep kritis terus menerus diubah atau dilepaskan oleh aktivitas penulisan oleh kesadaran-diri.
Kesadaran diri adalah nisbat subjek, dalam artian bahwa Barthes belum sepenuhnya meninggalkan otonomi subjek. Norris menambahkan para kritikus ini, termasuk Barthes, adalah strukturalisme yang merubah gayanya dengan menggunakan “metode”, yang klaim-klaimnya terkesan aneh. Ia menambahkan bahwa Barthes dan para Kritikus Baru bukanlah dekonstruksionis, bahkan mereka tak lebih dari jelmaan strukturalisme yang bergaya aneh.
Ada Sebagai Metafisika Yang Di(hadir)kan
Ada sebagai proposisi yang selalu dihadirkan dalam dunia tanda. Ada seringkali hadir dengan melampaui sistem penanda dan petanda. Petanda yang sifatnya arbriter ini membuat meng ada sebagai struktur yang seharusnya ada. Dalam pandangan Heidegger misalnya meng ada di fahami sebagai reduksi fenomenologis dari sebuah realitas. Heidegger sebenarnya ingin kembali merevitalisasi dan merehabilitasi fungsi ontologis yang ada di dalam metafisika klasik sekaligus dia ingin memberikan kritik terhadap kehadiran metafisika klasik.
Dalam memulihkan metafisika klasik ini, Heidegger mengawali kerangka teorinya dengan memikirkan ada yang terlupakan dan dikesampingkan oleh metafisika serta dikesampingkan sebagai struktur keberadan (das Sein). Dengan membiarkan ada sebagai kehadiran yang terlupakan menurut Heidegger metafisika klasik senganja menghilangkanya dari keberadaanya. Sehingga dalam paradigma metafisika klasik being sengaja tidak dihadirkan.
Sebenarnya Heidegger ingin memfalsifikasi tentang paradigma Cartesian yang memberikan determinasi tentang being berada di bawah cogito. Dalam pandangan cartesian memahami bahwa ada sebagai sentral keberadaan yang lain. “Cogito Ego Sum” itulah yang menjadi landasan epistemis kerangka Des Cartes. Dengan demikian akan semakin terlihat bahwa Cartes lebih memprioritaskan pada Cogito diatas Sum dan menjadikan berfikir sebagai poros utama keberadaan (Fayadl 2003 : 132 dan Budi Hardiman 2003 : 30).
Heidegger mempertanyakan tentang ada yang dikonsepsikan oleh Cartes. Dalam etika paradigma modern yang dipengaruhi oleh filsafat cartesian ini, Heidegger beranggapan bahwa ada dimaknai sebagai kesadaran atau subyektivitas akan tetapi tidak berlaku dalam segala zaman. Kesadaran tidak bisa dilihat dengan hubungan subyek dan obyek. Kesadaran merupakan sesuatu suatu peristiwa ada atau dalam hemat saya kesadaran merupakan salah satu cara ada membuka dirinya. Maka dari itu kesadaran dapat diraih lebih dengan cara membuka diri dan membuka kontak dengan ada daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai obyek. (Budi Hardiman 2003 : 31)
Dalam paradigma marxian misalnya memberikan oposisi antara proletar dan borjuis.dimana borjuis akan senantiasa mengeksploitasi proletar. Dan dalam keadaan seperti ini akan menimbulkan kesadaran kritis kaum proretar. Kesadaran kritis seperti ini dalam pandangan Heidegger didak lebih sebagai dominasi. Kaum proletar dalam hal ini tidak membuka diri terhadap ada melainkan cenderung mereduksi ada pada kesadaran belaka. Sebenarnya Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran. Dengan membuka diri terhadap ada dan mencandra realitas dalam kerangka fenomenologi sebagai pewahyuan diri ada.
Dengan demikian Heidegger semakin mengukuhkan bahwa ada itu terstruktur dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu ini dimaksudkan oleh Heidegger sebagai struktur yang membentuk keberadaan itu. Dengan demikian orang akan selalu memberikan interpretasi mengenai ada sebagai bentuk verbalnya. Ada sebagai bentuk verbal bukanlah keberadaan yang benar-benar ada akan tetapi ada yang di”ada”kan. Reduksi fenomenologis ini akan membawa seseorang senantiasa terjebak dalam keadaan ada sebagai sesuatu yang tidak sama sekali dibentuk oleh paradigma. Orang akan senantiasa memberikan gambaran bahwa ada sebagai bentuk yang alamiah.
Dekonstruktor dibalik Derrida
Nietzsche, Freud, Husserl dan Heidegger adalah orang-orang yang mengilhami dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi secara umum dilakukan dengan meletakkan sous rature oleh Nietzsche pada “pengetahuan”, Freud pada “psikhe”-nya dan Heidegger pada “Mengada” (Being)-nya. Nietzsche adalah orang pertama yang memulai proyek dekonstruksi. Kritik-kritik tajam yang diarahkan pada filsafat Barat dan seluruh praktek perabadan Barat adalah suatu pekerjaan dekonstruktif. Terutama sekali yang mempengaruhi Derrida adalah gaya penulisan filosofisnya yang bersikukuh dengan sikap skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan dan kebenaran. Dan membebaskan pikiran dari batas-batas konseptual yang mengurungnya.
Nietzsche bersikap skeptis terhadap metode dan konsep, kemudian mengalihkannya pada metafor dan bahasa figuratif, di mana segala kebenaran lahir dari sana. Filsafat dari Plato sampai sekarang, dengan menggunakan tirani rasio selalu menyingkirkan segala hal yang berkaitan dengan bahasa figuratif. Metafora dan segenap bahasa figuratif adalah kegairahan hidup yang menyuguhkan keragaman akan pemahaman. Nietzsche berusaha menghidupkan kembali tradisi yang dikubur oleh rezim rasio, bahwa kebenaran makna adalah relatif, bermetafora dan bergeser terus. Metafor-metafor bahasa inilah yang menjadi titik tolak tulisan-tulisan Derrida.
Dekonstruksi juga dilakukan Freud dengan mengusung tema pikiran tidak sadar, di mana sebelumnya kesadaran dan rasionalitas selalu menjadi superior dalam urusan kesadaran. Freud juga mempengaruhi “tulisan” (writing) Derrida, terutama mengenai tafsir mimpi yang diungkap melalui bahasa simbolik. Husserl mengenalkan metode menempatkan kata dalam tanda kurung (einklamerung).
Tujuan dari einklamerung semacam ini adalah menangguhkan sementara kata atau objek yang tidak memadai. Heidegger juga mengenal metode ini, dengan memberi “tanda silang” (Überqueren). Sebuah kata diberi tanda silang apabila maknanya dianggap tidak memadai namun masih berguna. Sehingga kata dibiarkan saja tercoret di bawah tanda silang. Heidegger sering menyilang kata “Mengada” (Being), sehingga kata yang tertulis menjadi “Mengada”.
Dalam Of Grammatology Derrida menjelaskan tanda melalui “jejak” (trace). Dengan kalimat terkenalnya Derrida menyatakan, “tanda adalah sebutan-jelek terhadap sesuatu” (sign is that ill-named thing), inilah cara satu-satunya menyelamatkan filsafat yang terinstitusional (Derrida, 1976: 19). Tanda tidak memiliki kehadiran, ia akan selalu ditentukan jejaknya yang tidak hadir. Tanda adalah sesuatu yang tidak utuh dan terus dipertukarkan dengan makna lain serta terus-menerus bergeser. Maka makna menjadi tertunda sampai batas yang tak berhingga, di sana lah différance mulai sedikit terjelaskan.
Dengan demikian dekonstruksi tidaklah identik dengan nama Derrida, sebab maknanya bisa bergeser ke Nietzsche, Freud, Heidegger atau tokoh dekonstruksi yang datang belakangan. Sebab bila trace menempatkan kata pada ruang makna yang berjejak, maka demikianlah maksud Derrida atas ketidakidentikan dekonstruksi dengan namanya. Atau bahkan ia pun sesungguhnya mendekonstruksi namanya sendiri, sebagaimana yang ia sering nyatakan.
Dekonstruksi ala Derrida
Lahirnya peradaban Barat adalah bentuk pemujaan terhadap logos setidaknya demikianlah yang dibaca Derrida ketika dikaitkannya dengan logosentrisme. Filsafat yang notabene sebagai pelaku utama peradaban Barat, selama ini hanya mampu menggantungkan diri pada logosentrisme (bersinonim dengan metafisika). Memusatkan dan mengembalikan semua pencarian kebenaran pada logosentrisme. Pusat selalu menandai kesatuan konstan suatu kehadiran eidos, archè, telos, energeia, ousia (esensi, eksistensi, subtansi, subjek), aletheia, transendentalitas, kesadaran atau kata hati, Tuhan, manusia, dan seterusnya (Derrida, 2001: 25 lihat dalam Spivak 1976 : 37).
Kumpulan logos tersebut antara lain: Idea, Tuhan, Rasio, Empiri, Kehendak, Roh Absolut, Materi, Struktur, dan sebagainya. Jadi apa yang ditafsirkan Nietzsche dengan “Tuhan” sama arti dengan logosentrismenya Derrida. Filsafat Barat mengasumsikan ada kebenaran esensial yang melatarbelakangi bentuk luar kebenaran (penanda) yang langsung berkaitan dengan sesuatu yang transendental yang stabil dan kokoh (logos). Di mana semua bentuk luar kebenaran harus bertolak pada kebenaran esensial yang transendental.
Sebanding dengan logosentrisme adalah fonosentrisme dan phalosentrisme phallus bukan semata organ aktual, namun sebuah penanda yang menggantikan seluruh penanda yang menandakan setiap hasrat terhadap segala ketidakhadiran. Watak logosentrisme ini kemudian melibatkan diri dalam oposisi biner, yang memberikan hak istimewa pada terma-terma super. Pengoposisian yang berkaitan dengan semiologi adalah oposisi penanda/petanda.
Derrida melihat ketidakmungkinan mencapai kebenaran atau makna tunggal melalui asumsi-asumsi logosentrisme, karena dekonstruksi selalu bekerja dalam teks-teks filsafat yang terinstitusional. Dekonstruksi pada awalnya adalah pembacaan teks pada sastra, ia bergerak di wilayah sastra. Namun pada akhirnya dekonstruksi masuk ke dalam seluruh wacana filsafat. Jadi dekonstruksi itu pembacaan filsafat secara sastrawi. Dekonstruksi adalah metode membaca teks secara sangat cermat hingga menemukan ketidakkonsistenan dan paradoks dalam konsep-konsep teks secara keseluruhan.
Dekonstruksi tidak pernah membangun sebuah sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia menyusup, menyebar dan menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah terprogram oleh logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program tersebut, ia akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan mereproduksi diri dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap menggerogoti program tersebut.
Namun demikian tugas dekonstruksi tidak semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain. Seperti yang Derrida (1976) katakan, …tugas dekonstruksi adalah …membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendinskripsikannya kembali dengan cara lain. Cara mendinskripsikannya dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya si pemikir alat yang positif.
Semua filsafat Barat, juga pada fenomenologi dan strukturalisme, adalah dua institusi filsafat yang ingin membuktikan bahwa tuturan adalah tempat aktualisasi kebenaran dan makna. Husserl mengklaim bahwa kehadiran diri ada dalam suara (phone). Suara yang dimaksud adalah suara dalam kesendirian batin: “Ketika bicara saya mendengar diriku sendiri. Saya bicara sekaligus mendengar dan memahami”. Husserl ingin menyodorkan fakta-fakta psikis yang diderivasi dari living present, dan membuktikan tuturan lebih dekat dengan psikis dari pada tulisan yang cenderung berjarak. “Makna kehadiran” atau fenomenologi menamainya “kehadiran langsung” (living present) adalah kesadaran yang ditata dan mendapatkan makna yang berdimensi waktu.
Demikian juga Saussure membuktikan bahwa tuturan adalah sumber kebenaran. Berbeda dengan tulisan yang berlumuran segala macam ketertutupan makna, dalam tuturan ada hubungan langsung suara dan rasa (sense), karena ada kedekatan dengan kehadiran-diri yang memuat serangkaian makna di dalamnya. Jika fenomenologi dan strukturalisme mencari kebenaran melalui pemusatan elemen-elemennya.
Hal ini berkebalikan dengan apa yang dilihat Derrida. Semua usaha pemusatan, baik pada “kata hati” atau “struktur” akan dihadapkan pada “situasi kebuntuan penafsiran” (aporia), di mana pusat tidak lagi dapat bekerja. Tuturan pada suatu saat akan menemui tindakan atau perkataan ambigu ketika penutur mengalami keraguan dengan apa yang dimaksudkan dalam tuturannya. Aporia menunjukkan bahwa pusat pada saatnya adalah jalan buntu bagi penafsiran. Justru pada saat kebuntuan terjadi, bagi aporia adalah segala macam tempat makna akan terjejaki. Bukan dengan menunggalkan makna melalui pengoposisian, tapi membuat plural makna dengan melepas pemisah oposisinya.
Dari semua tradisi filsafat Barat, tulisan selalu diberi tempat kedua dibandingkan tuturan. Ia berpredikat sebagai transkripsi fonetis; artifisial; teralienasi; mekanis; merusak kemurnian kehadiran; orang asing; medium yang tak memiliki rupa dan sosok (depersonalized); bayangan seram yang jatuh di antara maksud dan makna, antara tuturan dan pemahaman. Tulisan adalah ancaman bagi pandangan tradisional yang mengisolasi kebenaran dengan kehadiran-diri bahasa yang bisa mengekspresikan diri.
Tulisan yang ditangan-duakan, semakin memperlihatkan oposisi biner dalam semua filsafat Barat. Derrida mengkritik bahwa mereka lupa men-sous rature-kan oposisi biner, dan tidak memperkarakan oposisi tersebut. Penghapusan oposisi tuturan/tulisan adalah praktek grammatologi, yakni “ilmu tentang tulisan”, yang membalik hierarki dan orientasi teori bahasa yang bukan tuturan, tapi tulisan (Culler, 1979: 158).
Derrida tidak ingin membuktikan bahwa tulisan adalah sesuatu yang lebih mendasar dari tuturan. Dekonstruksi adalah aktivitas pembacaan yang terikat dengan teks dan tidak bisa berdiri sendiri sebagai sistem operasi konsep-konsep yang tertutup. Pembacaan teks di sini lebih berarti menunda makna kehadiran yang di anggap bersemayam di balik teks tersebut, baik dalam teks tuturan dan tulisan. Pembongkaran selubung makna yang menutupi teks adalah apa yang ingin dipentaskan dalam aksi-aksi grammatologis.
Grammatologi awalnya adalah proklamasi kemenangan tulisan atas tuturan melalui pembalikan hierarki struktur dalam teks. Grammatologi juga merupakan cara kerja dekonstruksi yang ditujukan pada struktur dalam teks tulisan itu sendiri. Teks tulisan bagi grammatologi adalah suatu tanda (sign) yang berkontradiksi antara penanda dan petandanya, yang menghilangkan pusat teks melalui penjejakan (trace) makna. Ketika pusat tercerabut dari tempatnya, ia pun akan menimbulkan ketidakstabilan, yang memberi petunjuk pada bahasa akan kebebasan permainan.
Pertarungan penanda dan petanda bukanlah metode penguasaan dengan mencari kesatuan yang bermuara pada petandanya, namun dengan penjejakan (trace). Sehingga runtuhnya oposisi biner menempatkan teks menjadi polisemi dalam permainan ketidaktertangkapan makna secara terus-menerus atau diseminasi. Usaha tersebut memerlukan desublimasi konseptual atau “keterjagaan” yang memiliki kekuatan menelanjangi sikap Barat terhadap pemikiran dan bahasa.
Dekonstruksi bisa dijelaskan dengan cara lain melalui cara kerja différance. Différance adalah manifestasi dari dekonstruksi penanda secara grafis. Différance seperti halnya tulisan adalah pelafalan anonim yang kebal terhadap segala bentuk reduksi. Arti dari différance sendiri berada pada posisi menggantung, antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menunda). (Fayadl, 2004: 110)
Status makna kata yang menggantung ini adalah pembuktian tidak utuhnya kata différance itu sendiri. Sekaligus membuktikan kelemahan Saussure, yang menempatkan struktur sebagai pusat yang menyatukan perbedaan bahasa yang berisi oposisi dan men-superior-kan tuturan dari pada tulisan. Status menggantung juga mempersilahkan grammatologi untuk bertindak, ketidakpastian dan tertundanya makna terus-menerus adalah bagaimana grammatologi diterapkan secara grafis.
Pelafalan différance meskipun pada akhirnya melahirkan struktur diferensial dalam tulisan, namun tidak menghasilkan kehadiran. Huruf “a” dalam kata itu mengingatkan kita bahwa, kata yang dilafalkan secara sempurna selalu tidak hadir, dia dibentuk melalui rangkaian kesalahan pelafalan yang tak berujung, bahkan dalam struktur grafis sekalipun (Fayadl : 110).
Dekonstruksi juga mereproduksi beragam pengertian yang menyertainya, namun pada akhirnya tidak melahirkan definisi yang jelas. Derrida mengingatkan berbagai pengertian tersebut bukanlah kata dan konsep. Pengertian-pengertian tersebut adalah kata yang tidak utuh karena maknanya harus ditunda. Mereka harus saling dipertukarkan satu dengan lainnya secara acak, sehingga membentuk mata rantai-mata rantai kata.
Semiologi sebagai ilmu pertandaan yang bekerja mengoposisikan penanda dan petanda dengan metode yang regorous, pada akhirnya ketika dijangkiti virus dekonstruksi dengan sendirinya akan menghadapi kehancuran diri. Penanda sebagai bentuk material dari tanda bukan lagi sebagai derivasi langsung dari petanda. Struktur yang selama ini menjamin adanya kehadiran makna dalam bahasa tidak lagi mendiami tempatnya. Hubungan pertandaan tidak ditentukan oleh struktur sebagai pusat kekuatan makna yang bermuara pada petanda yang tunggal. Sebab pusat sebagaimana yang dibaca Derrida atas Lévi-Strauss terhadap mitologi adalah laksana ilusi historis (Derrida, 2001: 46).
Maka makna itu ditentukan oleh jejak (trace) penandanya, yang senantiasa berjejak, bergeser, berpindah ke sembarang arah. Sehingga teks adalah permainan ketidakpastian polisemi bahasa yang diseminasif. Dengan membalik struktur hierarki dalam hubungan pertandaan yang sekaligus menghilangkan oposisinya, maka tidak ada superioritas pada salah satu termanya. Demikianlah penanda akan senantiasa bergeser terus-menerus.
___________________
*) Edi Purwanto adalah peneliti dan pegiat kajian Filsafat di Puspek Averroes Malang
Refrences:
Al-fayadl, Muhammad, 2005. Derrida, Lkis Yogyakarta.
Asyhadi, Nurudin 2004. Hampiran Hamparan Gramatologi Derida, Lkis Yogyakarta.
Barker Cris, 2000, Cultural Studies Teory And Practice, Sage Publication, London. Terj. Team Kunci Cultural Studies, 2005. Cultural Studies Teori Dan Praktik Bentang, Yogyakarta.
Culler, Jonathan, 1979. “Jacques Derrida”, dalam John Sturrock, ed., Structuralism and Since: From Lévi-Strauss to Derrida, Oxford University Press, New York, h. 249-292. terj. Muh. Nahar 2004 Jp press Surabaya.
Derrida, Jacques, 1976. Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak, The John Hopkins University Press, Baltimore and London. Terj. Ridwan Muzir ARRUS Jogyakarta. 2003.
Hardiman, Budi, F.2003. Heidegger dan mistik keseharian Suatu pengantar menuju Sein Und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta.
Lechte, John, 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj. A. Gunawan Admiranto, Kanisius, Yogyakarta.
Sarup, Madan, 2003. “Derrida dan Dekonstruksi”, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, terj. Medhy Aginta Hidayat, Jendela, Yogyakarta, h. 51-98. Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta.
Majalah Basis Edisi Derrida no. 11-12 Tahun Ke 54, November-Desember 2005 Yogyakarta
________________
http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/02/11/menelusuri-jejak-pemikiran-derrida/
http://www.averroes.or.id/thought/menelusuri-jejak-pemikiran-derrida.html