http://lampungpost.com/11 Nov 2011
Kepada Burung-Burung Gereja di Semulijaya
Teruslah berceloteh
ucapkan selamat datang pada matahari
dan biarkan sisa embun merencanakan kematiannya sendiri
ayo mengepaklah
kibaskan angin di ujung sayapmu
dan senandungkan langgam pagi bening
yang kerap lembab di mata jalang lelaki sepi
Ini kali
bersama secangkir rencana di legam kopi
di beranda waktu kutunggu gaduh celotehmu
celoteh yang tak kunjung aku mengerti
jika berkenan
ajarilah kami bagaimana mestinya mencintai
sebab di tanah ini orang-orang kerap bersiasat
juga khianat
Semulijaya, 1 April 2011
Pemberontak
Masihkah yang patut kucinta
Kau bahkan
Bukankah setiap kita hanyalah binatang
Yang terlampau lihai bermuslihat
Lalu masihkah yang layak dipercaya
Sedang belati di setiap diri
Begitu tegas menjanjikan luka
Jadi biarlah aku kekal menjadi banal
Bertahan gagah meski dalam parah
Kupecah sepi
membelah sunyi
menyeberangi peristiwa demi peristiwa
menebas cadas sepanjang kembara
sendiri
hingga maut merenggut
Tjk—Ktbm, 16 Oktober 2011
Sajak Putus Cinta
Dan akhirnya aku pulang ke pangkuan sepi
Hanya berteman kenangan
Tentang jalan-jalan kota menjelang petang
Sepatah senyum saat pertama kita jumpa
Atau tentang pecahan hujan
Yang menggerombol di belantara rambutmu
Di Mei yang basah
Walau kau
Telah meninggalkan
Menitip luka yang betapa perih
Tapi sebagai yang paling mencintai
Takan pernah kusemai benci
Terima kasih
Telah mengajariku bagaimana memahami luka
Maaf jika tak ada air mata
Selamat jalan
Tjk—Ktbm 30 Juli 2011
Catatan Pagi Buta
Dengan gegas kulintas subuh yang jatuh
Di lengang Kota Tanjung Karang
Lembab kelok jalan digigil sisa malam
Yang menimbun embun di rapat gedung-gedung
Pada remang lampu jalan
di lengkung sebuah jalan menikung
tercium aroma parfum perempuan muda
yang letih usai menjaja cinta
lewat seiris senyum ia sampaikan
“sebab aku sahabat bulan
yang berkarib dengan malam
di kota ini aku tak lagi memiliki pagi”
Sementara di timur paling jauh
di kuncup fajar yang beranjak mekar
pendar mimpi tumpas sebelum tuntas
mimpi lelaki yang gundah menatap arah
karena segenap penjuru mata angin
tak lagi memberikan panduan
sedang waktu kian enggan bersekutu
ke mana teman
di mana kawan
taka satu juga rela berbagi peta, katanya
perlahan satu-satu ia baca rambu
biar tak sasar serupa masa lalu
yang kelam melebihi malam
dan di tapal mekar fajar dan pagi kelabu
ia berkhayal tentang alamat
semacam rumah tempat menambat penat
dan menyimpan kenangan
meski selalu bandang airmata
saban ia mengingatnya
Hajimena, September 2011
Hujan Pagi Hari
Betapa santun hujan datang ini pagi
Rintik demi rintik
Rinai demi rinai
Dengan rela mengunjungi takdirnya
Meski harus pecah di batang-batang pinang
Di daun-daun rimbun
Di padang-padang gersang
Di jalan-jalan lengang
Di selasar pasar-pasar
Aku terpana
Dari balik gigil
Jemari angin yang lentik
Mengantar sekian rintik
Menuju kaca-kaca jendela
Bangku-bangku kayu ruang tunggu
Beranda muka rumah-rumah kayu
Dan ke wajahku
Lalu bercengkerama
Berbincang dan bernostalgia
Mengenang saat-saat yang lewat
Dengan bahasa begitu memesona
Amboi, aku ternganga
Dulu sekali aku pernah berkunjung ke tempat ini
Ketika bukit-bukit mengirim aroma lebat hutan dan rimbun daun
ujar sebutir rinai, lalu pecah berlari menuju lembah
Begitupun aku
Sekali waktu aku pernah bermukim di daerah ini
Ketika pohon-pohon belum menjelma gedung
Dan mata air belum berbalin air mata
Ujar rinai yang lain dengan bahasa begitu paripurna
Aku terkesima
Lalu tubuhku menjelma hutan tiba-tiba
Dan hujan menderas di mataku
____________________
Anton Kurniawan, lahir di Sinarjaya, Lampung Barat. Pernah aktif KSS FKIP Universitas Lampung. Kini berderma di Sanggar Teater Komunitas Akasia, SMAN 1 Abung Semuli, Lampung Utara.