Sajak sebagai Pertaruhan Berbahasa

Asarpin *
Lampung Post, 15 Jan 2012

SAYA ingin berbicara sajak sebagai pertaruhan berbahasa dengan mengambil contoh sejumlah sajak Sitok Srengenge. Sebagai penyair, Sitok termasuk penyair Indonesia yang telah menghasilkan beberapa buku sajak yang memiliki kekhasan di bidang penggunaan bahasa Indonesia modern. Dia menulis cukup banyak sajak dengan bahasa yang sangat puitis. Barangkali itulah modal utamanya sebagai penyair—belakangan juga mencatatkan diri sebagai penulis prosa yang liris dan puitis, yang hanya bisa ditandingi oleh kejernihan bahasa Nukila Amal.

Terus terang, saya iri dengan kemampuan bahasa Indonesia yang dimilikinya. Bahkan, saya tak bisa menyembunyikan keterpesonaan setiap kali memukan puisinya. Godaan untuk mencurinya, mengambilalih atau memiuhnya, lalu dikirimkan ke sejumlah sahabat-sahabat dekat maupun jauh—selalu muncul. Benar kata sebagian orang: tulisan yang bagus menggoda orang untuk jadi pencuri.

Kemampuan Sitok merangkai kata bahasa Indonesia menjadi puisi menawan hati, terhitung langka. Setiap kali saya membaca puisi dan prosanya, saya seperti sedang berhadapan dengan seorang jenius kata-kata. Bahasanya jernih, ritmenya sangat terjaga. Pilihan kata begitu diperhitungkan.

Saya mengenal Sitok mula-mula lewat puisi Takbir Para Penyair, yang belakangan saya anggap sebagai sajak kurang berhasil. Sebagai sebuah takbir, sudah sewajarnya jika sajak ini dimulai dengan kata Atas nama para penyair, yang mirip dengan bunyi slogan para demonstran: “Atas nama rakyat!”

Kekuatan Sitok bukan pada kata-kata yang membahana macam itu, apalagi sampai berpanjang-panjang seperti sajak Takbir Para Penyair yang meletihkan membacanya. Kekuatan Sitok ada pada kesederhanaan ungkapan, pada kejernihan kata-kata dan ungkapan yang tidak dibuat-buat.

Kalau puisi Takbir Para Penyair adalah kredo, Sitok salah memilih kredo. Seharusnya ia memilih kredo Osmosa Asal Mula yang bicara ihwal persenyawaan atau Elegi Dorolegi. Sajak Obituari Bulan juga lumayan bagus. Sajak ini dibuka dengan kisahan atau sebuah kisah tentang seorang bocah. Anakku tidur menduga-duga bulan/dan di kelas matanya masih menyimpan malam/ketika ibu guru mengajari matahari/anakku lalu menggambar cakrawala, lautan/perahu layar tanpa nakhoda, dan/rok ibu guru dipermainkan ombak pasang/Ibu gurunya dimakna ikan.

Sajak ini sangat lucu, dan membuat saya ingin tertawa. Rupanya Sitok bisa juga menulis sajak humor yang kena. Tapi bukan macam ini juga sajak Sitok yang berhasil. Namun sajak yang bagaimana, tunggu dulu dan bersabar, saya ingin mengutip sajak Teluh Lanang yang agak merayu dulu. Ketika kuntum cinta rekah di hati perempuan/dan suara geliat kelopaknya menjadi kata-kata/meluncur ke arah lelaki/sesungguhnya telah dicipta telaga di rahimnya/ditumbuhi buluh-bulu sepi.

Sajak itu memesona saya karena kepiawaiannya menghadirkan kata-kata yang segar dan berbinar, atau kemampuannya menghasilkan pengucapan lirik yang cantik dan hemat tapi sekaligus padat. Bahasanya sangat indah dan nyaris tak ada kata yang sia-sia, apalagi sampai cacat. Semuanya penuh perhitungan dan ketelitian. Kadang sangat hemat, sehingga terasa ketat, tapi kadang pula mengurai panjang menyusuri tepi-tepi di keremangan kata dan makna yang penuh kejutan.

Sitok cukup lincah menghadirkan frasa puitik, seperti penyair terlunta dikutuk kata dalam sajak Sonet Situmorang. Kata-katanya khidmat dan jernih. Iramanya tenang tapi bisa menggelembung bagai aliran sungai yang sedang bandang. Perhatikan susun larik-larinya, atau cerna alunan irama dan pilihan katanya yang cerdas.

Sekalipun bicara soal mitologi, elegi, dan tragedi, sajak-sajaknya tidak jatuh jadi klise. Sitok memang banyak menimba mitologi Jawa dan tembang pesisiran dan lagu dolanan anak kecil di Jawa. Tapi tidak hanya Jawa dunianya, terbukti ia juga menulis sajak dengan tokoh dunia. Tapi sayang ia tak selamanya terpesona pada hal-hal kecil yang remeh. Ada beberapa puisinya dengan judul besar dari tokoh besar. Bagaimana penyair ini menafsirkan sosok Prometheus hingga terasa tidak akrab bahkan bagi orang yang sudah lama tahu tentang tokoh ini. Prometheus dalam puisi Sitok amat sunyi dan tidak sok cerdas, di mana sang tokoh mengalami nasib yang tidak bebas sehingga memunculkan solidaritas dari aku. Tokoh mitologi ini dilukiskan sebagai sosok yang menyeru zaman baru dengan pengorbanan yang berdarah-darah.

Bahasa yang digunakan Sitok agak berbahaya karena sangat bagus, tapi pilihan judul sajak-sajaknya sering memperlihatkan semangat intelektualisme. Pilihan kata dan diksi tidak asal-asalan, melainkan penuh perhitungan. Pada titik ini, atau dalam sajak tadi, Sitok menghadirkan kekayaan kosakata bahasa Indonesia yang telah jauh lebih maju dibandingkan zaman Pujangga Baru.

Cukup banyak pembaca yang mengakui keindahan bahasa yang digunakan Sitok dalam sajak-sajaknya. Ada sebuah cerita yang menyedihkan ketika novel Saman Ayu Utami terbit. Beberapa penyair di Lampung tidak percaya kalau novel indah itu ditulis oleh Ayu. Mereka meyakini Sitok-lah yang menulisnya mengingat bahasanya dekat sekali dengan puisi-puisi Sitok.

Beberapa sajak Sitok dekat dengan pengucapan puisi Rendra, seperti sajak Rangkasbitung yang menarik dibandingkan dengan Orang-orang Rangkasbitung, sajak Elegi Dorolegi juga dekat dengan Rendra. Bedanya terletak pada sajak-sajak Sitok yang tidak realis, atau tidak berambisi untuk menjadi sajak sosial apalagi pamflet. Jadi kesimpulannya: kedaunya beda.

Sajak Peniup Angin juga sajak cantik yang hanya bisa lahir dari Sitok. Dalam sajak ini Sitok memukau kita dengan lirik yang berprosa, bercerita dengan warna-warni kehidupan yang memesona. Dari mana Sitok memperoleh ilham ketika menulis sajak ini? Mungkinkah dari diskusi soal seks yang sejak 1990-an amat bergemuruh di negeri ini? Melihat tahun sajak itu ditulis, ia sama dengan enam sajak seks Goenawan Mohamad yang cantik dan rupawan.

Masih banyak sajak Sitok yang menggoda kita untuk menjamahnya. Bila perlu bersetubuh dengan intim sebelum subuh menjelang dan fajar singkat melambai di kejauhan sebagai tanda perpisahan. Sajak yang paling mencekam saya, selain yang sudah dikutip, adalah sajak Elegi Dorologi.

Berhadapan dengan sajak Sitok, saya agak gugup. Jangan-jangan sajak itu bukannya memperjelas, malah menjadi gelap karena sangat privat. Saya kekurangan bahan pengalaman untuk bisa menyelam di kedalaman irama kata-katanya, sehingga saya khawatir jangan-jangan yang akan hanyut dibuai oleh imaji-imajinya. Apalagi ketika berhadapan dengan sajak Osmosa Asal Mula, sungguh tak mudah dan bisa bercumbu dengan maknanya—karena memang ada segurat makna yang masih rahasia dan meminta untuk dikuak.

Sajak Sonet, Sonya, dan Nannet menggunakan bahasa yang melambai-lambai memanggil pembaca untuk menghidupinya, atau malah menikamnya sampai mampus. Kalau ada lomba penulisan kata-kata yang indah dalam bahasa Indonesia, mungkin yang juara pertama adalah Sitok dan juara kedua Nukila Amal. Bahasa Sitok lebih menjanjikan ketimbang bahasa prosa Nukila yang membuat banyak pembacaterkesima dan takjub tak percaya. Tapi ada satu hal kekurangan Nukila: kedalaman kata-kata. Walaupun kedalaman adalah bahasa ruang, tapi sajak-sajak Sitok tidak cetek dan dangkal. Ia tak terhalang oleh ruang, bahkan melampauinya dengan sangat berani.
***

*) Asarpin, esais, tinggal di Lampung.

Bahasa »