Sepercik Saran Memperkuat Aruh Sastra

Sainul Hermawan
__Radar Banjarmasin

Akhirnya Kabupaten Hulu Sungai Tengah mampu menyelenggarakan Aruh Sastra VIII pada 16-19 September 2011 dengan beberapa keistimewaan meskipun tak bisa lepas dari kekurangan-kekurangan yang dapat kita maklumi. Dua hal yang sangat diapresiasi oleh rombongan yang sehotel dengan saya adalah, pertama, keberadaan LO atau liaison officer atau pendamping. Mereka adalah para siswa Madrasah Tsanawiyah dan SMP tapi sangat cakap membantu peserta yang belum mengerti arah di kota apam ini. Di Aruh sebelumnya tak pernah ada yang seperti ini.

Kedua, program sastrawan masuk sekolah membuka cakrawala pergaulan baru antara sastrawan Kalsel dan dunia nyata publik yang seharusnya menjadi sasaran mereka. Dalam program ini para sastrawan dibagi menjadi 12 kelompok untuk berinteraksi dengan siswa dan guru di SMP, SMA, dan SMK yang ditunjuk sambil mengalami sastra dari pukul delapan pagi sampai dua belas siang. Sayangnya, seminar sastra di Aruh kali ini tampak kurang menunjukkan kehadiran para guru bahasa Indonesia. Padahal, tema seminar hari pertama sangat relevan untuk menggugah kesadaran mereka terhadap pentingnya pembelajaran sastra yang berkualitas di sekolah.

Strategi-strategi baru harus terus dicari untuk membawa dunia pendidikan masuk ke wilayah sastra yang selama ini diasumsikan sebagai dunia orang-orang Dewan Kesenian atau Disporabudpar. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah lomba apresiasi karya sastra untuk para guru bahasa Indonesia, khusus karya yang ada dalam antologi produk Aruh Sastra dari yang pertama sampai yang terakhir.

Langkah ini pun dapat dipakai untuk mengetahui karya siapa sajakah yang diapresiasi. Ruang-ruang pembacaan yang luas harus dibuka. Aruh yang akan datang perlu menerbitkan antologi apresiasi sastra yang berisi esai pemenang dan nominasi dalam lomba apresiasi sastra tersebut. Lomba semacam ini dapat memberikan dampak positif bagi pengintiman guru dan karya sastra para sastrawan Kalsel. Jika ini terus bergulir, publik Aruh Sastra akan terus berkembang.

Lomba lain yang relevan adalah merancang pembelajaran sastra yang kreatif, inovatif dan menyenangkan dengan menggunakan karya para sastrawan Kalsel. Program semacam ini tidak pernah dilakukan oleh lembaga-lembaga yang semestinya melakukannya jika memang punya keperdulian terhadap peningkatan kompetensi sastra para guru bahasa Indonesia.

Di Aruh Sastra mendatang, kegiatan semacam ini perlu diperkuat. Kepala Dinas Pendidikan perlu dilibatkan dalam kepanitiaan untuk mengarahkan kepala sekolah dalam memilih perwakilan siswa yang memang menyukai sastra atau siswa yang nilai pelajaran bahasa Indonesianya tinggi untuk berinteraksi secara langsung dengan para sastrawan. Hal ini perlu dilakukan agar menjamin terlaksananya interaksi yang meriah.

Setelah berbincang dengan sejumlah tokoh sastra di Aruh Sastra Barabai, saya pun mencatat beberapa hal penting yang lain, yakni soal dana. Bagaimana agar kepala Ketua Panitia Aruh tidak “pecah” karena memikirkan dan bergerilya sendiri mencari dana agar Aruh bisa terselenggara?

Eko Suryadi WS menyarankan agar Aruh Sastra menjadi kegiatan bersama SKPD-SKPD terkait yang ada di kabupaten dan provinsi. Usulannya tentu didasarkan pada pengalamannya mengelola dana penyelenggaraan Aruh Sastra III di Kotabaru (25 s.d. 28 Mei 2006) yang dikenang sebagai Aruh Sastra yang paling berhasil.

Jika diurai, mungkin usulan tersebut jadi begini: untuk urusan biaya keberangkatan dan kesejahteraan kontingen daerah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten yang bersangkutan melalui mata anggaran yang sudah pasti di masing-masing Dewan Kesenian mereka.

Program sastrawan masuk sekolah dapat dijadikan program oleh Dinas Pendidikan. Segala biaya yang terkait dengan kegiatan ini dibiayai oleh Dinas. Kesepahaman dan kesadaran yang sama antara misi Aruh Sastra dan Dinas Pendidikan harus sejalan dan memang seharusnya demikian. Sastra dan pendidikan secara historis memiliki hubungan yang sangat erat.

Perguruan tinggi yang memiliki program studi pendidikan sastra perlu dilibatkan untuk selalu menghadiri acara ini dan menjadikan Aruh sebagai bagian integral dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Dengan demikian, segala biaya perjalanan dinas dan honornya ditanggung oleh lembaga tersebut. Dengan kata lain, pembicara dari kampus yang telah dibiayai kampusnya tak perlu lagi dibiayai oleh panitia.

Penguatan sponsor sangat diperlukan. Dunia usaha yang ada di kabupaten harus diajak terlibat. Beberapa titik yang dapat diajak berpartisipasi adalah bank, hotel, perusahaan tambang, dll. Dukungan pemerintah (bupati dan wakilnya) untuk memediasi hubungan antara panitia dan mereka sangatlah penting. Setiap unit usaha dapat diminta untuk membiayai satu jenis kegiatan yang ada.

Setiap daerah yang mendapatkan kesempatan menyelenggarakan Aruh sebenarnya diberi kepercayaan oleh publik untuk menunjukkan kemampuan mengelola kegiatan besar dengan cara-cara yang baik: penuh musyawarah dan transparan.

Efisiensi pembiayaan Aruh Sastra juga dapat dilakukan dengan melibatkan PKK dalam penyediaan konsumsi dan jika mungkin mengintegrasikan kegiatan Aruh dalam agenda peringatan Hari Jadi kabupaten atau kota.

Dengan efesiensi dan integrasi pembiayaan semacam ini diharapkan dana inti Aruh lebih dapat difokuskan untuk meningkatkan pembiayaan penjurian lomba. Ada keluhan masalah penjurian lomba puisi yang hanya dilakukan dengan menilai naskah. Ada harapan agar model penilaian lomba penulisan karya sastra di FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional) diterapkan di Aruh, yaitu dengan menguji 10 nominasi untuk mengikuti penilaian langsung di hadapan dewan juri sebelum nama-nama juara diputuskan. Lomba Aruh juga harus diorientasikan untuk regenerasi. Jangan sampai sang juara hanyalah sosok gaib yang hanya menulis dalam rangka Aruh dengan menghalalkan segala cara demi hadiah yang lumayan.

Aruh kali ini meninggalkan catatan lain pula mengenai integritas penjurian lomba menulis cerita rakyat. Katanya, cerita yang mereka pilih adalah cerita yang belum pernah ditulis atau diceritakan sebelumnya, baik di media atau di buku. Jika bunyinya pernyataannya memang demikian, syarat ini ambigu karena yang namanya cerita rakyat pasti pernah diceritakan sebelumnya meski tidak dengan cara ditulis. Seharusnya, juri cukup mempersyaratkan orisinalitas dan keunikan karya. Bisa saja ada peserta menulis versi baru Radin Pengantin. Orisinalitas bisa berdasar pada kebaruan interpretasi dan penyajian.

Yang terjadi biarlah begitu adanya dengan tetap kita sadari kekurangannya sebagai pengingat untuk belajar memperbaikinya . Semua itu tetap berharga jika kita jadikan panduan untuk beraruh sastra lebih baik pada 2012 di Banjarmasin dan 2013 di Banjarbaru. Sampai jumpa di dalam satu dekade aruh pada 2014 entah di mana dengan kandidat bupati dan gubernur yang tidak buta sastra!

Loktara, 21.09.2011