Amuk Perang Ego Capgomeh

Sofian Dwi
seputar-indonesia.com

Para pemain saat melakukan pementasan teater bejana dengan judul “Nonton Capgomeh” di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Pasar Baru, Jakarta (03/02). Pementasan teater Nonton Capgomeh ini merupakan karya Kwee Tek Hoay yang akan dipentasankan untuk melestarikan dan mengangkat karya sastra Melayu Tionghoa dan merayakan hari besar Imlek bagi warga Tionghoa.

Dari sastra Melayu Tionghoa, Teater Bejana terus berproduksi. Karya Sastrawan Melayu Tionghoa KweeTek Hoay, Nonton Capgomeh kembali diangkat.

Naskah ini mengisahkan lonflik antara suami dan istri dalam sebuah rumah tangga, karena mempertahankan ego masing-masing. Beberapa jam sebelum perayaan Capgome berlangsung, di sebuah ruang keluarga, pasangan suami istri Thomas (Zickry A Ramadhan) dan Lies (Devi A Satriani) tengah bertengkar. Mereka mempertahankan ego masing-masing. Thomas ingin menonton Capgome berdua saja dengan Lies, tapi Lies tidak diijinkan oleh keluarganya.

Menurut Lies, aturan keluarganya mengharuskan Lies dan Thomas pergi bersama keluarga guna menonton perayaan Capgome. Aturan itu wajib hukumnya bagi Lies dan keluarganya. Namun,menurut Thomas yang terbentuk dari keluarga moderat, aturan tersebut sudah usang. Dari persoalan ego itulah, permasalahan makin menjadi-jadi. Thomas lantas memilih untuk tinggal di rumah,sementara Lies pergi menonton perayaan Capgome bersama keluarga besarnya.

Saat Thomas di rumah, tiba-tiba Frans Liem (Bobby Kardi) muncul. Frans mengajak Thomas untuk menonton Capgome bersamasama. Tapi justru Thomas bercerita perihal yang tengah membelitnya. Sebagai kawan baik, Frans pun melontarkan ide. Ia bersedia menyaru sebagai perempuan guna memanasi keluarga Liem. Frans berupaya menjadi perempuan asal Semarang dan akan nampak mesra menggandeng Thomas di keramaian.

Tujuannya, agar Liem cemburu dan mau diajak Thomas berjalan-jalan berdua. Thomas setuju dan rencana itu berhasil. Di depan Hongkong Resto, keluarga Liem, termasuk Diana kawan Liem, yang tengah memperhatikan lalu lalang tiba-tiba mempergoki Thomas. Diana mengejar diikuti ibunda Liem dan sanak keluarganya. Thomas tenang saja. Bahkan dengan bangga Thomas mengenalkan Frans yang berganti nama menjadi Siocia Goei ke keluarga Liem. Mereka pun gusar.

Liem cemburu berat. Ia marah dan menangis untuk kemudian pulang ke rumah. Acara nonton Capgome pun berantakan. Persoalan pun menjadi semakin pelik manakala Diana menawarkan Liem untuk membalas polah tingkah Thomas. Diana pun melontarkan ide untuk menyaru sebagai laki-laki. Berdua mereka mencari Thomas. Dengan berpakaian ala Eropa, Liem pun menggandeng Diana. Tapi belum juga bertemu Thomas, Liem yang tengah mengandeng laki-laki, justru kepergok keluarga Thomas.

Persoalan pun menjadi makin runyam, karena orang tua Thomas langsung mendatangi rumah keluarga Liem. Pertengkaran antar mertua pun semakin menjadi-jadi. Untunglah Kie Kang muncul sebagai penengah. Kie Kang yang secara tidak sengaja melihat polah pasangan suami istri itu mendatangi rumah keluarga Liem dan membawa serta Diana dan Frans yang masih menyaru. Akhirnya keluarga besar itu berdamai dan pada akhirnya membolehkan Thomas dan Liem menonton Capgome berdua.

“Pada akhirnya memang yang moderat menang. Aturan kuno itu justru menjadi persoalan,” terang sutradara Teater Bejana Daniel H Jacob usai pementasan Nonton Capgomeh di Gedung Kesenian Jakarta, 2-4 Februari. Dalam beberapa tahun belakangan, Teater Bejana kerap memainkan naskah dari sastrawan Melayu Tionghoa. Mereka sepertinya hendak menggarap naskah-naskah ini, karena jarang sekali kelompok teater yang menggarap naskah Melayu Tionghoa.

Naskah Nonton Capgome sendiri sudah pernah dipentaskan beberapa tahun lalu. Bahkan saat Jakarta Biennale #4 lalu, naskah ini juga dibawakan beberapa adegan di Kelenteng Petak Sembilan. Kala itu, mereka mementaskan lakon ini di tempat terbuka.Tapi tidak secara keseluruhan cerita dibawakan. Baru pada 2-4 Februari ini, mereka mementaskan ulang naskah ini dengan setting panggung layaknya perkampungan pecinan pada tahun 1930.

Sayangnya, dalam cerita ini set panggung seperti tidak mengalami perubahan dari tahun lalu. Panggung tetap sama seperti pertunjukan Zonder Lentera. Perkampungan China, dengan kanan dan kiri ditempatkan warung makan. Hal yang sama juga dilakukan dengan penampilan Barongsay dan Liong. “Memang naskah ini ditulis hampir bersamaan, yang terjadi di tahun 1930-an. Jadi, untuk set panggung juga kurang lebih sama seperti Zonder Lenteratahun lalu,” terang Daniel.

Tapi, apa yang dilakukan Teater Bejana dalam mengusung cerita-cerita dari Melayu Tionghoa memang layak untuk diapresiasi. Selama ini sastra Melayu Tionghoa memang sedikit tenggelam. Padahal sastrawan Melayu Tionghoa bertebaran pada tahun-tahun 30-an. Namun, nama mereka justru tenggelam karena tidak dimunculkan. Kwee Tek Hoay misalnya.

Sastrawan yang lahir di Bogor, 31 Juli 1889, dan meninggal di Sukabumi, 4 Juli 1952 ini, merupakan salah satu penulis Tionghoa yang paling terkemuka. Dia seorang Sastrawan, wartawan, penulis teori puisi, filsafat, dan pemikir soal-soal kebangsaan. Lebih dari 115 karya, yang meliputi novel, drama, teori puisi, agama, filsafat, dan politik telah ia hasilkan.

Tapi namanya tak muncul di dalam kamus pendidikan sastra. Yang terjadi kemudian, sastrawan Melayu Tionghoa kalah pamor dibanding sastrawan era Balai Pustaka.

05 February 2012

Bahasa »