Antara Gajah Mada dan Rahwana

Viddy AD Daery *
http://oase.kompas.com/

Kontroversi yang mengiringi artikel saya mengenai “Gajah Mada kelahiran Lamongan” bercuatan dengan seru, hampir sebagian besar komentator lebih mengedepankan rasa chauvinisme sempit ketimbang memakai rasio,logika dan intelektualitasnya. Saya yang sudah membaca lebih dari seribu buku kebudayaan , sejarah dan sosial-politik dengan mudahnya dituduh ngawur,enggak baca buku dan sebagainya.

Tetapi saya diam saja, karena sesungguhnya, apapun komentar mereka, setiap komentar yang mencuat dari mulut mereka, justru memperlihatkan tinggi rendahnya intelektualitas mereka. Jumlah mereka yang asal “ngocol”. Cuma sekitar 60 orang, tentu hanya setitik kecil daripada jumlah 51.490 orang pembaca yang diam, dan 1.052 orang yang berterus-terang mendukung artikel saya.

Sebagian dari pengkritik itu, dengan rasa chauvinisme sempit menyatakan bahwa Gajah Mada bukan pahlawan, tetapi pengkhianat, agressor, penjajah dan sebagainya. Lucunya, mereka mengatakan, seharusnya yang layak mendapat kesempatan menjadi penjajah dan agressor adalah kaum mereka. Lhooo…gimana sih?

Okelah,sekarang kita berhenti dulu membicarakan Gajah Mada, dan kita sekarang membicarakan Rahwana. Nah,bagaimanakah kita menilai Rahwana???

Siapakah penghancur kearifan lokal Nusantara ? Ternyata penghancurnya ialah pemerintah (pusat maupun daerah), plus petinggi-petinggi parpol ( pusat maupun daerah ) plus pengusaha-pengusaha bervisi babi-buta. Darimana kesimpulan itu? Dari berita-berita media massa Indonesia selama puluhan tahun. Terutama media massa akhir-akhir ini, baik koran maupun televisi berita, akhir-akhir ini mulai langsung tunjuk hidung, bahwa rezim penguasa sekarang adalah pengkhianat bangsa, kleptokrat/pemerintahan para maling, penghancur bangsanya sendiri dan sebagainya.

Masuk akalkah seorang atau sekelompok pemimpin melakukan penghancuran terhadap bangsanya sendiri? Seharusnya tidak masuk akal, tapi buktinya begitulah yang terjadi di Indonesia. Namun kisah itu bukan barang baru, karena pernah terjadi, apakah ini cuma epos atau fiksi—perlu penelitian.

Dalam buku “Rahuvana Tattwa” karya Agus Sunyoto ( 2006 ), yang menjungkirbalikkan sudut pandang kepahlawanan Ramayana, diceritakan bahwa Rahwana sebetulnya adalah pahlawan bagi bangsa kulit berwarna.

Sebagaimana sejarah dunia mencatat, benua India ( dalam buku “Rahuvana Tattwa” disebut Negeri Jambudwipa ) dahulunya dikuasai oleh kaum kulitberwarna, dari sawomatang sampai hitam legam. Mereka disebut dengan berbagai nama kesukuan, antara lain : Drawida, Wanara, Raksasa, Bhuta,Denawa,Gandarwa, Asura, Naga, Garuda, Beruang dan sebagainya.

Tentu itu fakta. Antropolog telah menemukan sisa-sisa peradaban kaum Drawida yang sangat megah dan berperadaban tinggi lewat situs-situs reruntuhan negeri Mohenjo Daro dan Harappa, sebagai negeri kaum Drawida. Situsnya terletak di perbatasan India-Pakistan. Diperkirakan tahun jaya-jayanya kaum Drawida di Mohenjo Daro dan Harappa adalah tahun 3000 SM sampai 1500 SM, jadi masa jayanya berusia 1500 tahun.

Kaum Bhuta juga masih memiliki negara yang kini disebut Bhutan. Sedang bangsa-bangsa kulit-kulit hitam dengan campuran kulit terang maupun masih asli,kini menghuni pulau Srilangka, dan sebagian menghuni India selatan. Sebagian lagi menyeberang ke Nusantara menjadi Kaum Keling yang masih banyak terdapat di Aceh , Sumatera Utara dan tersebar di banyak tempat, sedangkan yang tidak termasuk puak keling,namun termasuk wangsa Drawida atau Weddoid dan Negrito tersebar di pulau-pulau timur Nusantara serta bermukim di hutan-hutan dan puncak gunung yang akhirnya kini disebut suku-suku terasing Nusantara.

Mengenai hal ini, perlu kajian dan penelitian lebih lanjut oleh sarjana-sarjana ilmu antropologi ragawi. DIHANCURKAN OLEH KOALISI ASING ARYA DENGAN KOMPRADOR PRIBUMI WIBISANA DKK.

Sebagaimana sejarah mencatat, India memang pernah diserang dan dijajah rayah oleh Alexander The Great dari Macedonia-Yunani-Albania. Dialah bangsa Arya kulit putih yang kemudian membuat India menjadi berbudaya “Semakin Arya”.

Pertanyaannya, apakah periode Alexander The Great itukah yang menginspirasi kisah Ramayana, ataukah sudah ada “Serangan Kaum Arya” lain sebelum Alexander the Great, memang masih perlu diskusi, seminar, lokakarya dan penelitian. Alexander baru masuk India sekitar 326 SM. Jadi, kemungkinan memang yang disebut Arya yang pertama ini adalah “Arya yang buas” yakni bangsa Nomaden yang masuk dan menjarah India pada tahun 1500 SM. Mereka adalah kaum “Mannu”. Dari istilah “Mannu” itu mereka mempopulerkan istilah “Mannu-sa” artinya “Keturunan Mannu” sebagai konsep “bangsa yang beradab”. Dari situlah maka timbul sebutan “Manusia” dari asal kata “Mannu-Sa” tadi.

Sebaliknya, kaum hitam yang dijajahrayah mereka sebut “bukan bangsa yang beradab”. Maka mereka memaksakan istilah “Bhota” sebagai buta—kaum yang bodoh dan rakus, Raksasa sebagai bangsa pemakan daging mentah, Gandarwa jadi semacam Genderuwo,Wanara disamakan dengan monyet, Naga setara dengan ular, Garuda seperti burung…pokoknya dianggap binatanglah atau hantulah.

Ironisnya, bangsa Mannu-sa itu aslinya tidak punya nabi tidak punya kitab suci. Mereka bangsa pengembara yang “nabinya” hanyalah dukun-dukun sihir dan peramal nasib. Maka, merekapun merebut kitab suci kaum Drawida yakni “Weda” lalu dirusak dan ditambah-tambahi, jadilah “Weda versi rusak” yang dijadikan kitab suci bangsa Arya sekarang.

Nah,dalam buku “Rahuvana Tattwa” diceritakan, bahwa Rahwana adalah Raja yang kekuasaannya meliputi India tengah sampai selatan plus “Salilabuwana” alias “Benua Air” yakni Nusantara.

Rahwana menyatukan kaum kulit-berwarna agar bersatupadu melawan Arya-penjajah yang dipimpin oleh Dewa Indra yang licik, yang beristana di Indraloka—yang disetarakan dengan surga. Kebetulan, pahlawan dari bangsa Arya, yakni Rama menyia-nyiakan Sita isterinya. Rahwana sebagai raja dari bangsa yang menjunjung tinggi wanita—matriarkat—tidak tega melihat wanita cantik di”KDRT” oleh suaminya yang berbudaya patriarkat, maka diapun merebut Sita.

Akhirnya terjadilah perang antara Rama-Arya-kaum asing penjajah melawan Rahwana yang mengkoordinasikan kaum pribumi kulit berwarna untuk bergerak mencetuskan “REVOLUSI” melawan penjajah.

Kaum Arya hampir saja kalah, kalau tidak ditolong oleh komprador ( pengkhianat bangsa ) yakni Wibisana—adik tiri Rahwana sendiri–bersama para anggota “Koalisinya” yakni antara lain Hanoman, Jembawan, Anggada, Anila, Sugriwa dan para pengikutnya.

Wibisana membocorkan rahasia-rahasia kesaktian Rahwana hingga akhirnya Rahwana dapat dikalahkan oleh Rama, itupun dengan cara dikeroyok dengan para anggota koalisi kompradornya.

Nah,kita ingin bertanya : “Motivasi apakah Wibisana mau mengkhianati dan menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri?” Jawabannya adalah “Motivasi kekuasaan”, jadi Wibisana ingin menjadi raja Alengka tapi takut dengan kakaknya, yakni Rahwana. Jalan satu-satunya adalah berkhianat dengan bekerjasama menjadi agen kaum asing-penjajah.

Sekarang kita juga ingin bertanya : “Motivasi apakah para pemimpin Indonesia dari jenis atau golongan pengkhianat—kok mau mengkhianati bangsanya?” Jawabannya tentu “Motivasi kekuasaan yang artinya adalah uang dan kenikmatan”, meskipun nantinya negara dan bangsanya akan hancur.

Maka, yang sekarang perlu digemakan adalah “Tiba saatnya REVOLUSI !!!!” untuk menghancurkan “Mental komprador” yang menghancurkan Nusantara kita. Kini saatnya Nusantara menemukan jatidirinya sendiri! Dan tidak lagi menghamba kepada “semua yang berbau asing” yang belum tentu sesuai dengan “kearifan budaya lokal Nusantara”!!!!

Di mana-mana sekarang mulai ada kelompok-kelompok diskusi yang menyiapkan konsep-konsep agar kita kembali ke jatidiri “Manusia Indonesia” yang asli, bukan manusia Indonesia yang karakternya dipoles oleh penjajah asing via para komprador– yaitu lembaga-lembaga yang kegiatannya selalu kampanye pro-budaya asing dan didanai oleh kucuran deras dana-dana asing.

*) budayawan, kolumnis, penyair, novelis, penulis naskah drama dan sinetron. /22 Juni 2011