Mustafa Ismail *
http://www.suarakarya-online.com/
Kupu-kupu yang lucu
kemana engkau terbang
hilir mudik mencari
bunga yang kembang
untuk mengisap madu
dan sarinya
Itu adalah puisi yang ditulis oleh Soeryadarma Isman, penyair cilik dari Padang Panjang, Sumatera Barat, dalam buku “Negeri di Atas Langit”. Buku yang menghimpun karya tiga penyair cilik, selain Soeryadarma, ada Shania Azzira dan Shalsabilla Oneal Dhiya Ulhaq itu diluncurkan di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sabtu 31 Desember lalu.
Kegiatan itu dibarengi dengan seminar “Cara Dahsyat Menembus Media dan Menerbit Buku” dengan pembicara Mustafa Ismail (saya) dan Muhammad Subhan, penulis novel “Kabut Rinai Singgalang”. Kegiatan itu diikuti sekitar seratus lima puluh peserta yang sebagian besar anak-anak muda dan mahasiswa dari berbagai kota di Sumatera Barat, seperti Padang, Padang Panjang, Bukit Tinggi, dan lain-lain. Sebagian lainnya para guru.
Nah, peluncuran “Negeri di Atas Langit” menyedot perhatian sendiri. Maklum, mereka adalah anak-anak yang masih duduk di kelas dasar. Soeryadarma, misalnya, adalah pelajar kelas IV SD Negeri 01 Guguk Malintang, Padang Panjang Timur. Bocah kelahiran Beureunuen, Pidie, Aceh, 17 Maret 2002 ini menyertakan 50 puisi dalam buku itu. Ia adalah putra penyair asal Aceh, Sulaiman Juned, yang jadi dosen teater di ISI Padangpanjang. Ia kerap memenangkan lomba baca puisi, termasuk sering ikut membaca puisi dalam berbagai kegiatan.
Lalu Shania Azzira adalah pelajar kelas V SD Negeri 08 Ganting Gunung, Padang Panjang. Ia lahir di Padang Panjang pada 7 September 1999. Ia anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya Beni Federico dan ibunya Ariftawinis. Gadis kecil ini sejak kecil sudah senang menulis dan kerap memenangkan lomba baca puisi, termasuk menyanyi dalam bahasa Inggris dan peragaan busana muslim. Shania menyertakan 49 puisinya dalam kumpulan ini.
Penyair cilik terakhir adalah Shalsabilla Oneal Dhiya Ulhaq, lahir di Bogor 13 November 2000. Ia adalah pelajar SDN 03 Teladan Padangpanjang. Dalam buku ini, ia menyertakan 49 puisi. Shalsabilla bersama Soeryadarma dan Shania belajar menulis dan membaca puisi di Komunitas Kuflet, Padang Panjang, yang dibina Sulaiman Juned. “Saya mengajak mereka menulis sambil bermain-main,” kata Sulaiman ketika acara peluncuran buku itu.
Puisi-puisi mereka cukup menarik. Dengan gaya bertutut yang khas anak-anak, mereka menyorot berbagai hal, yang terkadang hal itu sudah menjadi sangat “biasa” buat orang dewasa. Saking biasanya, membuat orang dewasa menjadi kurang peka dengan itu. Sebut saja puisi berjudul “Rumah Sakit” misalnya, yang mengkritik betapa masih terjadi praktek diskriminatif dalam pelayanan kesehatan antara kaya dan miskin.
Ia pun menulis begini: “… aku saksikan orang-orang miskin/ terlantar dan tidak diperdulikan”. Lalu dalam bait terakhir Soeryadarma menulis: “Tuhan, apakah sakit tidak boleh dimiliki/oleh orang-orang miskin?”
Bagaimana bisa muncul puisi semacam ini? Sulaiman, sang ayah, bercerita – sambil kami mengobrol ringan di Komunitas Kuflet – suatu hari Soeryadarma bersama ibunya mengantar ayahnya ke rumah sakit. Lalu, ia melihat seorang lelaki parlente menyerobot. Sementara ada seorang ibu tua, yang tampak dari kalangan kurang mampu, sudah lama mengantri tapi belum dilayani.
Soeryadarma bertanya: kenapa Bapak itu bisa mudah masuk tanpa mengantri? Lalu, ia pun menulis kesaksian itu dengan cara yang polos dan apa adanya. Hal itu pula yang dilakukan oleh kedua penyair cilik lainnya, Shania dan Shalsabilla. Shania, misalnya, menulis tentang rokok. Dalam puisi berjudul “Rokok” mengajukan protes, antara lain, dalam larik-larik ini: “Kau teroris tak terduga/Penipu, membahayakan segalanya.”
Lagi-lagi, tentu saja, ia berangkat dari kesaksiannya terhadap sekelilingnya, betapa orang-orang terus merokok tanpa memperhatikan efek kesehatan yang ditimbulkannya. “Pada siapa kuharus berkata/semua orang tampak senang menghisapmu.” Di ujung kegelisahaannya ia berteriak lebih kencang: “Jangan tertipu oleh sang penggoda.” Larik ini, harusnya, begitu menohok orang dewasa. Berbagai perngatan kesehatan ternyata tak juga menghentikan orang merokok.
Kepekaan. Tampaknya itulah yang mengantarkan ketika bocah ini sampai pada sikap kritis, yang terkadang seperti hendak menyerang orang dewasa. Apalagi ketika hal itu disampaikan dengan bahasa mereka yang polos dan sederhana, tanpa berusaha untuk tampil bersulit-sulit atau terperosok dalam teori-teori sastra sebagaimana halnya para penyair dewasa. Mereka sama sekali menulis secara rileks dan lepas, tidak merasa dibebani oleh konvensi-konvensi dalam berpuisi. Mereka hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang mereka saksikan, pikirkan, dan rasakan. Inilah yang membuat puisi mereka menjadi begitu jernih. Pembaca seperti diajak bermain-main ke tepi kolam dengan air yang bening lalu menyaksikan sesuatu di dasar kolam itu dengan mata telanjang.
Terkadang, mereka seperti hendak mengingatkan orang tua, terhadap sesuatu yang remeh-temeh, yang mungkin buat kita tidak terlalu penting dibahas. Padahal itu sangat urgen. Misalnya soal gigi, yang ditulis Shalsabilla dalam puisi berjudul “Gigi”. “Tanpamu tak bisa menikmati makanan/Apa pun tak terasa enak..”
Puisi itu tidak hanya tampil sebagai diskripsi atau teoritifikasi klise atas sebuah objek, tapi sebuah ajakan merenungi kembali fungsi-fungsi organ dalam tubuh kita. Gigi, salah satunya. Ini adalah sebuah tonjokan agar, sesekali, kita kembali mensyukuri sebuah realitas – entah itu kesehatan, kesempurnaan hidup, keberadaan – agar kita makin berterima kasih kepada Sang Pencipta, dan makin peduli pada realitas itu.
Namun, tidak semua puisi dalam buku ini menghadirkan “dunia” yang terang-berderang. Ada pula puisi yang mengecohkan kita untuk mendekatinya dengan beragam tafsir. Lihat saja puisi yang dikutip di bagian awal tulisan ini berjudul “Kupu-kupu”. Di bawah judul puisi yang mengutip lagu anak-anak berjudul “Kupu-kupu” itu dituliskan kata-katan “kepada Presiden SBY”.
Saya sempat bertanya kepada Soeryadarma, di sela-sela peluncuran buku puisi itu, apa maksud puisi tersebut, tapi ia diam saja. Ia seperti hendak mengatakan: setelah karya dihadirkan ke publik maka publiklah yang menjadi penafsir tunggal atas karya itu. Terserah mau menafsirkannya seperti apa, sesuai pengalaman dan apa yang sedang dipikirkan serta dirasakannya.
Apakah penyair cilik ini sedang mengirim sebuah lagu anak-anak untuk SBY? Sekali lagi: pembacalah yang harus menafsirkannya. ***
* MUSTAFA ISMAIL, penggiat sastra, pemilik blog www.musismail.com /4 Februari 2012