Balaghah, Keindahan Bahasa Arab (1-3)

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Dyah Ratna Meta Novia
republika.co.id

(1)
Balaghah dan bayan dalam bahasa Arab memiliki makna yang merujuk pada retorika atau kejelasan dan keindahan bahasa. Namun, jika kedua istilah tersebut ditambahi awalan ilm atau ilmu maka keduanya berarti retorika, yakni ilmu tata cara berbicara yang bagus.

Balaghah sendiri merupakan inti dan puncak dalam kajian sastra dan menjadi ciri khas yang membedakan sastra dari disiplin ilmu yang lain, tidak ada adab (sastra) tanpa balaghah. Terdapat banyak ungkapan maupun aforime dalam berbagai perpustakaan adab yang menyebutkan definisi balaghah.

Hubungan balaghah dengan Alquran sendiri sangatlah erat. Dalam tradisi Islam, Alquran merupakan salah satu sumber dari keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair maupun para penulis prosa. Orang-orang Arab mengakui Alquran sebagai puncak balaghah dan menjadi model, rujukan utama bagi penciptaan syair, pidato, dan seni membuat surat atau leksikografi.

Alquran juga sebagai buku maupun pedoman utama bagai anak-anak sekolah yang hendak belajar tata bahasa Arab. Anak-anak tersebut menghapalkan Alquran sejak usia dini, kemudian mereka melanjutkan dengan menghapalkan buku-buku yang membahas ritual dalam Islam ketika mereka menginjak usia remaja. Alquran merupakan teks klasik yang mereka hapal dan mereka baca setiap hari. Sehingga bagi para siswa membaca Alquran merupakan rutinitas harian.

Kedudukan Alquran begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat Islam merasa bahwa Alquran merupakan sebuah kitab suci yang keindahan bahasanya tak tertandingi oleh penyair manapun. Sebab, Alquran berisi bahasa Allah yang keindahan dan kepuitisannya tidak bisa ditiru oleh penyair yang paling hebat seperti Kahlil Gibran sekalipun.

Meskipun Alquran tidak bisa disamai keindahan bahasanya, hal itu tidak menghalangi penyair-penyair Muslim untuk berusaha menyamainya seperti yang dilakukan oleh seorang penyair bernama Al-Mutanabbi maupun Al-Ma’arri. Mereka tidak hanya berusaha menirunya, tetapi juga menggunakan Alquran sebagai model utama dalam penciptaan karya-karya mereka.

Kata-kata dan berbagai gagasan dalam Alquran sudah mendarah daging dalam jiwa mereka. Sehingga dalam berbagai bentuk ungkapan lisan maupun tulisan, dalam khutbah, percakapan, dan tradisi surat-menyurat, atau dalam karya-karya prosa maupun puisi, Alquran digunakan sebagai contoh dan model utama yang mewarnai ekspresi pemikiran dan perasaan mereka.

Keindahan dan keagungan bahasa Alquran yang efisien sangat dihargai oleh umat Islam. Sehingga ketika mereka hendak mengungkapkan ekspresi dalam bentuk apa pun mereka selalu melihat dan memadukannya dengan bahasa Alquran. Karena itulah keindahan dan kefasihan berbahasa selalu dikaitkan dengan keagungan dan keutamaan Alquran.

(2)
Sebuah sumber sejarah mengungkapkan bahwa umat Islam dan bangsa Arab sangat mencintai keindahan dan kefasihan bahasa. Sehingga diceritakan, ketika terjadi banjir pada 823 Masehi yang memporak-porandakan kota Makkah, Khalifah mengirimkan bantuan untuk meringankan beban penduduk Makkah yang disertai dengan surat ucapan bela sungkawa.

Ketika penduduk Makkah mendengar keindahan bahasa dari surat bela sungkawa dari Khalifah tersebut, mereka begitu terkesima. Bahkan mereka lebih memerhatikan isi surat bela sungkawa yang penuh dengan kata-kata indah tersebut dari pada bantuan material dari Khalifah.

Aspek balaghah yang disukai oleh umat Islam tidak hanya balaghah dalam bentuk tampilan luar seperti susunan kalimat formal, tetapi juga isinya. Seorang penyair yang bernama Al-Asma’i memiliki ketinggian balaghah, tetapi syair-syairnya tidak berisi.

Sedangkan penyair Abu Ubaydah memiliki syair-syairnya yang padat berisi, namun kurang memiliki balaghah. Hal itu juga terlihat pada Tsalab yang memiliki ilmu tinggi, namun ternyata dia tidak bisa menulis dengan balaghah yang tinggi. Bahkan surat-surat yang dia tulis tidak jauh berbeda dengan surat-surat yang ditulis oleh orang awam.

Seorang sastrawan harus memiliki kelancaran dan keindahan dalam berbahasa. Tanpa adanya kecakapan tersebut, maka seseorang tidak mungkin bisa menjadi sastrawan. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan pokok kajian yang tak ada habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra yang telah muncul sejak periode awal Islam.

Seorang sastrawan yang bernama Ja’far Ibnu Yahya Ibnu Khalid Al-Barmaki mengungkapkan, balaghah adalah sebuah upaya untuk menyampaikan pemikiran yang baik dan mengatakan banyak hal dengan sedikit kata-kata.

Sementara itu, Sekretaris Khalifah Dinasti Umayyah yang terakhir yang termasyhur, Abdul Hamid berujar, “Orang yang tidak memiliki kemampuan balaghah tidak memiliki kebesaran, meskipun kedudukannya setinggi langit.”

Khalifah Al-Ma’mun juga dikisahkan pernah membuat definisi balaghah sambil mengutip ungkapan ayahnya, Khalifah Harun Al-Rasyid. “Balaghah adalah mengatur kalimat sehingga tidak kehabisan nafas, berusaha mencapai tujuan yang diinginkan, menyampaikan banyak makna dengan sedikit kata-kata,” kata Al-Ma’mun.

Sementara itu, seorang cendekiawan, Ibnu Al-Mu’tazz, menjelaskan balaghah adalah pengujaran kata-kata yang segera mencapai sasaran sebelum pembicaran terlalu panjang. Seorang penyair juga berkata, “Tak ada sesuatu pun yang bisa mengantarkan seseorang pada sumber kehidupan yang seefektif balaghah.” Bahkan sebuah hadis menyatakan, kata-kata yang baligh (ringkas dan bermakna) adalah bahasa murni yang mempesona.

(3)
Keindahan dan kehalusan bahasa semata tidak cukup menjadikan seseorang sebagai pakar sastra Arab. Seorang pakar sastra juga harus memahami tata bahasa dengan baik. Tidak mungkin terdapat pembicaraan yang baligh tanpa disertai dengan sintaksis atau struktur kalimat yang benar.

Dalam kajian balaghah juga terdapat daftar orang-orang yang mahir dalam berbahasa (baligh). Daftar tersebut terdapat dalam sebuah bab yang berjudul Daftar Nama Para Ahli Balaghah yang terdapat dalam Kitab Fihrist (Katalog) karya seorang ilmuwan dan ahli geografi hebat, Yaqut Al-Hamawi.

Dalam daftar para ahli balaghah tersebut yang berjumlah 43 orang, Yaqut juga menyusun daftar lain yang berisi 10 tokoh utama dalam seni balaghah. Julukan bagi orang-orang yang menduduki tokoh utama dalam seni balaghah adalah bulagha. Salah satu bulagha tersebut adalah Qabisah Ibnu Jabir Al-Asadi.

Seorang sastrawan yang ahli balaghah, akan sangat dihargai dan dihormati jika dia mampu menciptakan karya-karya secara spontan tanpa persiapan baik berupa puisi maupun prosa. Seorang Khalifah Dinasti Fatimiyah, Al-Manshur Abu Thahir Isma’il, yang berkuasa antara 945 hingga 952 Masehi disebut sebagai ahli pidato dengan tingkat kebalaghahan yang tinggi.

Dia juga mampu menyusun kata-kata yang indah dan penuh makna secara spontan. Ismail Ibnu Ali juga dijuluki sebagai Al-Khuthabi (Ahli pidato) karena dia sangat pandai dalam menyampaikan pidato-pidatonya secara spontan. Dalam bidang tersebut, dia tak menemukan pesaing.

Perdana Menteri Ibnu Hubayah pernah diberi hadiah berupa bak tinta yang terbuat dari kristal bertahtakan permata. Dia merasa sangat terkesima dengan hadian tersebut hingga dia mengundang sejumlah penyair untuk menggubah beberapa bait syair mengenai keindahan bak tinta tersebut. Lalu datanglah seorang penyair yang lantas membacakan dua bait syair yang berisi pujian terhadap pengrajin yang membuat bak tinta tersebut.

Setelah itu datanglah pula seorang penyair yang terkenal bernama Hays Bays yang menyatakan syair yang dibuat oleh penyair sebelumnya tak berbicara sedikit pun mengenai bak tinta tersebut. Maka perdana menteri menantangnya untuk membuat syair yang lebih baik. Lalu Hays Bays menciptakan dua bait syair yang membandingkan jernihnya kristal dan merahnya batu permata dari bak tinta tersebut dengan hari-hari perang dan damai yang dialami sang perdana menteri.

***

Bahasa »