Bung Tomo dan Neokolonialisme

Yusri Fajar *
surya.co.id

Dengan gagah berani dan tanpa kompromi Bung Tomo mengajak para pejuang untuk memerangi penjajah. Upaya pendudukan wilayah Indonesia secara paksa dengan kekuatan bersenjata ditanggapi ksatria dengan taruhan nyawa.

pidato heroik bung Tomo saat menanggapi ancaman kolonialis Inggris di tahun 1945 mampu membakar dan membangkitkan semangat Arek-arek Suroboyo dan berbagai elemen lainnya. “Hai tentara Inggris, kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu…inilah jawaban kita: selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun juga.” (Bung Tomo, 1945)

Kedaulatan negara, nasionalisme dan hasrat merdeka tanpa diskriminasi merupakan alasan mendasar berkonfrontasi dengan penjajah. Bung Tomo menekankan sikap pantang menyerah demi mempertahankan martabat bangsa dan kedaulatan wilayah. Bung Tomo seakan ingin menegaskan, bangsa Indonesia memiliki mental tangguh, meski kalah dalam kecanggihan peralatan tempur. Di akhir pidato ia memekikkan Allahu Akbar untuk memompa semangat berjuang dan meyakinkan bahwa Tuhan berada di pihak yang benar. Pertempuran sengit terjadi di Surabaya. Banyak pejuang gugur sebagai syuhada. Inggris kehilangan Jenderal Mallaby. Peristiwa berdarah dan bersejarah di Surabaya ini dikenang sebagai hari pahlawan. Ironisnya, Bung Tomo baru mendapat gelar pahlawan nasional pada 10 November 2008, puluhan tahun setelah ia berjuang mempertaruhkan nyawa.

Ancaman Neokolonialisme

Setelah gaya penjajahan klasik yang berciri ekspansi ke wilayah negara lain berakhir, muncul penjajahan gaya baru, neokolonialisme. Istilah neokolonialisme pertama kali disampaikan tokoh pergerakan asal Ghana, Kwarne Nkrumah, tahun 1961. Nkrumah berpendapat, meski penjajah telah angkat kaki dan negara terjajah secara formal meraih kemerdekaan, penjajah masih menanamkan hegemoni melalui sektor politik, ekonomi dan budaya. Hegemoni ini adalah esensi neokolonialisme. Negara-negara asing yang kuat dan berpengaruh seringkali bekerja sama dengan elite negara berkembang, terutama kelompok elite yang bisa didikte dan sejalan dengan para kolonialis, dengan misi mencari keuntungan sendiri.

Jika dulu Bung Tomo dan rakyat Indonesia berjuang di medan pertempuran, kini bangsa Indonesia menghadapi campur tangan dan dominasi asing dalam bentuk lain. Di bidang ekonomi, IMF bisa dijadikan contoh sebagai perpanjangan tangan negara adidaya dengan menjadikan negara berkembang sebagai perahan. Teoritikus poskolonial dari Inggris, Robert Young, dalam Postcolonialism (2001) menyebut, berbagai lembaga ekonomi internasional seperti IMF dan World Bank, serta perusahaan asing berupaya mengeruk keuntungan dari negara-negara berkembang dengan mengatasnamakan pembangunan. Eksploitasi Freeport atas kekayaan alam Papua, misalnya, sudah sejak lama merugikan Indonesia. Sementara, aliran dana dan fasilitas pihak asing ke LSM di Indonesia berpotensi membuat aktivis LSM kehilangan daya kritis atas berbagai kebijakan negara asing yang melemahkan Indonesia. Bantuan dana asing untuk penanganan bencana yang melanda Indonesia juga rawan disusupi kepentingan negara pemberi.

Di bidang politik, pengaruh World Bank dalam pembuatan undang-undang, terlihat dalam UU Sumber Daya Air. Pemberian izin bagi pihak asing untuk menjadi pengelola sumber daya air otomatis bisa mematikan peran perusahan daerah air minum (PDAM). Sementara keterlibatan United States Agency for International Development (USAID) bisa dilihat dari UU Migas No 22 tahun 2001 yang memungkinkan masuknya campur tangan asing. Padahal, migas adalah sumber daya alam terpenting bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Di bidang budaya, beragam produk seni barat dengan dukungan kapital kuat membuat seni tradisional Indonesia seperti ludruk dan ketoprak terpinggirkan. Bangsa Indonesia memang tak akan bisa sepenuhnya menghalau serbuan budaya asing. Oleh karena itu, diperlukan kreativitas cerdas dan inovatif yang bisa membuat seni tradisional Indonesia tak tertinggal zaman. Serbuan dan tekanan budaya asing seharusnya tak membuat bangsa Indonesia kehilangan tradisi dan jatidiri. Bung Tomo tegas menolak perintah tentara Inggris agar arek-arek Suroboyo melucuti senjata karena sama saja menyerah pada kuasa asing. Pada konteks budaya, nilai-nilai seni tradisional yang unik dan adiluhung bisa menjadi senjata membangun dan mempertahankan karakter bangsa. Sayang jika seni tradisional tak dilestarikan, bahkan sampai diklaim pihak asing.

Penjajahan pada hakekatnya belum berakhir. Penjajahan klasik secara fisik dan pendudukan paksa wilayah berubah ke bentuk dominasi ekonomi, budaya, dan politik. Penjajah juga bukan semata orang-orang asing. Para elite negeri yang mendukung kebijakan eksploitatif dan diskriminatif para neokolonialis berarti menjadi penjajah bagi bangsa sendiri. Sikap tegas dan berani serta nilai-nilai kepahlawanan Bung Tomo menentang kolonialisme masih relevan. Tanpa ketegasan dan keberanian, Indonesia akan menjadi bangsa yang (tetap) berada dalam cengkeraman asing.

9 November 2010

*) Peminat Kajian Poskolonial/Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang.

Bahasa »